Novel Pendek: Cinta yang Kurelakan
Bagaimana perasaanmu atau apa yang kamu lakukan saat suamimu meminta untuk menikah lagi dengan alasan yang masuk akal?
Mungkin sikap dan jawaban Mayang pada suaminya dalam novel ini berbeda dari kebanyakan orang. Ikuti kisahnya.
Bab 1
Aku selalu percaya, cinta adalah hadiah terindah yang
diberikan Tuhan. Itulah yang kurasakan sejak pertama kali aku bertemu Arman,
pria yang kini menjadi suamiku. Hubungan kami sederhana namun penuh warna,
seperti secangkir teh hangat di pagi hari—membumi, tetapi selalu menghangatkan
jiwa.
Kami menikah lima tahun yang lalu. Pernikahan kami bukanlah
pesta mewah yang disorot media sosial atau jadi pembicaraan tetangga. Itu
hanyalah perayaan kecil, dihadiri keluarga dan sahabat terdekat. Namun, bagiku,
itulah momen paling membahagiakan dalam hidupku. Hari itu, aku berjanji akan
mencintai Arman dalam suka maupun duka, tanpa syarat.
Arman adalah pria yang perhatian. Ia selalu memastikan aku
merasa dihargai dalam setiap langkah kecil kami. Saat aku pulang dari pekerjaan
di perpustakaan, dia sudah menyiapkan secangkir kopi atau sesekali membantu
memotong sayur untuk makan malam. Kami sering berbincang tentang hal-hal
sederhana, dari buku yang aku baca hingga proyek terbaru di kantornya. Aku
merasa diriku adalah wanita paling beruntung di dunia.
“Mayang, aku bahagia punya kamu,” katanya suatu malam, saat
kami duduk berdua di teras, ditemani suara jangkrik dan secangkir teh hangat.
Aku hanya tersenyum, merasakan cinta yang tulus terpancar dari matanya.
Namun, seiring waktu, aku sadar ada satu hal yang selalu
menjadi bayangan dalam hidup kami. Sesekali aku menangkap raut murung di wajah
Arman saat kami berkumpul dengan keluarganya. Mereka sering membicarakan soal
keturunan. “Cucu itu rezeki, Nak,” ujar ibunya suatu hari, dengan nada setengah
bercanda tapi terasa menusuk. Aku mencoba tersenyum, walaupun dalam hati ada
rasa tak nyaman.
Sejujurnya, aku dan Arman tak pernah terlalu memusingkan
soal anak. Kami telah berusaha, tentu saja. Berbagai doa dan usaha telah kami
lakukan. Tapi aku merasa, kebahagiaan kami tidak semestinya diukur dari ada
atau tidaknya seorang anak. Apakah itu salah?
Hidup kami berjalan damai, sampai akhirnya, semuanya
berubah.
Sore itu, Arman pulang lebih awal dari biasanya. Wajahnya
terlihat lelah, tapi ada sesuatu yang berbeda. Aku menyambutnya dengan senyum
seperti biasa, tapi dia hanya menatapku lama, seolah mencari keberanian untuk
mengatakan sesuatu yang berat.
“Mayang,” katanya pelan. Tangannya meraih tanganku,
genggamannya hangat tapi terasa sedikit gemetar. “Aku ingin bicara.”
Aku terdiam. Entah kenapa hatiku tiba-tiba diliputi
kecemasan yang sulit kujelaskan. Biasanya, kami selalu bicara dengan santai.
Tapi kali ini, aku tahu, apa pun yang akan ia katakan, itu akan mengubah
segalanya.
Dan aku benar. Dalam beberapa menit berikutnya, kata-kata
yang keluar dari mulutnya adalah hal terakhir yang pernah aku bayangkan akan
kudengar darinya.
Bab 2
“Mayang, aku ingin bicara,” ucap Arman dengan nada berat. Ia
memandangku dalam-dalam, seolah sedang menimbang-nimbang kata-kata yang hendak
ia ucapkan.
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diriku. Sesuatu dalam
nada suaranya membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. “Apa ada
yang salah, Mas?” tanyaku, berusaha menyembunyikan kekhawatiran.
Arman menghela napas panjang. “Ini tentang keluarga kita…
tentang masa depan kita.”
Aku mengernyit. “Maksudnya?”
Ia menggenggam tanganku lebih erat, dan matanya
berkaca-kaca. “Mayang, aku sudah lama berpikir tentang ini. Aku tahu kamu
adalah istri yang luar biasa, dan aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia
ini. Tapi…” Ia berhenti sejenak, seperti takut melanjutkan kalimatnya.
“Tapi apa, Mas?” desakku, meski ada sebagian dari diriku
yang tidak ingin mendengar jawabannya.
“Keluarga menekanku untuk… untuk menikah lagi,” katanya
akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan. Wajahnya menunduk, menghindari
pandanganku.
Dunia rasanya runtuh di sekelilingku. Kata-katanya menggema
dalam kepalaku, sulit kupahami. Aku hanya bisa terdiam, tidak percaya dengan
apa yang baru saja kudengar.
“Kenapa?” tanyaku akhirnya, suaraku hampir tidak terdengar.
Aku merasa seluruh keberanian dalam diriku lenyap seketika.
“Mayang… kamu tahu, selama ini kita belum dikaruniai anak.
Aku tidak pernah mempermasalahkannya, sungguh. Tapi keluargaku… mereka tidak
berhenti menekanku. Mereka ingin aku memiliki keturunan. Aku mencoba menolak,
tapi mereka bilang ini tanggung jawabku sebagai anak laki-laki satu-satunya,”
ucapnya dengan nada penuh rasa bersalah.
Air mata mulai menggenang di mataku. Aku berusaha keras
menahannya, tapi rasa sakit di dadaku terlalu besar. “Jadi, ini semua karena
mereka?” tanyaku, suaraku bergetar. “Bagaimana dengan kita, Mas? Bagaimana
dengan cinta kita?”
“Aku mencintaimu, Mayang,” katanya tegas. “Ini bukan tentang
aku tidak mencintaimu. Ini… ini tentang tanggung jawabku pada keluarga. Aku
tahu ini sulit, tapi aku ingin kita bisa menghadapi ini bersama.”
