Novel Singkat Jejak yang Tertinggal Bab 2
Pagi itu terasa seperti pagi-pagi biasanya. Aku terbangun sedikit lebih awal, menyiapkan sarapan sederhana untukku dan Arga. Aroma kopi mengisi dapur kecil kami, bercampur dengan suara bising dari penggorengan. Sinar matahari masuk melalui tirai jendela, menciptakan bayangan hangat di dinding.
Tapi ada sesuatu yang berbeda. Aku merasakannya dalam
dadaku, seperti berat yang tak kasatmata. Semalam aku tidak tidur nyenyak.
Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab terus menghantuiku, tentang tiket
parkir, tentang kata-kata Arga yang terdengar begitu lancar tapi terasa hampa.
Arga akhirnya muncul dari kamar tidur dengan kemeja birunya
yang sudah rapi. Dasi abu-abu menggantung di lehernya, belum diikat. Dia
tersenyum kecil ke arahku, tapi matanya tampak lelah. "Kamu bangun pagi
sekali," katanya sambil menarik kursi di meja makan.
"Aku tidak bisa tidur," jawabku singkat sambil
meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Dia hanya mengangguk, tanpa bertanya
lebih lanjut.
Aku memperhatikan dia dari balik meja dapur, mencoba mencari
sesuatu di wajahnya—petunjuk, tanda apa pun yang bisa menjelaskan perasaanku
yang semakin tak menentu. Tapi, seperti biasa, Arga terlihat tenang. Terlalu
tenang.
Setelah sarapan, dia berdiri dan mulai mengenakan dasi. Aku
mendekatinya, membantu mengikatnya dengan gerakan yang sudah kuhafal di luar
kepala. Saat tanganku menyentuh kain dasi itu, aku menyadari betapa dinginnya
sentuhan di antara kami. Dulu, setiap momen kecil seperti ini terasa penuh
kehangatan. Tapi kini, rasanya seperti kami adalah dua orang asing.
Dia mencium keningku sebelum berangkat. "Aku mungkin
pulang larut lagi malam ini," katanya.
Aku hanya mengangguk, tanpa mencoba menyembunyikan kecewa
yang mulai kurasakan. "Hati-hati di jalan," ucapku pelan.
Ketika pintu tertutup, aku berdiri di sana beberapa saat,
memandangi ruangan kosong. Tanganku secara refleks mulai membereskan meja
makan, mengambil piring dan gelas bekas sarapan. Ketika aku sampai di sudut
dapur, aku melihat sesuatu yang terlupakan: kemeja putih Arga yang tergantung
di sandaran kursi. Dia pasti meninggalkannya semalam setelah pulang.
Aku mengambil kemeja itu, hendak memasukkannya ke keranjang
cucian. Tapi saat melipatnya, aku melihat sesuatu di kerahnya—sebuah noda
kecil. Merah muda. Samar, tapi cukup jelas untuk membuatku terdiam.
Tanganku bergetar saat memegang kerah itu lebih dekat. Aku
tahu apa itu. Tidak ada cara lain untuk menjelaskannya. Itu noda lipstik.
Aku mencoba mengatur napas, tapi rasanya semakin sulit.
Dadaku terasa sesak, seperti dihantam sesuatu yang berat. Aku ingin percaya
bahwa ini hanya kesalahan, bahwa ada penjelasan sederhana untuk noda itu. Tapi
suara kecil di dalam diriku mengatakan hal lain.
Selama beberapa menit, aku hanya berdiri di sana, memandangi
kemeja itu. Pikiranku dipenuhi bayangan-bayangan yang tidak ingin kulihat.
Siapa yang meninggalkan noda ini? Di mana? Kapan? Dan yang terpenting, kenapa?
Aku mencoba mengingat setiap percakapan dengan Arga dalam
beberapa minggu terakhir, setiap detail kecil yang mungkin kulewatkan. Tiket
parkir hotel itu muncul kembali di benakku. Begitu juga dengan pesan-pesan
singkatnya yang semakin sering muncul: "Maaf lembur lagi."
Air mataku mulai mengalir tanpa kusadari. Aku menggenggam
kemeja itu lebih erat, seolah berharap jawabannya akan muncul dengan
sendirinya. Tapi yang kutemukan hanyalah rasa sakit yang semakin menggerogoti.
