Novel Singkat Jejak yang Tertinggal Bab 6
Aku tidak tahu persis apa yang menuntunku kembali ke kota kecil tempat aku dibesarkan. Mungkin karena di sana, aku merasa dekat dengan masa lalu yang lebih sederhana. Tempat di mana aku tidak harus memikirkan tentang luka dan pengkhianatan, di mana kehidupan berjalan tanpa beban berat yang kini menghimpitku.
Aku menyewa sebuah rumah kecil di pinggiran kota, tidak jauh
dari rumah ibuku. Rumah itu sederhana, dengan jendela besar yang menghadap ke
taman kecil yang tidak terawat. Aku menghabiskan hari-hariku membersihkan dan
merapikannya, seolah mencoba menciptakan ulang kehidupan yang baru dari
sisa-sisa yang hancur.
Setiap pagi, aku bangun lebih awal, membuat secangkir teh,
dan duduk di teras depan sambil memandangi matahari terbit. Di sinilah aku
menemukan momen-momen kecil ketenangan. Untuk pertama kalinya setelah sekian
lama, aku merasa bebas. Bebas dari kebohongan, dari beban untuk selalu menjaga
sesuatu yang pada akhirnya tetap hancur.
Suatu hari, aku menerima telepon dari Dina.
"Bagaimana kabarmu di sana?" tanyanya. Aku bisa
merasakan kekhawatirannya di balik suaranya.
"Aku baik-baik saja," jawabku. "Lebih baik,
mungkin. Aku merasa seperti bisa bernapas lagi."
"Itu bagus," katanya. "Aku selalu tahu kamu
kuat, Alena. Jadi, apa rencanamu sekarang?"
Aku terdiam sejenak. Rencana. Aku belum benar-benar
memikirkannya. Aku hanya tahu bahwa aku tidak ingin terus hidup dalam
bayang-bayang masa lalu. Aku ingin menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang
membuatku merasa hidup lagi.
"Aku belum tahu," jawabku akhirnya. "Tapi aku
sedang mencoba mencari tahu."
Beberapa hari kemudian, saat aku berjalan-jalan di sekitar
kota, aku menemukan sebuah toko kecil yang kosong. Toko itu terletak di sudut
jalan, dengan papan kayu tua yang menggantung di atas pintunya.
"Disewakan," tertulis di sana, dengan nomor telepon pemiliknya.
Aku berhenti di depan toko itu, membayangkan apa yang bisa
aku lakukan dengan tempat kecil itu. Sejak dulu, aku selalu bermimpi membuka
sebuah kafe kecil, tempat orang-orang bisa datang untuk minum kopi, membaca
buku, atau sekadar menikmati suasana. Tapi mimpi itu selalu kutunda, terkubur
di bawah rutinitas dan tanggung jawabku sebagai istri.
Kini, aku tidak lagi terikat oleh semua itu. Mungkin ini
waktunya untuk menghidupkan kembali mimpi itu.
Aku menelepon pemilik toko keesokan harinya, dan dalam waktu
beberapa minggu, tempat itu menjadi milikku. Aku mulai mengubah toko kosong itu
menjadi sesuatu yang baru. Dengan bantuan ibuku dan beberapa teman lama di
kota, aku mengecat dinding, memasang rak buku, dan memilih furnitur sederhana
yang nyaman.
Aku menamai kafe itu "Jejak," terinspirasi
oleh perjalananku sendiri. Bagiku, setiap langkah yang aku ambil, baik yang
manis maupun yang pahit, adalah jejak yang membawaku ke titik ini. Kafe ini
adalah simbol dari babak baru dalam hidupku—sebuah awal yang lahir dari akhir
yang menyakitkan.
Hari pembukaan kafe tiba lebih cepat dari yang aku kira. Aku
merasa gugup, tapi juga penuh semangat. Beberapa pelanggan pertama adalah
tetangga di sekitar kota, orang-orang yang penasaran dengan tempat baru ini.
Mereka memuji suasananya, kopi hangat yang aku sajikan, dan koleksi buku yang
bisa mereka baca sambil menikmati waktu.
Di tengah hiruk-pikuk hari itu, aku merasa sesuatu yang
belum pernah aku rasakan selama bertahun-tahun: aku merasa utuh. Aku merasa
seperti aku akhirnya menemukan sesuatu yang benar-benar milikku, sesuatu yang
tidak bergantung pada orang lain atau cinta yang rapuh.
Malam itu, saat aku menutup pintu kafe untuk pertama
kalinya, aku berdiri di depan jendela besar, memandangi ruangan yang kosong
tapi penuh cerita baru. Aku tersenyum untuk diriku sendiri, merasakan
kebahagiaan kecil yang sederhana.
Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa aku sedang menuju ke
arah yang benar. Aku masih belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan,
apakah luka ini akan sepenuhnya sembuh, atau apakah aku akan menemukan cinta
lagi. Tapi aku tahu satu hal: aku akan baik-baik saja.
Dan itu sudah cukup untuk saat ini.
Luka yang Mulai Sembuh
Waktu berjalan dengan ritme yang baru. Hidupku di kota kecil
ini terasa lebih tenang, seolah dunia memberiku ruang untuk bernapas setelah
badai yang panjang. Kafe kecilku, "Jejak," telah menjadi
tempat yang tidak hanya menghidupkan kembali mimpiku, tetapi juga memberiku
kesempatan untuk terhubung dengan orang-orang baru.
