Novel Singkat Jejak yang Tertinggal Bab 1


Aku selalu berpikir bahwa hidupku adalah cerita dongeng modern. Aku, Alena, perempuan sederhana yang tumbuh di pinggiran kota kecil, berhasil menikahi Arga, pria yang kupikir adalah jawaban dari semua doa-doaku. Lima tahun menikah, kami tinggal di rumah mungil tapi nyaman di tengah kota, dengan taman kecil yang penuh bunga kesukaanku. Hidupku terasa lengkap.

Pagi itu, seperti biasa, aku menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Arga duduk di meja makan, membaca berita di ponselnya sambil sesekali menyesap kopi hitam kesukaannya. Aku memperhatikan wajahnya yang tampak serius, rambut hitamnya yang selalu terlihat rapi, dan garis rahang yang tegas. Masih pria yang sama yang membuatku jatuh cinta bertahun-tahun lalu.
novel pendek




"Jangan lupa makan siang, ya. Aku taruh bekal di tasmu," ucapku sambil menuangkan jus jeruk ke dalam gelasnya.

"Ya, terima kasih. Kamu memang istri terbaik," katanya sambil tersenyum. Senyumnya manis, tapi ada sesuatu yang berbeda hari itu. Entah apa, tapi aku merasa senyuman itu tidak sehangat biasanya.

Aku menepis pikiran buruk itu dan melanjutkan aktivitasku seperti biasa. Setelah Arga pergi bekerja, aku mulai sibuk dengan pekerjaanku sebagai desainer interior freelance. Pekerjaanku memungkinkan aku untuk tetap di rumah, mengatur waktu dengan lebih fleksibel, dan tentu saja, memastikan rumah selalu tertata rapi untuk menyambut Arga pulang.

Namun, akhir-akhir ini, ada yang berbeda dalam rutinitas kami. Arga sering pulang larut malam dengan alasan pekerjaan yang menumpuk. Aku berusaha memahami. Dia bekerja keras demi kehidupan kami, dan aku tidak ingin menjadi istri yang banyak menuntut. Tapi, sebagai istri, aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatiku—perasaan bahwa ada sesuatu yang dia sembunyikan.

Hari itu, saat aku sedang menyusun desain untuk klien, ponselku berbunyi. Sebuah notifikasi pesan dari Arga.

"Maaf, aku harus lembur lagi malam ini. Jangan tunggu aku, ya."

Aku membaca pesan itu berkali-kali. Sudah beberapa minggu ini pesan seperti itu semakin sering muncul. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku ingin percaya bahwa Arga benar-benar sibuk dengan pekerjaannya, tapi suara kecil di kepalaku terus bertanya: Apakah benar hanya itu alasannya?

Malam itu, seperti biasa, aku makan malam sendiri di meja makan yang biasanya penuh dengan canda tawa kami. Aku menatap piring kosong di depanku, merasakan kesepian yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Dalam hati, aku bertanya-tanya, kapan terakhir kali kami benar-benar duduk bersama, tanpa gangguan ponsel atau pekerjaan?

Ketika aku sedang membersihkan meja makan, mataku menangkap sesuatu yang tidak biasa di sudut dapur—kemeja kerja Arga yang ia gantung begitu saja. Biasanya, dia cukup rapi soal pakaian kerjanya, tapi kali ini kemeja itu terlihat lusuh, seperti ia buru-buru melepasnya.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil kemeja itu untuk dimasukkan ke keranjang cucian. Tapi saat aku membukanya, pandanganku langsung tertuju pada sesuatu di kerah kemeja itu. Sebuah noda kecil. Warna merah muda, samar, tapi jelas terlihat.

Aku membeku di tempat. Tangan gemetar saat menyentuh kerah itu. Bibirku bergetar tanpa suara. Aku tahu itu apa. Aku tidak ingin tahu, tapi aku tahu.

Noda lipstik.

Aku berusaha mencari penjelasan logis. Mungkin itu hanya sisa makeup seseorang yang tidak sengaja menempel. Tapi, siapa? Dan bagaimana bisa? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku tanpa henti.

Malam itu, aku duduk di ruang tamu dengan kemeja itu di pangkuanku. Ruangan terasa dingin meskipun aku tahu udara sebenarnya hangat. Aku menunggu Arga pulang, tapi semakin lama aku duduk di sana, semakin aku merasa bahwa dunia yang telah kubangun dengan susah payah mulai runtuh, sedikit demi sedikit.

Ketika akhirnya aku mendengar suara pintu depan terbuka, aku tidak bergerak. Aku hanya duduk diam, menggenggam kemeja itu erat-erat, berusaha menenangkan detak jantungku yang terasa seperti genderang perang.

"Alena? Kamu belum tidur?" Suara Arga terdengar ringan, tanpa beban, seperti tidak ada yang terjadi.

Aku menoleh ke arahnya perlahan, dengan senyum kecil yang kupaksakan. "Kamu lembur lagi?"

"Iya, ada klien penting tadi," jawabnya sambil meletakkan tas kerjanya di sofa. "Kenapa? Ada yang salah?"

Aku ingin bertanya. Aku ingin menuntut penjelasan tentang noda di kemeja itu. Tapi, kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku. Sebaliknya, aku hanya berkata, "Tidak, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."

Arga tersenyum dan menghampiriku, mengecup keningku dengan lembut. "Aku baik-baik saja, jangan khawatir."

