Novel Pendek Jejak yang Tertinggal Bab 3
Malam itu, aku duduk sendirian di ruang tamu, memandangi bayangan gelap yang tercipta dari lampu meja kecil di sudut ruangan. Aku memegang ponsel di tanganku, membuka pesan terakhir dari Arga yang memberitahuku bahwa ia akan pulang terlambat lagi. Pesan itu terasa begitu biasa, tapi kini aku tahu ada kebenaran yang tersembunyi di baliknya.
Pikiranku melayang ke pertemuan dengan Raya tadi siang.
Wajahnya, nada suaranya, dan kata-katanya masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Wanita itu tidak tampak seperti seseorang yang ingin menyulut api. Sebaliknya,
dia seperti seseorang yang juga lelah, sama seperti aku. Tapi mengetahui itu
tidak membuatku merasa lebih baik. Justru, itu membuatku semakin yakin bahwa
semuanya benar.
Aku sudah memutuskan. Aku tidak bisa lagi membiarkan
semuanya berjalan seperti ini. Aku membutuhkan jawaban langsung dari Arga,
tidak peduli seberapa sakitnya itu.
Ketika akhirnya aku mendengar suara pintu depan terbuka,
jantungku berdegup kencang. Aku duduk tegak, menggenggam erat ponselku, mencoba
menenangkan diri.
"Alena, kamu masih bangun?" tanya Arga sambil
meletakkan tas kerjanya di meja dekat pintu. Dia tampak lelah, tapi ekspresinya
seperti biasa, seolah tidak ada yang salah.
"Aku perlu bicara," kataku, mencoba menjaga nada
suaraku tetap tenang. Tapi aku tahu, ketegangan di dalam diriku pasti terpancar
jelas.
Arga mengernyit, mendekat ke arahku. "Ada apa? Kamu
kelihatan serius."
Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian.
"Aku bertemu seseorang hari ini."
Wajah Arga langsung berubah. Untuk sesaat, dia terlihat
bingung, tapi segera setelah itu, aku melihat ketegangan di matanya.
"Siapa?" tanyanya pelan, suaranya penuh kehati-hatian.
"Raya," jawabku tanpa ragu. "Dia datang
kepadaku, dan dia memberitahuku semuanya."
Arga terdiam. Wajahnya, yang biasanya penuh percaya diri,
kini terlihat goyah. Dia membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi
tidak ada kata yang keluar.
"Apa yang dia katakan?" akhirnya dia bertanya,
suaranya nyaris berbisik.
Aku tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena marah.
"Kamu benar-benar bertanya itu? Dia bilang kalian pernah bersama. Dia
bilang kamu masih belum melupakannya. Dan aku ingin tahu, Arga. Apakah itu
benar?"
Dia menghela napas panjang, lalu duduk di sofa di depanku,
memegang kepalanya dengan kedua tangan. Aku bisa melihat dia bergulat dengan
pikirannya, mencari cara untuk menjelaskan. Tapi bagiku, keheningannya sudah
menjadi jawaban.
"Alena," akhirnya dia berkata, menatapku dengan
mata yang penuh rasa bersalah. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi
iya, aku pernah punya hubungan dengan Raya. Itu terjadi sebelum aku menikah
denganmu. Dan... aku pikir semuanya sudah selesai."
Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja
kudengar. "Kamu pikir sudah selesai? Jadi, apa yang terjadi setelah kita
menikah, Arga? Apa hubungan kalian benar-benar selesai, atau kamu masih terus
berhubungan dengannya di belakangku?"
Dia menggeleng, tapi aku bisa melihat keraguannya. "Aku
tidak... Maksudku, aku tidak ingin hubungan itu berlanjut. Tapi Raya... Dia
selalu ada di sekitarku. Dia bekerja di perusahaan yang sama, dan sulit untuk
benar-benar memutuskan semuanya."
"Jadi, selama ini kamu masih melihatnya?" tanyaku,
suaraku mulai meninggi. "Dan kamu tidak pernah berpikir untuk
memberitahuku? Kamu tidak pernah berpikir bahwa aku berhak tahu?"
Arga terdiam lagi. Aku bisa melihat dia sedang mencari
kata-kata yang tepat, tapi apa pun yang dia katakan sekarang tidak akan cukup.