Setiap pagi, aku membuka pintu kafe sambil tersenyum,
menyambut pelanggan pertama yang datang. Banyak dari mereka adalah penduduk
lokal yang kini sudah mulai akrab denganku. Mereka datang untuk secangkir kopi,
obrolan ringan, atau sekadar menikmati suasana damai yang kuhadirkan di tempat
ini.
Namun, di balik semua itu, aku tahu bahwa proses penyembuhan
tidak pernah benar-benar sederhana. Ada hari-hari di mana aku terbangun dengan
hati yang terasa berat, kenangan tentang Arga dan semua yang kami lewati
kembali membanjiri pikiranku. Tapi kini, aku belajar untuk menerima rasa sakit
itu tanpa membiarkannya menguasai diriku.
Suatu sore, ibuku datang ke kafe. Dia duduk di salah satu
meja dekat jendela, membaca buku yang dipinjam dari rak yang kupasang di sudut
ruangan. Aku menyajikan teh untuknya, lalu duduk di depannya.
"Bagaimana rasanya menjalani hidup yang baru?"
tanyanya sambil tersenyum lembut.
Aku tersenyum kecil. "Rasanya... lebih ringan, Bu. Aku
merasa seperti akhirnya bisa menemukan diriku sendiri."
Dia mengangguk, tampak bangga. "Aku tahu ini tidak
mudah untukmu, Alena. Tapi aku melihat kekuatan di dalam dirimu yang mungkin
kamu sendiri tidak pernah sadari."
Aku terdiam, memikirkan kata-katanya. Mungkin dia benar.
Mungkin semua ini adalah bagian dari proses untuk menemukan kembali kekuatanku,
kekuatan yang selama ini aku abaikan karena terlalu sibuk mencintai dan
menyenangkan orang lain.
"Aku tidak tahu apakah aku sudah sembuh sepenuhnya,
Bu," kataku akhirnya. "Tapi aku tahu aku sedang menuju ke arah
itu."
Ibuku meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Tidak
ada luka yang sembuh dalam semalam, Alena. Tapi setiap langkah kecil yang kamu
ambil adalah bagian dari perjalanan itu."
Di malam yang sepi, ketika aku sedang merapikan kafe sebelum
tutup, sebuah pesan masuk ke ponselku. Pesan itu dari Arga.
"Alena, aku harap kamu baik-baik saja. Aku tidak akan
mengganggu hidupmu lagi, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu
dan aku menyesal atas semua yang telah kulakukan. Aku hanya berharap kamu bisa
menemukan kebahagiaanmu, meskipun itu bukan bersamaku."
Aku membaca pesan itu berulang kali, merasakan campuran
emosi yang sulit kuungkapkan. Aku tahu Arga tulus dalam kata-katanya, tapi aku
juga tahu bahwa kata-kata itu tidak cukup untuk memperbaiki apa yang telah
hancur.
Aku tidak membalas pesan itu. Bukan karena aku marah, tapi
karena aku merasa tidak perlu. Kami berdua telah memilih jalan yang berbeda,
dan tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Aku menutup ponselku, menarik napas
dalam-dalam, dan membiarkan kata-katanya menguap bersama udara malam.
Hari-hari berlalu, dan aku mulai merasa bahwa luka di hatiku
benar-benar mulai sembuh. Aku menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil: suara
lonceng kecil di pintu kafe setiap kali pelanggan baru masuk, aroma kopi yang
memenuhi ruangan, senyuman anak-anak yang bermain di luar jendela.
Hidupku tidak lagi terasa seperti beban yang harus kubawa,
tetapi seperti perjalanan yang layak untuk dinikmati.
Suatu sore, seorang pria muda datang ke kafe. Dia terlihat
sedikit canggung, seperti seseorang yang baru pertama kali memasuki tempat yang
asing. Dia memesan secangkir kopi dan duduk di dekat rak buku, membaca sebuah
novel yang kupajang di sana. Aku memperhatikannya dari balik meja, merasa
penasaran dengan kehadirannya.
Ketika dia selesai, dia mendekat ke kasir untuk membayar.
"Kafenya nyaman sekali," katanya sambil tersenyum. "Saya suka
suasananya. Sepertinya tempat ini dibangun dengan penuh cinta."
Aku tersenyum kecil. "Terima kasih. Saya memang ingin
menciptakan tempat di mana orang-orang bisa merasa damai."
Dia mengangguk, lalu memberikan kartu namanya. "Saya
Reza, seorang penulis. Kalau ada acara diskusi buku atau semacamnya, saya akan
senang jika bisa ikut berkontribusi."
Aku menerima kartunya, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam
caranya berbicara. Sesuatu yang... tulus. Aku tidak tahu apakah pertemuan ini
akan berarti apa-apa, tapi aku merasa tidak perlu terburu-buru. Aku sedang
belajar untuk menikmati setiap momen tanpa terlalu banyak harapan.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa mungkin, di
ujung perjalanan ini, ada sesuatu yang indah menantiku. Sesuatu yang lahir dari
luka yang perlahan sembuh, dari kekuatan yang aku temukan kembali.
Hidupku tidak sempurna. Tapi aku tahu bahwa aku sedang
menuju ke arah yang benar.