Aku terdiam. Kata-katanya terdengar seperti pisau yang
menusuk perlahan ke hatiku. Aku ingin marah, ingin berteriak, tapi aku tahu,
Arman juga sedang terluka. Aku bisa melihat rasa bersalah dan konflik batin
yang mendalam di matanya.
“Apa kamu sudah memutuskan?” tanyaku pelan, hampir tidak
berani mendengar jawabannya.
Ia mengangguk perlahan. “Aku tidak ingin menyakitimu,
Mayang. Aku hanya… aku hanya berharap kamu bisa mengerti. Aku ingin meminta
izinmu. Jika kamu tidak setuju, aku tidak akan melakukannya.”
Izin? Bagaimana mungkin aku memberikan izin untuk sesuatu
yang merobek hatiku? Tapi di sisi lain, aku tahu bahwa jika aku menolak, beban
itu akan terus menghantui Arman. Aku merasa seperti berada di persimpangan
tanpa jalan keluar.
Aku menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian.
“Berikan aku waktu, Mas,” kataku akhirnya. “Aku… aku butuh waktu untuk
memikirkannya.”
Ia mengangguk dengan ekspresi penuh penyesalan. “Tentu,
Mayang. Aku akan menunggumu. Apa pun keputusanmu, aku tetap mencintaimu.”
Saat ia pergi meninggalkanku sendirian di ruang tamu, aku
membiarkan air mata yang kutahan sejak tadi akhirnya mengalir. Perasaan sakit,
marah, dan kecewa bercampur menjadi satu. Apakah ini ujian cinta sejati kami?
Atau mungkin, ini adalah tanda bahwa aku harus belajar melepaskan?
Bab 3
Aku duduk di depan cermin kamar tidur kami, menatap
bayanganku sendiri. Wajah itu, yang biasanya memancarkan senyum, kini tampak
suram. Mataku bengkak, bekas tangisan semalam masih jelas terlihat. Aku
menyisir rambutku perlahan, mencoba mengalihkan pikiranku, tetapi kata-kata
Arman terus terngiang di kepalaku.
Menikah lagi.
Dua kata sederhana yang membawa begitu banyak arti, begitu banyak luka.
“Kenapa ini harus terjadi?” gumamku pada diri sendiri.
“Bukankah kita cukup, Mas? Bukankah cinta kita sudah cukup?”
Tapi aku tahu, dalam hati kecilku, aku sudah melihat
tanda-tandanya sejak lama. Tekanan dari keluarganya, pertanyaan-pertanyaan yang
selalu dilontarkan dengan nada lembut tapi menusuk—“Kapan kalian punya
momongan, Mayang?”—seperti duri yang perlahan menusuk jiwaku. Aku selalu
menjawab dengan senyuman, berpura-pura tidak terganggu. Tetapi kini, aku tak
bisa menghindarinya lagi.
Aku mencoba mengingat kembali awal-awal pernikahan kami.
Betapa bahagianya aku dan Arman, menjalani hari-hari penuh cinta dan harapan.
Kami berdoa, berusaha, bahkan berkonsultasi ke dokter. Tapi Tuhan belum
memberikan kami apa yang kami harapkan.
Bukan berarti aku tidak merasa bersalah. Ada hari-hari di
mana aku bertanya pada diriku sendiri, Apa ini salahku? Apakah aku gagal
menjadi seorang istri? Pikiran itu menghantui malam-malamku, tapi Arman
selalu ada untuk menenangkanku.
“Kita berdua sudah cukup, Mayang,” katanya suatu malam,
memelukku erat. “Aku tidak peduli apa kata orang lain. Aku hanya ingin hidup
bersamamu.”
Tapi sekarang, kata-kata itu terasa seperti bayangan masa
lalu yang memudar. Aku tahu Arman mencintaiku, tetapi aku juga tahu betapa
pentingnya keturunan bagi keluarganya. Sebagai anak laki-laki satu-satunya,
tanggung jawab itu selalu ada di pundaknya. Dan sekarang, tanggung jawab itu
telah menjebak kami dalam dilema ini.
Hari-hari berikutnya, aku mencoba mencari jawaban atas
pergulatan ini. Aku berjalan sendirian di taman, duduk di bangku yang biasa
kami tempati berdua. Aku memandang anak-anak yang bermain di kejauhan, tawa
mereka memenuhi udara sore. Ada rasa hangat yang aneh di dadaku, campuran
antara kebahagiaan dan kehampaan.
“Cinta sejati itu apa, sebenarnya?” tanyaku dalam hati.
Apakah cinta itu tentang memiliki? Atau tentang merelakan?
Aku ingin menolak, ingin mempertahankan Arman untuk diriku
sendiri. Tapi jika itu berarti membuatnya terjebak dalam konflik dengan
keluarganya, apakah itu juga cinta? Apakah aku mencintainya dengan cukup besar
untuk menerima keputusannya, meski itu berarti melukai diriku sendiri?
Saat malam tiba, aku berdiri di dapur, memotong sayur untuk
makan malam. Suara pintu terbuka, menandakan Arman pulang. Ia menyapaku seperti
biasa, tapi suaranya terdengar ragu. Aku tahu, ia masih menunggu jawabanku.
Aku berbalik, menatapnya. Wajahnya tampak lelah, seperti
seseorang yang sedang menanggung beban berat. Untuk pertama kalinya, aku
melihat Arman sebagai manusia biasa—bukan sebagai suamiku yang sempurna, tetapi
sebagai pria yang berjuang memenuhi ekspektasi semua orang.
“Mas,” kataku akhirnya. “Apa ini benar-benar yang kamu
inginkan? Atau ini hanya karena keluarga?”
Ia terdiam sejenak, lalu menjawab dengan jujur, “Aku tidak
tahu, Mayang. Aku hanya ingin kita bahagia. Tapi aku juga ingin membahagiakan
mereka.”
Jawabannya membuat hatiku semakin berat. Aku tahu,
keputusanku akan menjadi titik balik dalam hidup kami. Tapi untuk saat ini, aku
hanya bisa berkata, “Aku butuh waktu, Mas. Beri aku waktu.”
