Novel Singkat Jejak yang Tertinggal Bab 4
Hari-hari setelah percakapanku dengan ibu terasa seperti perjalanan tanpa tujuan. Aku mencoba melanjutkan rutinitas seperti biasa—menyelesaikan proyek desain yang sudah tertunda, berbelanja ke pasar, bahkan merapikan rumah. Tapi tidak ada yang benar-benar terasa nyata. Segalanya hanya seperti kabut, membungkus rasa sakit yang terus-menerus menggerogoti hatiku.
Malam itu, aku duduk sendirian di ruang tamu dengan
secangkir teh yang sudah dingin di meja kecil di depanku. Pikiran tentang Arga
dan semua kebohongannya terus menghantui. Aku tahu dia sedang berusaha
memperbaiki segalanya—pesan-pesan permintaan maafnya, usahanya untuk pulang
lebih awal, perhatian kecil yang mulai ia tunjukkan kembali. Tapi semua itu
terasa terlambat.
Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkannya. Lebih dari itu,
aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan diriku sendiri karena membiarkan
semuanya terjadi begitu saja.
Aku menelepon Dina, sahabatku sejak masa kuliah. Dia adalah
satu-satunya orang, selain ibuku, yang selalu tahu apa yang ada di dalam
pikiranku tanpa perlu banyak penjelasan. Saat aku bilang aku butuh berbicara,
dia langsung mengundangku ke apartemennya.
“Datang saja. Aku siapkan kopi dan bahu untuk menangis,”
katanya ringan, meskipun aku tahu dia pasti mengkhawatirkanku.
Dina membuka pintu apartemennya dengan senyum kecil yang
hangat. Dia tidak bertanya apa-apa, hanya meraih lenganku dan membawaku masuk.
Aku langsung duduk di sofa, sementara Dina mengambilkan kopi dari dapur.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” kataku, suaraku
bergetar. Dina menyerahkan cangkir kopi ke tanganku, lalu duduk di sampingku.
“Mulai dari mana saja,” jawabnya lembut. “Aku di sini untuk
mendengarkan.”
Aku menceritakan semuanya—tentang noda lipstik, tiket parkir
hotel, pertemuanku dengan Raya, dan akhirnya pengakuan Arga. Kata-kataku
mengalir deras, dan sebelum aku menyadarinya, air mata mulai mengalir di
pipiku.
Dina tidak menyela. Dia hanya mendengarkan dengan tenang,
matanya menunjukkan empati yang mendalam. Ketika aku selesai, dia meraih
tanganku dan menggenggamnya erat.
“Kamu benar-benar kuat, Alena,” katanya pelan.
Aku tertawa kecil, meskipun hatiku masih terasa berat.
“Kuat? Dina, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku
merasa seperti kehilangan arah.”
“Kamu merasa kehilangan arah karena ini adalah sesuatu yang
tidak pernah kamu siapkan, Alena. Tidak ada yang siap menghadapi pengkhianatan
seperti ini. Tapi lihat dirimu. Kamu masih di sini. Kamu masih berdiri, bahkan
setelah semua ini.”
Aku menghela napas, menatap kosong ke depan. “Tapi aku
lelah, Dina. Aku lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku lelah mencoba
memahami apa yang sebenarnya terjadi. Aku lelah mencoba mencintai seseorang
yang mungkin tidak pernah benar-benar mencintaiku.”
Dina menghela napas panjang, lalu menatapku dengan serius.
“Alena, aku tidak akan mengatakan apa yang harus kamu lakukan, karena ini
adalah hidupmu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Tidak apa-apa untuk merasa
lelah. Tidak apa-apa untuk merasa hancur. Kamu tidak perlu menjadi kuat
sepanjang waktu.”
Kata-katanya membuatku menangis lebih keras. Aku tidak tahu
bahwa aku membutuhkan izin itu—izin untuk merasa lemah, untuk merasa rapuh.
