Novel Pendek Jejak Yang Tertinggal Bab 7
Waktu berjalan tanpa ampun, seperti air yang mengalir tanpa henti. Setiap hari, aku bangun di rumah kecilku, menyapa pagi dengan segelas teh hangat di teras, dan membuka pintu kafe untuk orang-orang yang datang mencari kedamaian. Hidupku berjalan perlahan tapi pasti, seperti luka di hatiku yang perlahan sembuh.
Tapi aku tahu, di tengah ketenangan ini, ada satu keputusan
yang belum kuambil. Hubunganku dengan Arga masih menggantung di ujung tali yang
rapuh. Meskipun aku telah pergi, dan dia berjanji tidak akan mengganggu, aku
tahu bahwa aku tidak bisa terus hidup dengan bayangan ini. Aku harus menentukan
arah, baik untukku maupun untuknya.
Suatu pagi, aku duduk di meja kecil di dapurku, membaca
ulang pesan terakhir dari Arga yang masih tersimpan di ponselku. Kata-katanya
tulus, penuh penyesalan, tapi juga penuh dengan keputusasaan yang kutahu tidak
bisa kuabaikan. Aku memutar-mutar ponsel di tanganku, memikirkan apakah ini
waktu yang tepat untuk menghubunginya.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menelepon. Tidak ada alasan
untuk menunda-nunda lagi. Aku tidak ingin terus hidup dalam ketidakpastian.
Arga mengangkat teleponnya setelah beberapa dering. Suaranya
terdengar sedikit ragu di awal, tetapi hangat seperti biasa.
"Alena," katanya pelan. "Aku tidak menyangka
kamu akan menelepon."
"Aku rasa sudah waktunya kita bicara," jawabku.
"Bisa kita bertemu?"
Dia setuju, dan kami memutuskan untuk bertemu di sebuah
taman di kota. Tempat yang netral, jauh dari ingatan lama yang mungkin hanya
akan menambah rasa sakit.
Ketika aku tiba di taman itu, aku melihat Arga sedang duduk
di bangku kayu di bawah pohon besar. Dia tampak lebih kurus, lebih lelah, tapi
matanya tetap memiliki kilatan yang sama seperti dulu—kilatan yang pernah
membuatku jatuh cinta. Tapi sekarang, aku tidak lagi merasa rapuh di depannya.
Aku datang ke sini bukan untuk mencari cinta yang hilang, tapi untuk menemukan
akhir yang aku butuhkan.
"Terima kasih sudah mau bertemu," katanya ketika
aku duduk di sebelahnya.
"Aku yang seharusnya berterima kasih," jawabku
pelan. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."
Dia mengangguk, lalu terdiam sejenak sebelum akhirnya
berkata, "Aku tahu aku telah menghancurkan banyak hal, Alena. Aku tahu aku
tidak pantas mendapatkan kesempatan lagi, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku
benar-benar menyesal."
Aku menatapnya, merasakan kejujuran dalam suaranya.
"Aku percaya kamu menyesal, Arga. Tapi penyesalan saja tidak cukup.
Kepercayaan kita telah hancur, dan aku tidak tahu apakah itu bisa
diperbaiki."
Dia menunduk, memainkan cincin kawinnya yang masih melingkar
di jari manisnya. "Aku akan melakukan apa saja untuk memperbaiki semuanya.
Tapi jika itu tidak cukup, aku hanya berharap kamu bisa menemukan
kebahagiaanmu, bahkan jika itu bukan bersamaku."
Kata-katanya membuat dadaku sesak. Aku tahu dia tulus, tapi
aku juga tahu bahwa aku tidak bisa kembali. Luka ini terlalu dalam, dan
meskipun aku mencintainya, aku tidak bisa lagi hidup dalam bayang-bayang
pengkhianatan.
"Aku sudah memutuskan, Arga," kataku akhirnya,
suaraku sedikit bergetar. "Aku ingin kita berpisah. Aku ingin memulai
hidup yang baru, tanpa bayangan masa lalu yang terus menghantui."