Di malam yang sunyi, aku berbaring di tempat tidur, menatap
langit-langit. Di luar, hujan turun perlahan, seperti mencerminkan perasaanku
yang kacau. Aku memejamkan mata, berdoa dalam hati. Jika cinta itu tentang
pengorbanan, maka aku harus memutuskan apakah aku cukup kuat untuk merelakan.
Namun, aku masih bertanya-tanya, apakah aku mampu menjalani
hidup dengan separuh hatiku terluka?
Bab 4
Ketika Arman pertama kali memberitahuku tentang Saqira, aku
hanya mendengar namanya. Tidak ada detail lain yang menyertainya, seolah Arman
sendiri merasa berat hati membicarakan wanita itu. Namun, akhirnya, setelah
beberapa minggu dalam kebisuan, hari ini aku akan bertemu dengannya.
“Kamu yakin siap, Mayang?” tanya Arman pagi itu. Suaranya
lembut, seperti seseorang yang takut melukai lebih dalam.
Aku hanya mengangguk pelan. “Kalau memang ini jalannya, aku
ingin tahu siapa dia, Mas.”
Arman terdiam sejenak, sebelum menjawab, “Dia orang yang
sederhana, Mayang. Aku juga tahu ini berat untukmu. Tapi aku harap… kamu bisa
melihatnya dari sudut pandangku.”
Aku tidak menjawab. Apa yang harus kukatakan? Bahwa aku
berharap semua ini hanya mimpi buruk yang bisa kuhindari dengan membuka mataku?
Bahwa aku ingin semuanya kembali seperti dulu?
Kami bertemu di sebuah kafe kecil di sudut kota. Aku tiba
lebih awal, ditemani secangkir teh hangat yang tidak kusentuh. Rasanya perutku
mual, pikiranku berputar-putar dengan berbagai skenario tentang siapa Saqira
sebenarnya. Apakah dia wanita muda yang cantik? Apakah dia bahagia menjadi
bagian dari ini? Apakah dia tahu bahwa pernikahan ini akan menghancurkan
hatiku?
Pintu kafe terbuka, dan aku tahu itu dia sebelum Arman
sempat memperkenalkan kami. Seorang wanita muda berjalan masuk, mengenakan
gamis biru muda dan hijab sederhana. Wajahnya lembut, tapi matanya penuh
keraguan. Ia terlihat seperti seseorang yang tidak yakin apakah ia harus berada
di sini.
“Mayang, ini Saqira,” kata Arman, memperkenalkan kami.
“Saqira, ini Mayang.”
Aku tersenyum kecil, berusaha menutupi kegugupanku. “Hai,
Saqira,” sapaku.
Saqira membalas dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Hai, Mbak Mayang. Senang bertemu denganmu.”
Aku mempersilakannya duduk. Ada keheningan canggung yang
panjang sebelum kami mulai berbicara. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, dan
tampaknya dia juga tidak. Tapi akhirnya, aku memutuskan untuk memecahkan
kebekuan.
“Kamu tahu kenapa kita ada di sini, kan, Saqira?” tanyaku
lembut.
Dia mengangguk pelan, wajahnya menunduk. “Iya, Mbak. Saya
tahu.”
Aku memperhatikan gerak-geriknya, mencoba membaca
pikirannya. Ada sesuatu yang aneh. Dia tidak terlihat seperti seseorang yang
bahagia atau bersemangat. Sebaliknya, dia tampak gugup, bahkan mungkin takut.
“Apa kamu setuju dengan ini semua?” tanyaku akhirnya, tanpa
bermaksud menyudutkannya.
Saqira terdiam cukup lama sebelum menjawab. “Saya… saya
tidak tahu, Mbak. Awalnya, saya pikir ini yang terbaik. Orang tua saya sangat
ingin saya menerima lamaran ini. Mereka bilang ini adalah kesempatan yang tidak
bisa saya lewatkan. Tapi…”
“Tapi apa?” Aku mendesaknya dengan lembut.
Dia mengangkat wajahnya, dan aku bisa melihat air mata yang
mulai menggenang di matanya. “Tapi saya tidak yakin, Mbak. Saya tidak yakin ini
adalah jalan hidup yang saya inginkan. Saya tidak ingin menyakiti siapa pun,
terutama Mbak.”
Kata-katanya membuat dadaku sesak. Aku tidak tahu apakah aku
merasa lega karena ia tidak sepenuhnya setuju, atau justru semakin bingung
karena semua ini semakin rumit. “Kenapa kamu tidak menolak, kalau kamu merasa
seperti itu?”
Dia tersenyum tipis, tapi senyuman itu penuh dengan
kesedihan. “Karena saya juga punya keluarga, Mbak. Ada hal-hal yang harus saya
korbankan demi mereka, seperti Mbak.”
Percakapan kami berlangsung selama hampir dua jam. Aku
belajar banyak tentang Saqira. Dia adalah seorang gadis muda yang cerdas,
dengan impian besar untuk melanjutkan pendidikan dan bekerja di bidang yang ia
cintai. Tapi keluarganya memandang pernikahan ini sebagai kesempatan untuk
meningkatkan status mereka. Sama seperti aku, dia juga terjebak dalam situasi
di mana cinta dan kewajiban beradu.
Ketika kami akhirnya berpisah, aku merasa lebih bingung
daripada sebelumnya. Tapi ada satu hal yang jelas—Saqira bukan musuhku. Dia
adalah korban lain dari keadaan ini, sama seperti aku.
Di perjalanan pulang, aku dan Arman tidak banyak bicara. Aku
memandangnya dari sudut mataku, bertanya-tanya apakah ia menyadari betapa
rapuhnya kami semua dalam situasi ini. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan
hanya tentang aku dan Arman. Ini tentang tiga orang yang mencoba mencari
kebahagiaan dalam dunia yang tidak sempurna.
Bab 5
Aku tidak tahu bagaimana aku harus merasa setelah pertemuan
itu. Wajah Saqira yang penuh kebimbangan terus menghantui pikiranku. Aku
mencoba membayangkan diriku berada di posisinya—seorang gadis muda yang dipaksa
memilih antara mimpinya dan kehendak keluarganya. Apa yang kurasakan? Apakah
aku juga akan menyerah?