Selama ini, aku selalu mencoba menjadi seseorang yang bisa diandalkan,
seseorang yang kuat. Tapi malam itu, aku membiarkan diriku tenggelam dalam
kesedihan.
Setelah menangis sepuasnya, aku merasa sedikit lebih ringan.
Dina menemaniku sepanjang malam, memberiku ruang untuk merenung tanpa tekanan.
Kami berbicara tentang hal-hal ringan, mencoba mengalihkan pikiranku dari rasa
sakit yang sudah terlalu lama kugendong.
“Jadi, apa rencanamu sekarang?” tanya Dina akhirnya, setelah
suasana sedikit lebih tenang.
Aku menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Aku tahu aku harus
memutuskan sesuatu, tapi aku masih belum siap. Aku hanya ingin waktu untuk
memahami semuanya.”
Dina mengangguk, seolah memahami sepenuhnya apa yang aku
rasakan. “Kamu tidak harus buru-buru. Ini hidupmu, Alena. Ambil waktu yang kamu
butuhkan. Tapi apa pun yang kamu putuskan, pastikan itu adalah sesuatu yang
benar-benar kamu inginkan, bukan sesuatu yang kamu lakukan karena merasa
terpaksa.”
Kata-katanya menggema di pikiranku sepanjang perjalanan
pulang. Aku tahu aku tidak bisa terus menghindar dari kenyataan. Tapi untuk
pertama kalinya, aku merasa bahwa tidak apa-apa untuk mengambil waktu. Tidak
apa-apa untuk tidak langsung memiliki semua jawaban.
Malam itu, aku berbaring di tempat tidur, masih dengan rasa
lelah yang menggantung di hatiku. Tapi di balik rasa lelah itu, ada secercah
harapan kecil. Harapan bahwa suatu hari, aku akan menemukan jalan keluarku
sendiri—jalan yang akan membawaku menuju kebahagiaan, apa pun bentuknya.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa mungkin, hanya
mungkin, aku akan baik-baik saja.
Surat dari Masa Lalu
Aku memulai hariku dengan perasaan yang berbeda. Bukan
perasaan tenang atau bahagia, tetapi rasa yang lebih menyerupai kesadaran. Aku
menyadari bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian, dan meskipun
aku belum tahu keputusan apa yang harus kuambil, aku tahu aku harus mulai
menghadapi semuanya, satu demi satu.
Pagi itu, aku memutuskan untuk membersihkan ruang kerja
Arga. Bukan karena aku ingin mencari sesuatu—meskipun mungkin, di lubuk hatiku,
aku berharap menemukan sesuatu yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Tapi
yang kuinginkan hanyalah mengisi waktu dan pikiranku dengan sesuatu yang
konkret, sesuatu yang bisa membuatku merasa sedikit lebih terkendali.
Aku mulai dengan merapikan mejanya, menyusun tumpukan
dokumen yang berserakan, dan mengelap debu yang menempel di permukaan kayu. Di
salah satu laci mejanya, aku menemukan sekumpulan kertas yang terlihat seperti
catatan pekerjaan. Tapi ketika aku membukanya, aku menyadari bahwa itu bukan
dokumen biasa.
Itu adalah surat.
Ada beberapa lembar, semuanya ditulis tangan dengan rapi.
Surat-surat itu tidak disimpan dalam amplop, hanya diikat dengan pita kecil.
Aku merasa darahku membeku ketika membaca nama yang tertulis di bagian atas
surat pertama.
Untuk Arga, dari Raya.
Tanganku gemetar saat membuka surat pertama. Aku tahu bahwa
membaca ini mungkin akan melukai hatiku lebih dalam, tetapi aku juga tahu bahwa
aku tidak bisa berhenti. Aku mulai membaca, dan setiap kata terasa seperti
pisau yang menusukku perlahan.
Arga,
Aku tidak tahu apakah aku akan memiliki keberanian untuk memberimu surat ini.
