Janji Yang Teringkari Bab 2
Kecurigaan adalah sesuatu yang tumbuh perlahan, berakar dalam tanpa disadari. Aku tidak ingin berpikir buruk tentang Arman, tetapi setiap hal kecil yang aku temukan semakin membuat hatiku tak tenang. Aku mulai memperhatikan kebiasaannya dengan lebih saksama—telepon yang lebih sering berbunyi, pesan-pesan yang langsung dihapus, dan cara ia mulai menjaga jarak seolah ada sesuatu yang tidak ingin ia bagikan denganku.
Aku mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa semua ini
hanyalah imajinasiku yang berlebihan. Namun, pikiranku tidak bisa berhenti
memutar kembali momen-momen aneh yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir.
Aku merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan, sesuatu yang aku belum tahu,
tetapi perlahan menunjukkan dirinya dalam bentuk jejak-jejak kecil yang tak
bisa diabaikan.
Puncaknya terjadi saat aku sedang merapikan meja kerja
Arman. Di antara tumpukan dokumen bisnisnya, aku menemukan selembar kuitansi
pembayaran untuk sebuah polis asuransi kendaraan bermotor. Aku membaca
rincian yang tertera di sana, berharap menemukan sesuatu yang familier, tetapi
yang kulihat justru informasi tentang kendaraan lain—bukan mobil yang kami
miliki bersama. Hatiku berdegup kencang. Tidak ada alasan bagi Arman untuk
mengasuransikan mobil lain tanpa memberitahuku.
Baca juga:
Perbandingan Premi Asuransi
Kendaraan: Panduan Memilih yang Terbaik
Pilihan Terbaik Asuransi Mobil
Terbaik Tahun 2025
Keunggulan Asuransi Mobil
Allianz
Aku mencoba mencari alasan yang masuk akal. Mungkin ini
bagian dari urusan bisnisnya, atau mungkin mobil itu memang diperlukan untuk
pekerjaan. Tapi semakin aku berusaha mengabaikan fakta di depan mataku, semakin
sulit rasanya untuk percaya bahwa semua ini hanyalah kebetulan. Aku tidak
pernah mendengar Arman menyebut tentang kendaraan lain, apalagi sampai mengurus
perlindungan asuransi kendaraan bermotor untuknya.
Rasa penasaran membawaku untuk mencari lebih jauh. Aku
membuka lemari dokumen, menelusuri setiap kertas yang mungkin bisa memberiku
jawaban. Tidak butuh waktu lama sampai aku menemukan sesuatu yang lain—sebuah
dokumen lain yang berkaitan dengan asuransi mobil. Kali ini, bukan
kuitansi pembayaran, tetapi surat konfirmasi dari perusahaan asuransi yang
menyatakan bahwa polis baru telah diterbitkan beberapa bulan lalu.
Aku menghela napas panjang, mencoba memahami situasi yang
perlahan-lahan mulai terasa tidak masuk akal. Jika Arman memang memiliki
kendaraan lain, mengapa ia tidak pernah menyebutnya padaku? Jika ini hanyalah
urusan pekerjaan, mengapa ia tidak terbuka tentang hal itu? Dan yang lebih
menggangguku, mengapa semuanya terasa seperti sesuatu yang sengaja
disembunyikan?
Malam itu, aku duduk lama di kamar, memandangi
dokumen-dokumen yang kini berserakan di atas meja. Ada perasaan tidak nyaman
yang mengendap di dadaku, seolah aku berada di ambang menemukan sesuatu yang
bisa mengubah hidupku selamanya. Aku tidak ingin berpikir buruk, tetapi aku
juga tidak bisa menutup mata terhadap semua petunjuk yang ada.
Aku mencoba mengingat kembali kapan terakhir kali aku merasa
benar-benar dekat dengan Arman. Aku mencoba mengingat percakapan terakhir kami
yang terasa penuh kehangatan, tetapi semua yang muncul di pikiranku adalah
malam-malam sunyi yang terasa semakin panjang.
Di dalam hatiku, aku tahu bahwa sesuatu telah berubah. Aku
tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi, tetapi satu hal yang aku yakini—ini
bukan lagi pernikahan yang sama seperti dulu. Dan untuk pertama kalinya dalam
hidupku, aku merasa bahwa aku harus mencari tahu kebenaran, meskipun aku tidak
yakin apakah aku siap untuk menerimanya.