Hari-hari berikutnya, aku tidak bisa berhenti memikirkan
pertemuan kami. Aku mulai memperhatikan detail-detail kecil yang sebelumnya
mungkin kuabaikan. Sesuatu tentang caranya berbicara, caranya tersenyum, terasa
tidak alami. Ia terlalu sopan, terlalu terkontrol—seolah-olah setiap kata yang
keluar dari mulutnya telah direncanakan dengan hati-hati.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk bertemu
dengannya lagi. Kali ini, aku ingin bicara dengannya tanpa Arman. Aku ingin
tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan, tanpa merasa tertekan oleh kehadiran
suamiku.
Kami bertemu di taman kecil di dekat rumahnya. Ia tiba
dengan langkah pelan, mengenakan gamis berwarna pastel yang sederhana.
Senyumnya masih sama, lembut tapi penuh keraguan.
“Ada yang ingin Mbak bicarakan?” tanyanya setelah kami duduk
di bangku taman. Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan.
Aku menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
“Saqira, aku hanya ingin tahu. Apa kamu benar-benar ingin menikah dengan Arman?
Aku ingin kamu jujur. Tidak ada tekanan, hanya kita berdua di sini.”
Ia menatapku, matanya berkaca-kaca. “Mbak Mayang, saya tidak
pernah bermaksud menyakiti siapa pun, terutama Mbak. Tapi… saya tidak tahu
bagaimana harus mengatakan ini.”
“Coba katakan saja,” desakku dengan lembut. “Apa pun itu,
aku ingin mendengarnya.”
Ia menggigit bibirnya, tampak ragu. Setelah beberapa saat,
ia akhirnya berbicara. “Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernikahan ini,
Mbak. Tapi orang tua saya… mereka melihat ini sebagai peluang yang tidak boleh
kami lewatkan. Mereka ingin saya menikah dengan pria seperti Mas Arman, yang
mapan dan baik hati.”
Aku mengangguk, mencoba memahami posisinya. “Tapi bagaimana
dengan kamu sendiri? Apa yang kamu inginkan?”
Ia tersenyum tipis, dan senyum itu membuat hatiku semakin
berat. “Saya ingin melanjutkan kuliah, Mbak. Saya ingin bekerja, punya
kehidupan yang saya bangun sendiri. Tapi keinginan itu terasa kecil
dibandingkan dengan tanggung jawab saya kepada keluarga. Mbak tahu, kan,
bagaimana orang tua bisa menuntut hal-hal yang terasa mustahil?”
Aku tertegun mendengar kejujurannya. Di balik senyuman
lembut itu, ada seseorang yang sedang berjuang untuk tetap teguh pada mimpinya,
meski ia tahu bahwa dunia tidak selalu berpihak padanya.
“Jadi, kamu merasa tidak punya pilihan?” tanyaku.
Ia mengangguk. “Saya mencoba bicara dengan orang tua saya,
Mbak. Tapi mereka bilang, ini untuk kebaikan semua pihak. Mereka yakin saya
akan bahagia setelah menikah, meskipun sekarang saya ragu.”
Aku merasa hatiku semakin berat. Jika aku berada di
posisinya, apakah aku juga akan menyerah pada tekanan? Apakah aku akan memilih
kebahagiaan keluargaku di atas kebahagiaanku sendiri?
Setelah pertemuan itu, aku mulai melihat situasi ini dengan
cara yang berbeda. Saqira bukanlah ancaman, melainkan seorang wanita muda yang
juga terjebak dalam permainan takdir yang tidak ia pilih. Aku merasa terhubung
dengannya, seperti dua orang asing yang tiba-tiba menemukan bahwa mereka
berbagi luka yang sama.
Namun, di sisi lain, aku mulai mempertanyakan peranku dalam
semua ini. Jika aku benar-benar mencintai Arman, apakah aku harus merelakannya
untuk menikah lagi? Dan jika aku merelakan, apakah itu berarti aku juga harus
merelakan kebahagiaanku sendiri?
Di tengah semua pertanyaan itu, satu hal menjadi jelas:
tidak ada satu pun dari kami yang benar-benar menang. Aku, Arman, dan
Saqira—kami semua adalah korban dari harapan dan tekanan yang jauh di luar
kendali kami.
Malam itu, saat aku berbaring di tempat tidur, aku
memejamkan mata dan berdoa. Aku berdoa untuk kekuatan, untuk kebijaksanaan, dan
untuk keberanian. Karena aku tahu, keputusanku nanti tidak hanya akan
memengaruhi hidupku, tetapi juga hidup mereka yang kuanggap penting.
Bab 6
Arman duduk di ruang kerja kecilnya, menatap tumpukan
dokumen yang belum disentuh. Biasanya, ia adalah sosok yang penuh semangat
dalam pekerjaan. Namun, akhir-akhir ini, beban pikiran membuatnya kehilangan
fokus. Ia memijat pelipisnya, berusaha menghalau rasa lelah yang tak hanya
fisik tetapi juga emosional.
Aku berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dalam diam.
Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang kosong yang membuatku tidak tega
mengganggunya. Namun, aku tahu, kami tidak bisa terus-menerus menghindar dari
pembicaraan ini.
“Mas,” panggilku pelan.
Ia menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum kecil. “Mayang,
ada apa?”
Aku melangkah masuk, duduk di kursi di depannya. “Kita perlu
bicara.”
Arman menghela napas, seolah sudah tahu arah pembicaraan
ini. “Aku tahu,” katanya, suaranya terdengar lelah. “Aku hanya… aku hanya tidak
tahu harus mulai dari mana.”
Aku menatapnya dengan lembut. “Kamu tidak harus
menyelesaikan ini sendiri, Mas. Aku ingin tahu apa yang benar-benar kamu
rasakan. Bukan apa yang diinginkan keluargamu, bukan apa yang mereka harapkan
darimu. Tapi apa yang kamu inginkan.”
Ia terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin
kamu bahagia, Mayang. Itu yang utama. Tapi aku juga merasa bertanggung jawab
pada keluarga. Mereka sudah menekan aku sejak lama. Aku merasa seperti… seperti
aku gagal menjadi anak mereka.”
Kata-katanya menusuk hatiku. Aku tahu betapa pentingnya
keluarga bagi Arman. Ia selalu menjadi anak yang berbakti, memenuhi setiap
harapan mereka tanpa banyak mengeluh. Tapi kini, aku melihat sisi lain
darinya—sisi yang terluka karena mencoba memenuhi harapan yang terlalu besar.