Siang itu, aku duduk di ruang tamu dengan kemeja itu di
pangkuanku. Aku mencoba memutuskan apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus
langsung mengkonfrontasinya? Atau menunggu sampai aku tahu lebih banyak?
Bagaimana jika aku salah? Bagaimana jika ini hanya kesalahpahaman?
Tapi, di lubuk hatiku, aku tahu bahwa ini bukan kesalahan.
Noda ini adalah bukti dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang selama ini
aku coba abaikan, tapi kini berdiri di hadapanku dengan begitu jelas.
Malamnya, Arga pulang lebih awal dari biasanya, sesuatu yang
langka belakangan ini. Aku duduk di sofa, menunggunya. Kemeja itu masih ada di
pangkuanku, seperti bukti yang siap kuhadapkan padanya.
"Arga," panggilku saat dia meletakkan tas
kerjanya.
Dia menatapku, terlihat sedikit bingung dengan nada suaraku
yang tegas. "Ada apa, Alena? Kamu terlihat serius."
Aku mengangkat kemeja itu, menunjukkan noda di kerahnya.
"Ini apa?"
Wajahnya berubah. Untuk sesaat, dia terlihat terkejut,
seperti tidak menyangka aku akan bertanya tentang itu. Tapi dia segera
menguasai dirinya, mengambil kemeja itu dari tanganku. "Oh, ini? Ini
mungkin kena makeup dari rekan kerjaku. Kamu tahu kan, kalau kita sering
berpapasan di kantor."
Aku memandangi wajahnya, mencoba mencari kejujuran dalam
matanya. Tapi, yang kutemukan hanyalah kebohongan yang diselimuti dengan
senyuman tipis. "Arga, jangan anggap aku bodoh. Aku tahu ada sesuatu yang
kamu sembunyikan."
Dia menghela napas, meletakkan kemeja itu di sofa.
"Alena, kamu terlalu banyak berpikir. Tidak ada yang perlu kamu
khawatirkan. Aku sibuk bekerja, dan itu saja. Jangan membesarkan hal yang
sebenarnya kecil."
Aku ingin percaya. Tapi kata-katanya tidak cukup untuk
menghapus keraguan yang sudah menancap di hatiku. Malam itu, meski kami duduk
di ruangan yang sama, aku merasa kami berada di dunia yang berbeda.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa pernikahan kami
mungkin tidak sekuat yang selama ini kupikirkan.
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Beberapa hari setelah konfrontasi kami yang canggung tentang
noda di kerah kemeja, Arga mulai berubah. Dia menjadi lebih hati-hati, lebih
perhatian, dan bahkan berusaha meluangkan waktu untuk makan malam bersama. Tapi
perubahan itu tidak membuatku lega. Sebaliknya, aku semakin yakin bahwa dia
sedang menutupi sesuatu.
Aku mencoba menenangkan diriku. Aku mencoba meyakinkan
hatiku bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa ini hanya fase yang akan
berlalu. Tapi setiap kali aku melihat wajah Arga, rasa curiga itu kembali,
lebih kuat dari sebelumnya.
Hari itu, aku memutuskan untuk keluar rumah sejenak.
Pikiranku terlalu penuh, dan aku membutuhkan udara segar untuk berpikir jernih.
Aku berjalan ke kafe kecil favoritku, tempat yang biasanya menenangkan. Tapi
bahkan di sana, rasa gelisah itu tidak mau pergi.
Saat aku memandangi cangkir kopi yang hampir kosong, sebuah
suara lembut membuyarkan lamunanku.
"Alena, kan?"
Aku menoleh dan mendapati seorang wanita berdiri di samping
mejaku. Dia terlihat muda, dengan rambut panjang yang tergerai rapi dan senyum
sopan di wajahnya. Aku tidak mengenalnya, tapi ada sesuatu yang familiar
tentang dirinya.
"Iya, saya Alena," jawabku ragu. "Maaf, kita
pernah bertemu sebelumnya?"
Wanita itu tersenyum kecil, lalu menarik kursi di depanku
tanpa menunggu undangan. "Aku Raya. Mungkin kamu belum mengenalku, tapi
aku tahu banyak tentang kamu."
