Novel Singkat Jejak yang Tertinggal Bab 5
Hari itu aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang selama ini kuhindari—menghadapi Raya secara langsung. Setelah membaca surat-suratnya dan menyadari betapa dalam hubungannya dengan Arga, aku tahu bahwa aku tidak bisa lagi mengabaikan keberadaannya. Aku butuh jawaban. Aku butuh tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
Aku menemukan nomor ponselnya di salah satu surat yang ia
tulis untuk Arga. Awalnya, aku ragu untuk menghubunginya, tetapi akhirnya aku
memberanikan diri. Suara di ujung telepon terdengar lembut, tapi aku bisa
merasakan kejutan dalam nada suaranya ketika dia menyadari siapa yang
menelepon.
"Alena?" katanya dengan ragu.
"Iya, ini aku," jawabku tegas. "Aku ingin
bertemu. Kita perlu bicara."
Ada jeda panjang di telepon sebelum akhirnya dia setuju.
Kami memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang tenang, tempat yang
jauh dari hiruk-pikuk kota. Aku tiba lebih awal, mencoba mengatur emosiku
sebelum berhadapan dengannya. Tapi saat Raya masuk ke kafe, semua ketenangan
yang coba kubangun langsung runtuh.
Dia terlihat seperti yang kuingat—muda, cantik, dengan aura
percaya diri yang entah bagaimana membuatku merasa kecil. Dia melangkah
mendekat, senyum kecil di wajahnya, tapi aku tidak bisa membalas senyuman itu.
Aku hanya menatapnya, mencoba membaca apa yang ada di balik matanya.
"Terima kasih sudah mau bertemu," katanya sambil
duduk di kursi di depanku.
Aku langsung ke inti pembicaraan. "Aku tidak akan
bertele-tele, Raya. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan
Arga. Aku sudah membaca surat-suratmu."
Wajahnya berubah, meskipun dia mencoba tetap tenang.
"Kamu menemukannya?" tanyanya, suaranya pelan.
"Ya," jawabku tegas. "Dan aku ingin tahu
apakah semua yang kamu tulis itu benar. Apakah kalian masih... bersama?"
Dia menunduk, memainkan sendok kecil di tangannya.
"Tidak, kami tidak bersama. Aku tidak pernah memintanya meninggalkanmu,
Alena. Tapi... aku tidak akan berbohong. Perasaanku untuk Arga masih ada."
Aku merasakan jantungku berdetak keras. "Kamu tahu dia
sudah menikah. Kamu tahu dia memilihku. Jadi kenapa kamu masih mencoba untuk
tetap berada di hidupnya?"
Raya mendongak, menatapku dengan mata yang penuh rasa
bersalah. "Karena aku bodoh, Alena. Aku tahu aku tidak seharusnya
melakukan ini, tapi aku tidak bisa berhenti berharap. Arga adalah cinta pertama
aku, dan aku tidak pernah benar-benar melupakannya."
Aku menghela napas panjang, mencoba meredam kemarahan yang
mulai membakar di dalam diriku. "Raya, kamu mungkin mencintainya, tapi
kamu tidak punya hak untuk menghancurkan pernikahan kami. Kamu tidak punya hak
untuk masuk ke dalam hidup kami seperti ini."
Dia terdiam, lalu berkata pelan, "Aku tidak bermaksud
menghancurkan apa pun, Alena. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku
berharap dia masih punya ruang untukku."
Kata-katanya seperti tamparan keras. Aku menatapnya, merasa
tidak percaya dengan kejujuran yang dingin itu. "Jadi, kamu hanya
menunggu? Menunggu dia meninggalkanku? Menunggu dia memilihmu lagi?"
Dia tidak menjawab, tapi diamnya sudah cukup sebagai
jawaban.
Aku merasakan air mata menggenang di mataku, tapi aku
menahannya. Aku tidak ingin terlihat lemah di depannya. "Kamu tidak tahu
apa yang telah aku lalui, Raya. Kamu tidak tahu betapa sulitnya bagiku untuk
mempercayai lagi setelah apa yang telah terjadi. Dan sekarang aku di sini,
mencoba memahami kenapa kamu masih ada di dalam hidupnya."