"Aku tidak ingin menyakitimu, Alena," katanya
akhirnya. "Aku pikir, jika aku tidak mengatakan apa-apa, semuanya akan
baik-baik saja."
Kata-katanya membuat darahku mendidih. "Tidak
mengatakan apa-apa? Jadi kamu pikir kebohongan ini adalah jalan keluar? Kamu
pikir aku tidak akan tahu, bahwa aku tidak akan pernah menyadari ada sesuatu
yang salah?"
"Aku takut kehilanganmu," katanya pelan, hampir
tak terdengar. "Aku tahu ini salah. Aku tahu aku seharusnya lebih jujur.
Tapi aku takut kamu akan pergi jika kamu tahu kebenarannya."
Aku tertawa pahit. "Kamu takut kehilangan aku, tapi
kamu tidak takut menghancurkan aku dengan semua kebohongan ini?"
Dia tidak menjawab. Wajahnya penuh penyesalan, tapi aku
tidak tahu apakah penyesalannya itu cukup untuk memperbaiki segalanya. Aku
merasa seperti seluruh dunia yang kubangun bersamanya hancur di depan mataku.
"Aku butuh waktu," kataku akhirnya, berdiri dari
sofa. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, Arga. Tapi aku
tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku butuh waktu untuk berpikir."
"Alena, tolong," katanya, suaranya memohon.
"Jangan pergi. Kita bisa memperbaiki ini."
Aku menatapnya untuk terakhir kalinya sebelum berbalik
menuju kamar. "Kamu yang menghancurkan ini, Arga. Aku tidak tahu apakah
sesuatu yang sudah hancur bisa diperbaiki."
Malam itu, aku tidur sendirian di kamar, dengan pikiran yang
dipenuhi kebingungan dan rasa sakit. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa
bahwa cinta kami mungkin tidak cukup untuk menyelamatkan pernikahan ini.
Luka Lama yang Kembali Terbuka
Malam itu, meskipun tubuhku terbaring di tempat tidur,
pikiranku tak pernah berhenti berputar. Semua yang telah terjadi terasa seperti
luka yang baru saja dikoyak, meninggalkan rasa perih yang tak tertahankan. Tapi
rasa sakit itu bukan hanya berasal dari pengkhianatan Arga. Ada sesuatu yang
lebih dalam, sesuatu yang telah lama kukubur, tapi kini muncul ke permukaan
tanpa bisa kuhindari.
Aku teringat ayahku.
Dulu, saat aku masih kecil, aku adalah seorang gadis yang
percaya bahwa cinta adalah segalanya. Orang tuaku adalah pasangan yang sempurna
di mataku, sampai suatu hari aku mendapati ayahku menggandeng tangan wanita
lain di sebuah restoran. Aku ingat jelas perasaan saat itu—campuran bingung,
marah, dan kecewa yang bercampur menjadi satu.
Ibuku, wanita yang selalu terlihat kuat, berusaha
menyembunyikan rasa sakitnya. Tapi aku tahu dia terluka. Setiap malam aku
mendengar isak tangisnya dari kamar sebelah. Ayah pergi tanpa pernah
benar-benar menjelaskan, dan itu meninggalkan lubang besar dalam hidupku—lubang
yang sampai hari ini masih belum sepenuhnya tertutup.
Dan sekarang, aku merasa seperti ibuku dulu. Aku adalah
wanita yang dikhianati, berusaha tetap berdiri meskipun tanah di bawahku terasa
goyah. Apakah semua ini karma? Apakah aku ditakdirkan untuk mengulang luka yang
sama?
Pagi harinya, aku bangun dengan mata sembab karena kurang
tidur. Arga sudah tidak ada di rumah, seperti biasa. Dia meninggalkan secarik
kertas di meja makan.
“Aku pergi lebih pagi. Tolong beri aku kesempatan untuk
memperbaiki semuanya. Aku mencintaimu.”
Aku menatap tulisan itu dengan perasaan campur aduk.