“Kamu tidak gagal, Mas,” kataku, mencoba menenangkannya.
“Kamu sudah melakukan yang terbaik. Tapi apakah memenuhi harapan mereka berarti
kita harus mengorbankan kebahagiaan kita sendiri?”
Arman memandangku dengan tatapan penuh rasa bersalah. “Aku
tidak tahu, Mayang. Aku merasa terjebak. Aku mencintaimu, aku tidak ingin
kehilanganmu. Tapi di sisi lain, aku juga tidak ingin terus-menerus merasa
bersalah pada keluargaku. Aku… aku hanya ingin semuanya baik-baik saja.”
Aku merasakan kesedihannya. Ini bukan hanya tentang aku atau
dia, tapi tentang bagaimana ia mencoba menyeimbangkan cinta dan kewajiban, dua
hal yang sering kali bertolak belakang.
Di hari-hari berikutnya, aku memperhatikan Arman semakin
tenggelam dalam pikirannya. Ia menjadi lebih pendiam, sering kali duduk
sendirian di ruang tamu atau teras, seolah mencari jawaban di antara keheningan
malam. Aku ingin membantunya, tapi aku tahu, ini adalah perjalanan yang harus
ia lalui sendiri.
Sementara itu, keluarganya semakin sering menghubungi.
Telepon dari ibu mertuaku menjadi rutinitas harian, dengan nada lembut yang
menyimpan tekanan halus.
“Kamu sudah bicara dengan Mayang, kan, Nak? Ini semua untuk
kebaikanmu,” katanya suatu kali. “Kami hanya ingin memastikan masa depanmu
cerah, dengan keturunan yang akan meneruskan nama keluarga.”
Aku melihat bagaimana kata-kata itu memengaruhi Arman.
Setiap kali ia selesai berbicara dengan keluarganya, wajahnya terlihat semakin
suram. Ada pergulatan dalam dirinya yang semakin sulit ia sembunyikan.
Suatu malam, ketika aku dan Arman sedang makan malam, ia
akhirnya berbicara.
“Mayang,” katanya, memecah keheningan. “Aku tahu aku tidak
bisa memaksamu untuk menerima ini. Aku tahu betapa beratnya untukmu, dan aku
tidak ingin menyakitimu. Tapi aku juga tahu, jika aku tidak memenuhi keinginan
keluargaku, aku akan terus merasa bersalah.”
Aku meletakkan sendokku, menatapnya dengan mata yang penuh
pertanyaan. “Jadi, apa yang ingin kamu lakukan, Mas?”
Ia menatapku balik, dan aku bisa melihat air mata yang mulai
menggenang di matanya. “Aku tidak tahu, Mayang. Aku benar-benar tidak tahu.”
Kalimatnya terdengar seperti permohonan yang putus asa. Aku
merasakan keinginannya untuk menemukan solusi, tapi ia tidak tahu jalan mana
yang harus ia tempuh. Dan di saat itu, aku sadar bahwa ini bukan hanya ujian
untukku, tetapi juga untuknya.
Aku meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Kita akan
mencari jawabannya bersama, Mas,” kataku, meski hatiku sendiri masih diliputi
keraguan. “Apa pun itu, aku di sini untukmu.”
Bab 7
Malam itu, setelah perbincangan kami yang emosional, aku
menghabiskan waktu sendirian di ruang tamu. Lampu redup, dan suara detak jam
dinding menjadi satu-satunya yang menemani pikiranku yang kacau. Dalam
kesunyian ini, aku tahu bahwa saatnya telah tiba. Aku tidak bisa terus
membiarkan semuanya menggantung.
Aku harus mengambil keputusan. Tidak hanya untukku, tapi
juga untuk Arman dan, entah bagaimana, untuk Saqira.
Esoknya, saat Arman baru pulang kerja, aku menyambutnya di
ruang makan. Aku telah menyiapkan makan malam sederhana, bukan karena ingin
membuat suasana nyaman, tetapi karena aku butuh keberanian untuk menyampaikan
apa yang ada di hatiku. Arman tampak lelah, tetapi senyum kecilnya tetap hadir,
meski tidak sepenuhnya tulus.
“Mas,” aku memulai, memecah keheningan setelah kami selesai
makan. “Aku sudah memikirkan semuanya.”
Ia meletakkan gelasnya, matanya langsung menatapku penuh
perhatian. “Apa maksudmu, Mayang?”
Aku menghela napas panjang. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku
mencintaimu. Tidak ada yang lebih aku inginkan dalam hidup ini selain melihat
kamu bahagia.”
“Mayang, aku tahu itu,” jawabnya pelan. “Dan aku juga
mencintaimu.”
Aku mengangguk. “Justru karena itu, aku sudah mengambil
keputusan. Jika menikah lagi adalah apa yang harus kamu lakukan untuk memenuhi
keinginan keluargamu, aku… aku akan merelakannya.”
Wajah Arman berubah. Matanya melebar, dan ia tampak seolah
tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “Kamu… kamu serius, Mayang?
Kamu rela?”
Aku menunduk, berusaha menahan air mata yang menggenang.
“Ini bukan tentang aku, Mas. Aku tidak ingin menjadi penghalangmu. Aku tahu
betapa berat tekanan dari keluargamu, dan aku tidak ingin kamu terus hidup
dalam perasaan bersalah. Jika ini adalah cara untuk membuat semuanya lebih
baik, maka aku akan belajar menerimanya.”
Arman terdiam lama. Aku bisa melihat betapa besar pergulatan
dalam dirinya. Tangannya menggenggam erat meja, seolah-olah mencoba menahan
sesuatu yang ingin meledak.
“Mayang,” katanya akhirnya, suaranya serak. “Aku tidak tahu
apakah aku bisa melakukannya. Aku tidak tahu apakah aku bisa hidup dengan
diriku sendiri setelah menyakitimu seperti ini.”
Aku tersenyum kecil, meski hatiku terasa seperti remuk.