Raya menatapku dengan mata yang penuh kesedihan. "Aku
minta maaf, Alena. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu bagaimana cara
melepaskannya. Tapi aku juga tidak ingin menyakitimu. Aku tahu aku salah."
"Minta maaf tidak akan memperbaiki apa pun,"
kataku dingin. "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, kalau kamu
benar-benar peduli, maka berhentilah. Berhentilah berharap. Berhentilah
menunggu."
Dia menunduk, terdiam. Aku tidak tahu apakah kata-kataku
akan membuatnya benar-benar berhenti, tapi aku merasa lega telah mengatakan
semuanya. Aku merasa bahwa untuk pertama kalinya, aku berdiri untuk diriku
sendiri.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah
ini," lanjutku, suaraku lebih pelan. "Tapi aku tahu satu hal, Raya.
Aku tidak akan membiarkan kamu atau siapa pun lagi mengganggu hidupku. Ini
pernikahanku, dan aku akan memutuskan apa yang terbaik untukku."
Dia mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku mengerti.
Dan... terima kasih sudah mau bicara denganku, meskipun aku tahu aku tidak
pantas untuk itu."
Aku berdiri, meraih tasku, lalu menatapnya untuk terakhir
kalinya. "Semoga kamu menemukan jalanmu sendiri, Raya. Tapi jalan itu
bukan bersama Arga."
Aku meninggalkan kafe itu dengan hati yang masih terasa
berat, tapi ada sesuatu yang berubah. Aku merasa bahwa meskipun perjalananku
masih panjang, aku telah mengambil langkah pertama menuju kebebasan dari luka
ini.
Dan itu adalah langkah yang penting.
Pilihan yang Sulit
Aku pulang dari pertemuanku dengan Raya dengan kepala penuh
dan hati yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Meski aku telah mengatakan
semua yang ingin aku katakan, luka itu tetap ada, menganga lebar. Rasanya
seperti aku baru saja memenangkan pertempuran kecil, tapi perang yang
sebenarnya masih jauh dari selesai.
Arga ada di rumah ketika aku tiba. Dia sedang duduk di sofa
ruang tamu, memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Ketika dia
mendengar pintu terbuka, dia menoleh ke arahku.
"Kamu pergi ke mana?" tanyanya, suaranya terdengar
ragu.
"Aku bertemu Raya," jawabku tanpa basa-basi.
Arga tampak terkejut. Dia berdiri perlahan, seolah mencoba
memahami apa yang baru saja aku katakan. "Kamu... bicara dengannya?"
"Ya," jawabku sambil menaruh tasku di meja.
"Aku bicara dengannya. Aku perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan
sekarang aku tahu."
Arga mendekat, raut wajahnya penuh kecemasan. "Alena,
aku bisa jelaskan semuanya. Aku tahu aku salah. Tapi aku tidak ingin kehilangan
kamu."
Aku menatapnya, mencoba membaca wajahnya, mencari kejujuran
yang mungkin tersisa di sana. Tapi yang kulihat hanyalah rasa bersalah, dan itu
tidak cukup.
"Kamu bilang hubungan kalian sudah selesai,"
kataku, suaraku gemetar karena emosi. "Tapi kenyataannya, kamu masih
menyimpan surat-surat itu. Kamu masih memberinya ruang di hidupmu, meskipun
kamu tahu itu menyakitiku."
"Alena, dengarkan aku," katanya, mencoba mendekat.
"Aku tidak pernah berniat untuk menyakiti kamu. Aku... aku bodoh. Aku
terlalu takut untuk menghadapi semuanya. Tapi aku memilih kamu. Aku selalu
memilih kamu."
Aku tertawa kecil, tapi tanpa kebahagiaan. "Memilihku?
Kalau memang kamu memilihku, kenapa kamu tidak pernah benar-benar
melepaskannya? Kenapa aku selalu merasa seperti aku hanya pilihan kedua?"
Dia tidak menjawab. Diamnya adalah pengakuan atas semua
kebohongan yang telah dia bangun.