Kata-katanya mungkin tulus, tapi apakah itu cukup? Cinta saja tidak akan
menyembuhkan luka ini. Aku tahu itu karena aku telah melihat ibuku berusaha
mencintai ayahku meskipun dia terus disakiti. Pada akhirnya, cinta tidak cukup
untuk menyelamatkan pernikahan mereka.
Hari itu, aku memutuskan untuk mengunjungi ibuku. Sudah lama
aku tidak berbicara dengannya tentang hal-hal yang benar-benar penting. Mungkin
dia adalah orang yang tepat untuk membantuku memahami perasaanku sendiri.
Ibuku tinggal di rumah kecil di pinggiran kota, tempat aku
tumbuh besar. Rumah itu masih terlihat sama—halaman kecil dengan bunga-bunga
mawar yang selalu dia rawat dengan penuh cinta. Dia menyambutku dengan senyum
hangat seperti biasa, tapi aku tahu dia bisa merasakan ada yang salah.
"Alena, kamu kelihatan capek. Ada apa, sayang?"
tanyanya sambil menuangkan teh ke dalam cangkirku.
Aku menggigit bibirku, mencoba mencari cara untuk memulai
percakapan ini. Tapi akhirnya, aku hanya berkata, "Aku rasa Arga...
mengkhianatiku."
Wajah ibuku berubah, meskipun dia mencoba menyembunyikannya.
Dia duduk di depanku, memegang tanganku erat. "Apa yang terjadi?"
Aku menceritakan semuanya—noda lipstik, tiket parkir hotel,
pertemuanku dengan Raya, dan pengakuan Arga. Kata-kataku mengalir tanpa henti,
seolah semua beban itu akhirnya menemukan jalan keluar. Ibuku mendengarkan
dengan sabar, tanpa memotong sedikit pun.
Setelah aku selesai, dia menarik napas panjang. "Alena,
aku tahu betapa sakitnya ini. Aku tahu karena aku pernah mengalaminya. Tapi,
kamu tidak harus membuat keputusan sekarang. Kadang, ketika kita terluka, kita
cenderung bereaksi daripada berpikir."
"Tapi bagaimana aku bisa mempercayainya lagi, Bu?
Bagaimana aku tahu dia tidak akan melakukannya lagi?" tanyaku, suaraku
bergetar.
Ibuku terdiam sejenak, lalu berkata, "Kepercayaan itu
seperti gelas, Alena. Sekali retak, kamu bisa mencoba merekatkannya, tapi itu
tidak akan pernah sama lagi. Kamu harus bertanya pada dirimu sendiri, apakah
kamu siap hidup dengan retakan itu?"
Kata-kata itu menamparku. Selama ini, aku mencoba mencari
jawaban dari Arga, dari Raya, bahkan dari situasi ini. Tapi aku tidak pernah
benar-benar bertanya pada diriku sendiri apa yang aku inginkan.
"Ketika ayahmu mengkhianati aku," lanjut ibuku,
"aku mencoba memaafkannya. Aku pikir, demi kamu, aku bisa menerima
semuanya. Tapi pada akhirnya, aku hanya melukai diriku sendiri. Aku tidak ingin
kamu melakukan hal yang sama, Alena. Jika kamu memilih bertahan, pastikan itu
adalah pilihan yang benar-benar kamu inginkan, bukan karena kamu takut
kehilangan."
Aku menatap ibuku, mataku mulai berkaca-kaca. "Jadi,
menurut Ibu, aku harus meninggalkannya?"
Dia menggeleng. "Aku tidak bisa membuat keputusan itu
untukmu. Itu hidupmu, Alena. Tapi apapun yang kamu pilih, kamu harus yakin
bahwa itu adalah jalan yang akan membuatmu bahagia, meskipun mungkin awalnya
terasa sulit."
Kata-katanya menggema di kepalaku bahkan setelah aku pulang
ke rumah. Aku duduk sendirian di ruang tamu, mencoba memikirkan semuanya. Aku
tahu aku tidak bisa terus menghindar. Aku harus menghadapi kenyataan, harus
membuat keputusan, apa pun itu.
Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menangis. Menangisi
luka lama yang kembali terbuka, menumpahkan semua rasa sakit yang selama ini
kutahan.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa menangis
bukanlah tanda kelemahan. Itu adalah caraku untuk bertahan.