“Cinta sejati bukan tentang memiliki, Mas. Kadang, cinta itu tentang memberikan
kebahagiaan, bahkan jika itu berarti melepaskan sesuatu yang penting untuk
kita. Aku tidak bilang ini mudah untukku, tapi aku ingin mencoba.”
Arman tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatapku dengan
mata yang penuh rasa bersalah dan kesedihan. Dalam keheningan itu, aku tahu
bahwa ia memahami apa yang kurasakan, dan aku berharap ia juga tahu bahwa ini
bukan keputusan yang kuambil dengan mudah.
Hari-hari berikutnya, aku mencoba menjalani hidup seperti
biasa, meski hatiku terasa hampa. Aku mulai belajar menerima kenyataan bahwa
hidupku akan berubah, bahwa aku mungkin harus berbagi cinta yang selama ini
hanya milikku.
Namun, di tengah proses ini, aku juga mulai merasa ada
sesuatu yang berubah dalam diri Arman. Ia menjadi lebih sering termenung, lebih
sering memperhatikanku dalam diam. Ada sesuatu dalam caranya memandangku yang
sulit kumengerti, seolah-olah ia sedang mempertanyakan segalanya.
Sementara itu, aku juga tetap menjaga komunikasi dengan
Saqira. Aku merasa bahwa aku harus memastikan ia tidak terjebak dalam situasi
yang akan menyakitinya lebih dari yang sudah terjadi. Kami bertemu beberapa
kali lagi, dan dalam percakapan kami, aku semakin yakin bahwa ia juga tidak
sepenuhnya menginginkan ini.
“Aku ingin melanjutkan hidupku, Mbak,” katanya suatu kali,
dengan air mata mengalir di pipinya. “Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya
melawan keluarga. Aku takut mengecewakan mereka.”
Aku menggenggam tangannya, mencoba memberinya keberanian.
“Kita semua ingin membahagiakan keluarga kita, Saqira. Tapi kebahagiaan mereka
tidak boleh berarti mengorbankan kebahagiaanmu sendiri.”
Pada suatu malam, aku dan Arman kembali duduk berdua di
teras, seperti yang sering kami lakukan dulu. Suasana malam itu begitu tenang,
hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan. Aku mengira kami akan
berbicara tentang hal-hal biasa, tetapi tiba-tiba, Arman memecah keheningan.
“Mayang,” katanya pelan, memandang jauh ke depan. “Aku rasa
aku tahu apa yang harus kulakukan.”
Aku menoleh ke arahnya, menunggu ia melanjutkan.
“Aku tidak akan menikah lagi,” katanya akhirnya. “Aku tidak
bisa. Aku tidak bisa menyakiti kamu, menyakiti Saqira, atau menyakiti diriku
sendiri. Jika keluargaku tidak bisa menerima itu, maka aku harus belajar untuk
menghadapi mereka. Tapi aku tidak akan mengorbankan kebahagiaan kita hanya
untuk memenuhi keinginan mereka.”
Aku tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Air mata
mengalir di pipiku, bukan karena sedih, tetapi karena lega. Aku tahu keputusan
ini tidak mudah baginya, tetapi aku bersyukur bahwa akhirnya ia memilih apa
yang menurutnya benar.
Aku menggenggam tangannya, menatapnya dengan penuh kasih.
“Terima kasih, Mas. Terima kasih sudah memilih kita.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu,
aku merasa bahwa semua beban perlahan mulai terangkat dari hati kami.
Bab 8
Beberapa hari setelah Arman menyampaikan keputusannya, aku
merasa lega sekaligus resah. Meski Arman telah memilih untuk tidak melanjutkan
rencana pernikahan kedua, aku tahu ada satu hal yang masih menggantung: Saqira.
Gadis itu, dengan segala kebimbangannya, masih terjebak dalam situasi yang
memaksanya untuk menyerah pada keinginan keluarganya.
Aku merasa harus berbicara dengannya lagi. Bukan hanya untuk
memastikan ia memahami keputusan Arman, tetapi juga untuk memberinya ruang
untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Kami bertemu di sebuah kafe kecil yang tenang, jauh dari
hiruk-pikuk kota. Saqira tampak lebih tenang daripada sebelumnya, tetapi
matanya masih menyiratkan beban yang ia bawa. Aku tahu, percakapan ini tidak
akan mudah.
“Aku ingin kita bicara tentang keputusan Arman,” kataku
membuka percakapan.
Saqira menatapku dengan tatapan penuh tanya. “Apa yang Mas
Arman putuskan, Mbak?”
“Dia memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan
ini,” jawabku pelan. “Dia tidak ingin menyakiti aku, kamu, atau dirinya
sendiri. Dia memilih untuk menghadapi keluarganya dan berusaha membuat mereka
mengerti.”
Mata Saqira melebar, campuran keterkejutan dan kelegaan
terlihat di wajahnya. “Dia… dia benar-benar mengatakan itu?” tanyanya, suaranya
nyaris berbisik.
Aku mengangguk. “Iya. Tapi aku tahu, keputusan ini tidak
hanya menyangkut dia dan aku. Ini juga menyangkutmu, Saqira. Aku ingin kamu
tahu bahwa kamu bebas memilih jalan hidupmu sendiri.”
Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia menundukkan wajah,
tangannya gemetar di atas meja. “Mbak Mayang, aku tidak tahu apa yang harus aku
lakukan. Aku ingin bersyukur karena ini semua tidak terjadi, tapi aku juga
takut dengan reaksi keluargaku. Mereka akan sangat kecewa jika aku menolak
pernikahan ini.”
Aku menggenggam tangannya, mencoba memberinya kekuatan.
“Keluargamu mungkin akan kecewa, Saqira. Tapi hidupmu adalah milikmu. Kamu
punya hak untuk menentukan apa yang terbaik untuk dirimu sendiri.”
Ia mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang masih
basah. “Tapi bagaimana, Mbak? Bagaimana caranya aku menghadapi mereka? Mereka
selalu bilang, ini adalah satu-satunya cara untuk membahagiakan kami semua.”
Aku tersenyum kecil, meski hatiku ikut merasakan
kesedihannya. “Kamu harus berani, Saqira. Aku tahu ini tidak mudah. Tapi
kebahagiaanmu tidak bisa digantikan dengan apa pun. Jika kamu menyerah pada
sesuatu yang tidak kamu inginkan, kamu akan hidup dalam penyesalan. Aku yakin
keluargamu pada akhirnya akan mengerti.”