Aku menghabiskan malam itu di kamar, duduk di tepi tempat
tidur dengan pikiran yang berputar-putar. Kata-kata Arga terus terngiang di
kepalaku, begitu juga dengan wajah Raya yang penuh rasa bersalah. Aku tahu
bahwa aku berada di persimpangan, bahwa keputusan yang aku buat akan menentukan
seluruh hidupku ke depan.
Ibuku pernah berkata bahwa kepercayaan adalah gelas yang,
sekali retak, tidak akan pernah benar-benar utuh lagi. Dan aku mulai menyadari
betapa benarnya itu. Meski Arga berjanji untuk berubah, untuk memperbaiki
segalanya, aku tahu bahwa luka ini akan tetap ada. Aku tidak yakin apakah aku
bisa hidup dengan bayang-bayang itu, dengan ketakutan bahwa suatu hari semuanya
akan terulang.
Di sisi lain, ada bagian dari diriku yang masih
mencintainya. Bagian yang ingin percaya bahwa dia bisa berubah, bahwa cinta
kami masih memiliki kesempatan untuk bertahan. Tapi aku juga tahu bahwa cinta
saja tidak cukup. Cinta harus didukung dengan kepercayaan, dengan komitmen,
dengan rasa hormat. Dan semua itu telah hancur.
Pagi harinya, aku duduk di meja makan dengan segelas teh
hangat di tanganku. Arga duduk di seberangku, matanya bengkak karena kurang
tidur. Kami hanya saling menatap dalam keheningan, sebelum akhirnya aku
memecahnya.
"Aku sudah memutuskan," kataku pelan, tapi tegas.
Dia menatapku, matanya penuh harapan dan ketakutan.
"Apa pun keputusanmu, Alena, aku akan menghormatinya."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan
keberanian untuk mengatakan apa yang ada di hatiku. "Aku tidak bisa terus
hidup seperti ini, Arga. Aku tidak bisa hidup dengan rasa takut, dengan luka
yang terus-menerus mengingatkanku pada pengkhianatanmu. Aku butuh waktu untuk
menyembuhkan diriku sendiri. Dan aku tidak bisa melakukannya jika aku terus
berada di sini, bersamamu."
Arga terdiam. Dia menunduk, tangannya mengepal di atas meja.
"Jadi... kamu ingin pergi?"
"Aku tidak tahu apakah ini selamanya," jawabku
jujur. "Tapi untuk sekarang, aku perlu pergi. Aku perlu menemukan diriku
sendiri, tanpa bayang-bayang luka ini."
Dia mengangguk pelan, meskipun aku bisa melihat air mata
mulai menggenang di matanya. "Kalau itu yang kamu butuhkan, aku tidak akan
menghentikanmu. Aku hanya ingin kamu tahu... aku menyesal. Dan aku mencintaimu,
Alena. Selalu."
Kata-katanya membuat hatiku perih, tapi aku tahu bahwa ini
adalah keputusan yang tepat. Mencintainya tidak berarti aku harus terus
bertahan di tengah rasa sakit. Terkadang, mencintai berarti melepaskan—memberi
ruang bagi diri sendiri untuk sembuh, bagi hati yang hancur untuk kembali utuh.
Malam itu, aku mulai mengemas barang-barangku. Aku tidak
membawa banyak, hanya apa yang benar-benar aku butuhkan. Ketika aku keluar dari
kamar, Arga sedang duduk di sofa, memandang ke arahku dengan tatapan yang sulit
diartikan.
"Aku harap kamu menemukan kedamaian yang kamu
cari," katanya pelan.
"Aku juga harap kamu bisa menemukan cara untuk menjadi
lebih baik, Arga," jawabku. "Bukan hanya untukku, tapi untuk dirimu
sendiri."
Dia mengangguk, lalu berdiri dan berjalan mendekat. Dia
tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya memelukku erat untuk terakhir kalinya. Aku
membiarkannya, membiarkan air mata kami bercampur dalam keheningan yang penuh
rasa kehilangan.
Ketika aku melangkah keluar dari pintu rumah itu, aku tahu
bahwa ini bukan akhir dari cerita hidupku. Ini adalah awal dari perjalanan
baru—perjalanan untuk menemukan kembali siapa aku sebenarnya, dan apa yang
benar-benar aku butuhkan untuk bahagia.