Jantungku berdebar keras. Nama itu. Raya. Aku pernah
mendengar nama itu di pembicaraan Arga, beberapa kali, tapi selalu dalam
konteks pekerjaan. Dan sekarang, wanita itu duduk di hadapanku dengan senyuman
yang membuatku semakin cemas.
"Aku... nggak yakin kita punya alasan untuk
bicara," kataku, mencoba terdengar tenang meski kepalaku penuh pertanyaan.
"Tapi aku yakin," balasnya cepat. "Aku rasa
ini waktu yang tepat untuk kita saling mengenal. Ada banyak hal yang perlu kamu
ketahui."
Mataku memperhatikan setiap gerak-geriknya. Dia tidak tampak
seperti seseorang yang datang untuk membuat keributan. Tapi kata-katanya, nada
bicaranya, semuanya penuh dengan sesuatu yang aku tidak bisa abaikan.
"Apa maksudmu?" tanyaku, mencoba menahan amarah
yang mulai membakar dadaku.
Dia menghela napas panjang, seolah mencoba mencari kata-kata
yang tepat. "Aku tidak tahu bagaimana cara memulainya tanpa membuatmu
marah, tapi... aku punya hubungan dengan Arga. Hubungan yang mungkin sudah
terlalu jauh."
Kata-kata itu menamparku seperti badai. Aku membeku di
tempat, tidak bisa berkata apa-apa. Dadaku terasa sesak, dan aku ingin
berteriak, tapi suara itu tidak keluar.
"Hubungan?" ulangku dengan suara bergetar.
"Apa maksudmu? Kalian... bersama?"
Raya mengangguk pelan. "Kami pernah bersama. Aku tahu
aku salah, Alena. Aku tahu aku tidak seharusnya masuk ke dalam hidup kalian.
Tapi aku juga tahu bahwa Arga tidak pernah benar-benar melepaskan aku."
Aku tidak tahu harus berkata apa. Kata-katanya menggantung
di udara seperti beban yang berat, menghancurkan setiap harapan kecil yang
masih tersisa di hatiku.
"Kenapa kamu memberitahuku ini?" tanyaku akhirnya,
suaraku hampir tidak terdengar. "Apa yang kamu inginkan dariku?"
Dia menatapku dengan mata yang penuh penyesalan. "Aku
tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya merasa bahwa kamu berhak tahu. Karena,
jujur saja, aku juga lelah dengan semua ini. Aku ingin mengakhiri semuanya. Aku
ingin berhenti menjadi bagian dari kebohongan ini."
Aku ingin marah, ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa dia
tidak punya hak untuk duduk di depanku dan menghancurkan hidupku seperti ini.
Tapi yang keluar dari mulutku hanyalah satu pertanyaan: "Apakah dia masih
mencintaimu?"
Raya terdiam. Dia menggigit bibirnya, seolah sedang berjuang
dengan jawaban yang ingin dia berikan. "Aku tidak tahu. Tapi yang pasti,
dia belum sepenuhnya melupakan aku."
Mendengar itu, aku merasa hatiku hancur berkeping-keping.
Aku tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—fakta bahwa suamiku telah
mengkhianatiku, atau kenyataan bahwa dia mungkin masih memiliki perasaan untuk
wanita ini.
"Terima kasih sudah memberitahuku," kataku
akhirnya, meski aku sendiri tidak yakin apakah aku benar-benar berterima kasih.
Aku berdiri dari kursiku, merasa tidak sanggup berada di sana lebih lama.
"Alena," panggilnya saat aku hendak pergi.
"Aku tahu ini tidak berarti apa-apa, tapi aku benar-benar minta maaf. Aku
tidak pernah berniat menyakiti kamu."
Aku tidak menjawab. Aku hanya berjalan keluar dari kafe,
meninggalkan semuanya di belakangku. Tapi rasa sakit itu tidak mau pergi. Itu
mengikuti setiap langkahku, menggerogoti hatiku, menghancurkan semua yang
selama ini aku anggap nyata.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa bahwa
pernikahan kami tidak hanya retak. Itu sudah hampir hancur.