Dia tidak langsung menjawab. Aku melihat rahangnya mengeras,
matanya berkaca-kaca. Tapi dia hanya mengangguk pelan, seolah menerima
kenyataan yang sudah dia duga akan datang.
"Kalau itu yang terbaik untukmu, aku tidak akan
menahanmu lagi," katanya dengan suara serak. "Aku hanya berharap kamu
tahu bahwa aku akan selalu mencintaimu."
Air mata menggenang di mataku, tapi aku menahannya. Aku
tidak ingin menangis lagi. Aku ingin keputusan ini menjadi milikku sepenuhnya,
tanpa campuran rasa bersalah atau rasa kasihan.
"Aku tahu, Arga. Dan aku juga ingin kamu tahu, meskipun
kita berpisah, aku tidak akan pernah melupakan cinta yang pernah kita miliki.
Tapi sekarang, aku harus memilih diriku sendiri."
Dia tersenyum kecil, meskipun aku bisa melihat rasa sakit di
balik senyum itu. "Kamu benar, Alena. Sudah saatnya kamu memilih dirimu
sendiri."
Kami duduk dalam keheningan, menikmati angin sejuk yang
berhembus di sekitar taman. Ketika akhirnya aku berdiri untuk pergi, dia tidak
mencoba menahanku. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang penuh penyesalan,
tetapi juga penuh penghormatan.
Malam itu, aku menatap langit dari teras rumahku. Untuk
pertama kalinya, aku merasa bahwa aku telah melepaskan beban yang selama ini
menahan langkahku. Keputusan untuk berpisah bukanlah hal yang mudah, tapi aku
tahu itu adalah keputusan yang tepat.
Aku memikirkan perjalanan yang telah kulalui, semua luka dan
kehilangan yang telah mengubahku. Tapi aku juga tahu bahwa dari semua itu, aku
telah menemukan kekuatanku. Aku telah menemukan diriku sendiri.
Dan itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa hilang
dariku.
Jejak yang Tertinggal
Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Matahari baru
saja menyingsing, mewarnai langit dengan gradasi merah muda dan oranye yang
indah. Aku duduk di teras depan rumah kecilku, menikmati secangkir teh hangat
sambil memandangi taman yang mulai penuh dengan bunga. Di saat itu, aku
merasakan kedamaian yang selama ini aku cari—sebuah rasa tenang yang tidak
pernah kurasakan sebelumnya.
Keputusan untuk meninggalkan Arga bukanlah hal yang mudah,
tapi itu adalah langkah yang benar. Meski sakit dan penuh air mata, keputusan
itu membebaskanku. Kini, aku berdiri di atas kakiku sendiri, membangun kembali
hidupku dengan penuh harapan. Luka di hatiku mungkin belum sepenuhnya sembuh,
tapi aku belajar bahwa tidak apa-apa untuk membawa jejak luka itu bersamaku.
Itu adalah bagian dari siapa aku sekarang.
Di kafe "Jejak," hari itu, aku memulai
rutinitasku seperti biasa. Pelanggan mulai berdatangan satu per satu, membawa
tawa dan cerita mereka ke dalam ruangan kecil yang telah menjadi bagian besar
dari hidupku. Aku merasa bangga melihat bagaimana tempat ini tumbuh, bagaimana
tempat ini menjadi ruang di mana orang-orang merasa nyaman dan diterima.
Ketika aku sedang menyeduh kopi untuk salah satu pelanggan
tetap, pintu kafe terbuka, dan aku melihat Reza, pria yang aku temui beberapa
minggu lalu. Dia tersenyum ramah dan melambaikan tangan, lalu berjalan ke meja
favoritnya di dekat rak buku. Aku tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul
di wajahku.
"Aku pikir kamu hanya datang sekali," kataku
sambil menghampirinya dengan secangkir kopi hitam yang sudah dia pesan
sebelumnya.