Beberapa minggu berlalu setelah pertemuan itu. Aku mendengar
bahwa Saqira akhirnya memberanikan diri untuk berbicara dengan keluarganya. Ia
memilih untuk menolak pernikahan ini dan melanjutkan mimpinya melanjutkan
pendidikan. Prosesnya tidak mudah, tentu saja. Orang tuanya kecewa, bahkan
sempat mengancam tidak akan mendukungnya lagi. Namun, dengan keberanian yang ia
temukan dalam dirinya, Saqira tetap teguh pada pilihannya.
Suatu hari, aku menerima pesan darinya.
"Mbak Mayang, terima kasih. Karena dukungan Mbak,
saya berani mengambil langkah ini. Saya tahu ini akan sulit, tetapi saya merasa
ini adalah jalan yang benar untuk saya. Semoga Mbak dan Mas Arman selalu
bahagia."
Aku membaca pesan itu dengan senyum di wajahku. Aku merasa
lega, karena setidaknya satu bagian dari konflik ini telah menemukan jalan
keluarnya. Aku tahu perjalanan Saqira masih panjang, tetapi aku juga tahu ia
telah menemukan kekuatan dalam dirinya untuk menghadapi dunia.
Malam itu, aku dan Arman duduk di teras rumah, menikmati teh
hangat sambil berbincang ringan. Aku menceritakan keputusan Saqira kepadanya,
dan ia mengangguk dengan penuh rasa hormat.
“Dia gadis yang kuat,” kata Arman. “Aku bersyukur dia
memilih untuk mengikuti hatinya.”
Aku mengangguk. “Aku juga. Dan aku bersyukur kamu juga
memilih jalan kita, Mas. Aku tahu ini tidak mudah untukmu.”
Arman menggenggam tanganku, matanya penuh kasih sayang.
“Mayang, kamu adalah alasan aku bisa membuat keputusan ini. Aku tidak ingin
kehilangan kamu, dan aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Aku hanya berharap,
ke depannya, kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih tenang.”
Aku tersenyum, merasakan ketenangan yang sudah lama hilang
akhirnya kembali. Meski perjalanan ini penuh dengan luka dan pengorbanan, aku
tahu kami telah menemukan jalan yang terbaik untuk semua pihak.
Bab 9
Hari itu, matahari bersinar hangat, tetapi aku merasa
seperti berada di tengah badai. Aku dan Arman mengunjungi rumah orang tuanya
untuk pertama kalinya sejak semua keputusan ini dibuat. Rasanya ada beban berat
yang kami bawa, karena kami tahu pembicaraan hari ini akan menjadi ujian
terakhir bagi hubungan kami—bukan hanya sebagai pasangan, tetapi juga sebagai
anak yang berbakti.
Di ruang tamu yang rapi, ibu Arman menyambut kami dengan
senyum tipis. Namun, aku bisa merasakan ada ketegangan di balik senyum itu.
Ayahnya duduk di sofa, dengan ekspresi serius seperti biasa. Arman menggenggam
tanganku, memberiku kekuatan.
“Arman,” kata ayahnya dengan nada berat. “Kami sudah
mendengar kabar bahwa kamu memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana
pernikahan ini.”
Arman mengangguk. “Betul, Pak, Bu. Aku sudah memutuskan.”
Keheningan menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara jam
dinding yang berdetak pelan. Aku bisa merasakan pandangan tajam dari ibu
mertuaku, seolah mencoba membaca pikiranku.
“Kenapa, Nak?” tanya ibunya akhirnya, dengan nada yang
campuran antara bingung dan kecewa. “Ini semua demi kebaikanmu. Demi masa depan
keluarga kita.”
Arman menghela napas panjang sebelum menjawab. “Bu, aku
paham apa yang kalian inginkan. Aku tahu betapa pentingnya memiliki keturunan
dalam keluarga ini. Tapi aku tidak bisa melanjutkan rencana ini tanpa melukai
orang-orang yang aku cintai. Aku tidak ingin menyakiti Mayang, dan aku juga
tidak ingin menyakiti diri sendiri.”
“Tapi kamu juga harus memikirkan keluarga besar kita,
Arman,” sahut ayahnya. “Apa yang akan mereka pikirkan jika kamu tidak memiliki
anak? Apa yang akan terjadi pada nama keluarga kita?”
Aku merasakan genggaman tangan Arman semakin erat. Ia
menatap ayahnya dengan tegas, tetapi penuh rasa hormat. “Aku mengerti, Pak.
Tapi aku percaya, kebahagiaan keluarga tidak hanya bergantung pada memiliki
anak. Aku tidak ingin membuat keputusan besar seperti ini hanya karena takut
dengan pendapat orang lain. Kalian selalu mengajarkan aku untuk bertanggung
jawab, dan inilah tanggung jawab yang ingin aku ambil—memastikan bahwa aku,
Mayang, dan semua orang di sekitar kita tidak hidup dalam rasa sakit.”
Aku tertegun mendengar kata-katanya. Arman, yang biasanya
diam ketika dihadapkan pada tekanan keluarganya, kini berbicara dengan penuh
keberanian. Aku merasa bangga, tetapi juga cemas, karena aku tahu ini tidak
akan mudah diterima.
Ibu mertuaku menghela napas panjang. “Tapi, Nak… kami hanya
ingin yang terbaik untukmu.”
Arman menatapnya dengan penuh kasih. “Aku tahu, Bu. Dan aku
sangat bersyukur atas semua yang kalian lakukan untukku. Tapi yang terbaik
untukku adalah mempertahankan apa yang aku miliki sekarang, tanpa menyakiti
siapa pun.”
Keheningan kembali mengisi ruangan. Aku melihat ibu mertuaku
menunduk, matanya berkaca-kaca. Ayahnya juga terdiam, menatap ke arah Arman
seolah sedang memikirkan kata-kata yang tepat.
“Aku hanya berharap kalian bisa menerima keputusan ini,”
lanjut Arman. “Aku tetap anak kalian, dan aku ingin terus membuat kalian
bangga. Tapi aku juga ingin hidup dengan damai bersama Mayang.”