Tapi aku tidak bisa menenangkan pikiranku. Aku tahu ada sesuatu yang salah. Aku hanya belum tahu apa itu. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa kehidupan sempurna yang selama ini kubanggakan mungkin hanya sebuah ilusi.

Jarak yang Tak Terlihat


Ada sesuatu yang berubah di antara kami. Aku merasakannya dalam hal-hal kecil—cara Arga menatapku yang tidak lagi seperti dulu, atau senyumnya yang kini terasa berat, seolah dia menyembunyikan sesuatu. Tapi, aku mencoba menyangkal semuanya. Aku ingin percaya bahwa ini hanya perasaanku saja, bahwa dia masih pria yang sama yang kutemui lima tahun lalu di sebuah acara pameran seni.

Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama. Arga selalu sibuk. Aku menyibukkan diri dengan proyek-proyek desainku, meski hatiku terasa kosong. Sore itu, aku duduk di meja kerja sambil memandangi sketsa yang sedang kukerjakan. Biasanya, aku merasa bahagia saat bekerja, tapi belakangan ini pikiranku terlalu sering melayang ke tempat lain. Tepatnya, ke Arga.

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Arga. Isinya seperti yang sudah kuduga.

"Aku mungkin pulang larut malam lagi. Ada presentasi untuk klien besar. Maaf ya, jangan tunggu aku."

Aku membaca pesan itu sambil menghela napas panjang. Sudah berapa kali ia mengirim pesan serupa dalam beberapa minggu terakhir? Rasanya pesan-pesan itu semakin menjadi bagian dari rutinitas kami. Aku ingin membalas dengan sesuatu yang tajam, tapi pada akhirnya, aku hanya menulis singkat, "Baik, hati-hati di jalan."

Aku memutuskan untuk mengalihkan pikiranku dengan merapikan rumah. Tapi, ketika aku membereskan meja kerjanya, aku menemukan hal lain yang menambah kecemasan di hatiku: selembar tiket parkir dari sebuah hotel di pusat kota. Tanggalnya hanya dua hari yang lalu, tepat di saat Arga mengatakan bahwa ia bekerja lembur.

Tanganku gemetar saat memegang tiket itu. Apa yang dia lakukan di hotel itu? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku seperti badai. Aku mencoba mencari alasan, mencoba meyakinkan diriku bahwa mungkin ini hanya tiket lama yang kebetulan tertinggal. Tapi, di sudut hatiku, aku tahu itu tidak benar.

Ketika Arga pulang malam itu, aku sudah duduk di sofa ruang tamu, menunggunya. Dia tampak lelah, dengan dasi yang longgar dan kemeja yang sedikit kusut.

"Kamu belum tidur?" tanyanya sambil melepas sepatu.

"Aku tidak bisa tidur," jawabku, suaraku terdengar lebih dingin dari yang kumaksudkan.

Dia menatapku sejenak, mungkin merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi, seperti biasa, dia tidak bertanya lebih jauh. Dia hanya berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Aku mengikutinya, membawa tiket parkir itu di tanganku.

"Arga," panggilku pelan.

Dia menoleh, terlihat sedikit terkejut dengan nadaku. "Ada apa?"

Aku mengangkat tiket parkir itu, menunjukkan padanya. "Aku menemukan ini di meja kerjamu. Apa yang kamu lakukan di hotel ini dua hari lalu?"

Sekilas, aku melihat perubahan di wajahnya. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuatku tahu bahwa dia tidak siap dengan pertanyaan itu. Dia meraih tiket itu dari tanganku, mengamatinya sejenak, lalu berkata, "Oh, ini... Ini untuk meeting klien. Mereka ingin bertemu di tempat netral, dan hotel ini punya ruang meeting yang bagus."

Aku ingin percaya. Benar-benar ingin. Tapi cara dia berbicara terlalu cepat, terlalu lancar, seolah dia sudah menyiapkan jawaban itu sebelumnya.

"Meeting?" tanyaku, mencoba mencari celah. "Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?"

Dia menghela napas, memasukkan tiket itu ke sakunya. "Alena, aku tidak bisa melaporkan setiap detail kecil dari pekerjaanku. Kamu tahu kan betapa sibuknya aku belakangan ini?"

Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi yang meluap. "Aku bukan meminta laporan, Arga. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya... kamu semakin jauh belakangan ini."

Dia menatapku, dan untuk sesaat aku melihat kilatan rasa bersalah di matanya. Tapi, dia segera menepisnya dengan senyuman kecil. "Kamu terlalu banyak berpikir, Alena. Aku sibuk karena aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita. Aku harap kamu bisa mengerti itu."

Aku ingin membalas, ingin mengatakan bahwa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokanku. Sebaliknya, aku hanya mengangguk pelan, meskipun hatiku masih penuh dengan keraguan.

Malam itu, aku berbaring di tempat tidur sendirian. Arga tidur di sampingku, tapi jarak di antara kami terasa begitu jauh. Aku menatap langit-langit kamar, bertanya-tanya kapan terakhir kali kami merasa benar-benar dekat. Aku ingin percaya bahwa ini hanya fase sementara, bahwa semuanya akan kembali seperti dulu. Tapi, semakin aku mencoba meyakinkan diriku, semakin aku merasa ada sesuatu yang salah. Dan aku tahu, cepat atau lambat, aku harus menghadapi kebenaran, apa pun bentuknya.