Tapi aku merasa perlu menuliskan semua yang ada di pikiranku. Kamu tahu aku
mencintaimu, bukan? Aku mencintaimu dengan cara yang tidak pernah kurasakan
sebelumnya. Dan meskipun aku tahu kamu telah memilih Alena, aku tidak bisa
menghentikan perasaan ini.
Mataku terus menyusuri kata-kata di halaman itu. Surat-surat
berikutnya berbicara tentang perasaan Raya—tentang bagaimana dia merasa hancur
ketika Arga menikahiku, tentang pertemuan mereka setelah pernikahan kami, dan
bagaimana dia berharap bahwa suatu hari, Arga akan kembali padanya.
Di surat terakhir, ada sesuatu yang membuatku terpaku.
Aku tahu aku tidak punya hak untuk memintamu kembali.
Tapi, jika suatu saat kamu memutuskan untuk meninggalkan semuanya, aku akan
selalu menunggumu.
Aku tidak bisa membaca lebih jauh. Surat-surat itu jatuh
dari tanganku, dan aku terduduk di lantai ruang kerja Arga. Dadaku terasa
sesak, seolah semua udara di ruangan itu tiba-tiba menghilang.
Jadi, ini yang sebenarnya. Hubungan mereka tidak pernah
benar-benar selesai. Meskipun Arga berkata bahwa itu adalah masa lalu, aku tahu
sekarang bahwa Raya masih menjadi bagian dari hidupnya, setidaknya di hatinya.
Dan mungkin, di hatinya, aku hanyalah pilihan yang nyaman, bukan seseorang yang
benar-benar dia inginkan.
Ketika Arga pulang malam itu, aku duduk di meja makan,
surat-surat itu tersusun rapi di depanku. Dia terlihat lelah seperti biasa,
tetapi begitu matanya melihat surat-surat itu, wajahnya berubah drastis.
"Alena," katanya, suaranya terdengar tegang.
"Kamu menemukan itu?"
Aku mengangguk, menatapnya dengan mata yang penuh rasa
sakit. "Kenapa kamu masih menyimpan ini, Arga? Kalau kamu bilang hubungan
kalian sudah selesai, kenapa surat-surat ini masih ada di sini?"
Dia menghela napas, lalu duduk di depanku. "Aku tidak
pernah berniat menyembunyikannya darimu. Aku hanya... Aku tidak tahu bagaimana
caranya membuang itu. Itu adalah bagian dari masa laluku."
"Masa lalu?" tanyaku, suaraku bergetar.
"Surat terakhir ini tertanggal dua bulan yang lalu, Arga. Ini bukan masa
lalu. Ini adalah sesuatu yang masih terjadi saat kita menikah."
Arga menatapku, dan aku bisa melihat penyesalan di matanya.
"Aku salah, Alena. Aku tahu aku salah. Tapi aku tidak pernah berniat
meninggalkanmu. Aku menyimpan surat-surat itu bukan karena aku ingin kembali
padanya, tapi karena aku terlalu pengecut untuk menghadapi semuanya."
"Dan aku harus percaya itu?" tanyaku, hampir
berteriak. "Bagaimana aku bisa percaya, Arga, setelah semua yang kau
lakukan?"
Dia tidak menjawab. Wajahnya penuh rasa bersalah, tapi itu
tidak cukup. Tidak ada yang bisa dia katakan untuk menghapus rasa sakit ini.
Malam itu, aku tidak tidur di kamar kami. Aku tidur di ruang
tamu, dengan pikiran yang kacau dan hati yang hancur. Surat-surat itu adalah
bukti dari sesuatu yang telah lama aku takutkan—bahwa cinta kami tidak cukup
untuk menutup semua luka, semua kebohongan, semua pengkhianatan.
Dan untuk pertama kalinya, aku mulai bertanya pada diriku
sendiri: apakah aku benar-benar bisa melanjutkan pernikahan ini? Atau apakah
ini adalah akhirnya?