Akhirnya, ibu mertuaku mengangkat wajahnya. Air mata
mengalir di pipinya, tetapi ia tersenyum kecil. “Kalau itu yang membuatmu
bahagia, Nak, kami akan mencoba menerimanya.”
Ayah Arman mengangguk perlahan. “Kamu sudah dewasa, Arman.
Kami tidak bisa memaksamu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, tapi mungkin
kami juga harus belajar melihat kebahagiaan dengan cara yang berbeda.”
Hatiku terasa ringan mendengar kata-kata mereka. Meski
perjalanan ini tidak mudah, aku merasa bahwa kami akhirnya menemukan titik
temu—sebuah pemahaman bahwa cinta dan kebahagiaan tidak selalu harus mengikuti
aturan atau tradisi yang telah lama ada.
Ketika kami berjalan keluar dari rumah itu, aku merasa
seperti beban berat telah terangkat dari pundakku. Arman menggenggam tanganku
erat, dan aku menoleh ke arahnya, tersenyum.
“Kamu luar biasa, Mas,” kataku. “Aku bangga padamu.”
Ia balas tersenyum, matanya penuh rasa lega. “Ini semua
karena kamu, Mayang. Aku tidak akan bisa melakukannya tanpamu.”
Aku menatapnya dengan penuh kasih, merasakan cinta kami yang
semakin kuat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa bahwa kami
akhirnya bisa melangkah ke depan tanpa bayangan gelap yang terus membayangi.
Bab 10
Matahari pagi menembus tirai jendela, memberikan kehangatan
yang lembut di kamar kami. Aku terbangun dengan perasaan tenang yang sudah lama
tidak kurasakan. Di sampingku, Arman masih tertidur, wajahnya terlihat damai.
Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa badai yang selama ini mengguncang hidup
kami akhirnya berlalu.
Hari itu adalah awal baru bagi kami. Tidak ada lagi
ketegangan, tidak ada lagi bayangan gelap yang membayangi langkah kami. Aku
tahu, perjalanan ini tidak mudah. Luka yang kami alami mungkin tidak sepenuhnya
hilang, tetapi kami telah belajar untuk menerima bahwa cinta tidak selalu
sempurna.
Setelah sarapan, aku duduk di teras sambil membaca buku
favoritku. Di tengah keheningan pagi, aku merenungkan perjalanan panjang yang
telah kami lalui. Aku teringat pertemuan pertamaku dengan Arman, janji-janji
yang kami ucapkan di hari pernikahan kami, dan semua kebahagiaan serta cobaan
yang telah kami hadapi bersama.
Ada saat-saat di mana aku merasa tidak kuat, saat aku merasa
ingin menyerah. Tetapi cinta yang kami miliki selalu memberiku alasan untuk
bertahan. Cinta itu tidak hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang
pengorbanan, tentang belajar menerima dan melepaskan.
Aku teringat percakapanku dengan Saqira beberapa waktu lalu.
Ia kini melanjutkan pendidikannya, berjuang untuk mewujudkan mimpinya. Dalam
pesan-pesannya, ia sering berterima kasih atas dukunganku, tetapi sebenarnya
akulah yang belajar banyak darinya. Keberaniannya untuk melawan tekanan dan
memilih jalannya sendiri menginspirasiku.
Di malam hari, aku dan Arman duduk di teras, menikmati angin
sepoi-sepoi sambil memandang langit yang bertabur bintang. Tidak ada percakapan
panjang, hanya kebersamaan yang menenangkan. Namun, aku merasa inilah momen di
mana cinta kami berbicara lebih keras daripada kata-kata.
“Mayang,” kata Arman, memecah keheningan. “Aku ingin kamu
tahu bahwa aku sangat bersyukur memiliki kamu dalam hidupku. Aku tahu
perjalanan ini tidak mudah, tapi aku tidak pernah meragukan cinta kita.”
Aku tersenyum, menatapnya dengan mata yang penuh rasa
syukur. “Aku juga, Mas. Aku belajar bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki
segalanya, tetapi tentang merelakan, tentang menerima kekurangan, dan tentang
memperjuangkan kebahagiaan bersama.”
Kami saling menggenggam tangan, dan dalam keheningan itu,
aku merasa bahwa cinta kami telah tumbuh lebih kuat. Apa yang dulu terasa
seperti ujian berat kini menjadi fondasi yang menguatkan hubungan kami.
Hari-hari berikutnya, aku mulai merasa lebih bebas. Aku
kembali menikmati pekerjaan di perpustakaan, berbincang dengan pengunjung yang
datang untuk mencari buku, dan menjalani rutinitas harian dengan hati yang
lebih ringan. Arman juga tampak lebih bahagia, lebih tenang. Ia mulai lebih
sering berbicara dengan keluarganya, menjelaskan keputusannya dengan penuh
kesabaran.
Hubungan kami dengan keluarganya perlahan membaik. Meski
butuh waktu bagi mereka untuk sepenuhnya menerima, aku merasa bahwa mereka
mulai melihat cinta dan kebahagiaan kami sebagai sesuatu yang berharga.
Aku menyadari, perjalanan ini telah mengajarkan aku banyak
hal. Tentang cinta, tentang pengorbanan, dan tentang kekuatan untuk bertahan.
Aku belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang
memahami, merelakan, dan menerima. Cinta sejati adalah tentang memberi
kebahagiaan kepada orang yang kita cintai, meski itu berarti mengorbankan
sebagian dari diri kita.
Dan sekarang, saat aku menutup buku kehidupan yang penuh
dengan pelajaran ini, aku merasa siap untuk memulai bab baru. Bab di mana cinta
kami tidak lagi terikat oleh harapan atau tekanan, tetapi berjalan dengan
kebebasan dan keikhlasan.
Aku menatap Arman, yang sedang duduk di sampingku sambil
membaca koran. Senyumnya menenangkan hatiku, dan aku tahu, apa pun yang terjadi
di masa depan, kami akan selalu menghadapi semuanya bersama.
Karena pada akhirnya, cinta yang kurelakan adalah cinta yang
memerdekakan. Cinta yang membuat kami menjadi lebih kuat. Dan itu adalah cinta
yang selalu layak diperjuangkan.