Rahasia dalam Telepon
Malam semakin larut ketika aku duduk di atas tempat tidur,
memandangi layar ponselku yang kosong. Aku sudah berjam-jam memikirkan semua
hal yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir, mencoba mencari tahu apakah
aku hanya terlalu berlebihan atau apakah perasaanku benar-benar memiliki alasan
untuk mencurigai Arman. Namun, semakin aku mencoba mengabaikan semuanya,
semakin kuat perasaan bahwa ada sesuatu yang salah.
Aku tidak pernah menjadi istri yang suka mengutak-atik
barang milik suamiku, tetapi malam itu, sesuatu dalam diriku terasa mendesak.
Aku menatap ponsel Arman yang tergeletak di meja samping tempat tidur,
tertinggal begitu saja setelah ia pergi mandi. Aku tahu aku seharusnya tidak
menyentuhnya, tetapi rasa penasaran yang membakar dalam dadaku terasa lebih
kuat daripada moralitas yang selama ini kupegang. Dengan tangan gemetar, aku
mengambil ponsel itu dan menyalakan layarnya.
Sebuah pesan masuk tepat pada saat aku menggenggamnya. Pesan
dari nomor yang tidak tersimpan dalam kontak, tetapi kata-kata di dalamnya
cukup untuk membuat dadaku berdebar kencang. Seseorang mengucapkan terima kasih
kepada Arman karena telah membelikan mobil dan mengurus asuransi mobil
terbaik untuknya. Kata "sayang" di akhir pesan itu terasa seperti
hantaman keras yang langsung menyesakkan dadaku.
Aku menatap pesan itu cukup lama, berharap bahwa mataku
salah membaca, berharap bahwa ini hanyalah salah paham yang bisa dijelaskan
dengan mudah. Namun, semakin lama aku menatap layar, semakin perih rasa sakit
yang merayapi hatiku. Arman tidak hanya membelikan seseorang mobil, tetapi juga
memastikan bahwa mobil itu diasuransikan dengan baik. Itu berarti ini bukan
sekadar hadiah spontan—ini adalah sesuatu yang sudah direncanakan, sesuatu yang
memiliki makna lebih dari sekadar transaksi biasa.
Tanganku bergetar saat aku menelusuri pesan-pesan
sebelumnya, mencari jejak lain yang bisa memberiku gambaran lebih jelas. Tidak
banyak pesan yang tersisa, sebagian besar sudah dihapus. Namun, beberapa bukti
kecil tetap tertinggal—foto mobil yang tidak pernah kulihat sebelumnya,
tangkapan layar percakapan tentang jadwal pertemuan mereka, serta detail
tentang polis asuransi kendaraan yang Arman urus atas nama seseorang
yang tidak aku kenal.
Aku merasakan dingin menjalar di seluruh tubuhku. Ini bukan
lagi sekadar dugaan atau firasat yang bisa kuabaikan. Ini adalah bukti nyata
bahwa ada seseorang di luar sana yang menerima perhatian lebih dari suamiku,
seseorang yang cukup istimewa baginya hingga ia rela mengeluarkan uang untuk
membelikan mobil dan mengurus perlindungannya.
Malam yang sebelumnya terasa sunyi kini berubah menjadi
begitu bising di dalam kepalaku. Suara pikiranku saling bertabrakan, mencoba
mencari alasan yang masuk akal untuk semua ini, tetapi aku tidak bisa menemukan
satu pun. Aku ingin marah, ingin menangis, ingin menghadapi Arman saat itu
juga, tetapi di saat yang sama, aku merasa terlalu lelah. Terlalu lelah untuk
langsung menghadapi kenyataan yang begitu menyesakkan.
Aku meletakkan kembali ponsel itu di tempatnya, seolah tidak
pernah menyentuhnya. Aku berbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit
kamar yang tiba-tiba terasa begitu asing. Aku tidak tahu berapa lama aku
terjaga, tetapi satu hal yang pasti—tidak ada lagi ketenangan dalam hatiku
malam itu.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyadari bahwa
rumah yang selama ini aku anggap sebagai tempat paling aman kini telah menjadi
tempat di mana kebohongan bersembunyi di setiap sudutnya. Dan aku tidak tahu
apakah aku masih sanggup untuk tinggal di dalamnya.