Dia tertawa kecil. "Aku tidak bisa menahan diri. Tempat
ini punya suasana yang jarang kutemukan di kota lain. Dan kopinya juga enak,
tentu saja."
Kami berbicara lebih lama dari biasanya hari itu. Reza
menceritakan tentang buku yang sedang dia tulis, tentang bagaimana dia sering
mencari inspirasi di tempat-tempat seperti ini. Aku menceritakan sedikit
tentang perjalanan hidupku—tentang mimpiku membuka kafe ini, tentang bagaimana
aku membangunnya dari awal. Tapi aku tidak menceritakan segalanya. Luka masa
laluku masih terlalu pribadi untuk dibagikan, bahkan dengan seseorang yang
mulai terasa seperti teman.
Namun, di balik percakapan sederhana itu, aku merasa ada
sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang hangat, yang tulus, yang membuatku merasa
dihargai. Aku tidak tahu apa arti semua ini, dan aku tidak ingin terburu-buru.
Tapi aku tahu bahwa aku mulai membuka diriku lagi untuk kemungkinan baru.
Malam itu, setelah kafe tutup, aku duduk di kursi dekat
jendela, memandangi bulan yang menggantung di langit malam. Di atas meja, ada
sebuah buku catatan yang mulai sering aku gunakan untuk menulis. Aku mencatat
hal-hal kecil yang membuatku bahagia setiap hari—dari senyuman pelanggan,
hingga aroma kopi yang mengisi ruangan, hingga percakapan ringan dengan
orang-orang seperti Reza.
Menulis hal-hal kecil ini membantuku menyadari betapa banyak
keindahan yang masih ada di dunia, meskipun aku pernah merasa semuanya hancur.
Aku mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang mencari cinta dari orang
lain, tetapi juga tentang menemukan cinta dalam diriku sendiri, dalam
momen-momen kecil yang membentuk hariku.
Beberapa minggu kemudian, aku menerima pesan dari Arga.
Isinya singkat, tapi penuh makna.
"Alena, aku sudah memutuskan untuk pindah ke luar kota.
Aku pikir itu yang terbaik untuk kita berdua. Aku berharap kamu menemukan
kebahagiaanmu, seperti aku berusaha menemukan kebahagiaanku. Terima kasih untuk
semua cinta yang pernah kita miliki."
Aku membaca pesan itu berkali-kali, dan untuk pertama
kalinya, aku merasa tidak ada lagi rasa sakit. Tidak ada lagi air mata. Hanya
rasa syukur—syukur untuk cinta yang pernah kami miliki, untuk pelajaran yang
telah aku pelajari, dan untuk perjalanan yang membawaku ke tempat ini.
Aku membalas pesannya dengan hati yang tenang.
"Terima kasih, Arga. Semoga kamu juga menemukan
kebahagiaanmu. Selamat tinggal."
Hari-hari berlalu, dan hidupku terus berjalan. Aku tidak
tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tidak lagi takut. Luka yang
pernah aku miliki adalah bagian dari siapa aku sekarang, tapi itu bukan lagi
sesuatu yang membebaniku. Itu adalah jejak yang mengingatkanku pada kekuatan
yang aku miliki, pada perjalanan yang telah aku tempuh.
Malam itu, aku duduk di teras rumahku, memandangi langit
yang dipenuhi bintang. Angin malam menyapu wajahku, membawa aroma bunga dari
taman kecilku. Aku menutup mata, tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam
waktu yang lama, aku merasa benar-benar damai.
Aku tidak tahu ke mana jalan ini akan membawaku. Tapi aku
tahu, apa pun yang terjadi, aku akan baik-baik saja.
Karena aku telah menemukan diriku. Dan itu adalah hal paling
berharga yang pernah aku miliki.
Tamat. Silahkan baca novel berikutnya: Cinta yang tersesa di atara dua hati
