Novel Pendek: Surat-Surat yang Tak Pernah Sampai

Surat-Surat yang Tak Pernah Sampai, Ini tentang Seorang wanita tua yang tinggal sendiri menerima serangkaian surat dari cinta pertamanya yang meninggal 50 tahun lalu. Ikuti kisahnya di Platform Novel Pendek ini.

Bab 1

novel pendek


Di sebuah desa kecil yang sepi, seorang wanita tua bernama Siti menjalani rutinitas harian yang sederhana. Pagi itu, seperti biasa, ia bangun lebih awal untuk menyiram bunga di kebunnya yang kecil. Semilir angin pagi membawa aroma tanah basah, memberikan sedikit kesegaran di tengah kesendiriannya yang sudah menjadi teman setia selama bertahun-tahun.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya di kebun, Siti masuk ke dalam rumah kayu yang telah ia tinggali selama hampir seluruh hidupnya. Ketika ia membuka pintu, ia dikejutkan oleh sebuah amplop cokelat tua yang terselip di bawah pintu. Siti mengernyitkan dahi, bertanya-tanya siapa yang mengirimkan surat di zaman serba digital seperti sekarang.

Tanpa berpikir panjang, ia mengambil surat itu dan duduk di kursi goyangnya. Amplop itu terlihat usang, dengan ujung-ujung yang sedikit robek. Nama dan alamatnya tertulis dengan tinta yang mulai memudar. Hatinya berdebar ketika ia membalik amplop itu dan membaca nama pengirim: Ahmad.

Ahmad. Nama itu langsung membawa Siti ke masa lalu, seperti angin yang tiba-tiba menerbangkan debu-debu kenangan yang telah lama ia kubur. Ahmad adalah cinta pertamanya, pria yang pernah menjadi pusat dunianya. Tapi, Ahmad telah pergi dari hidupnya lebih dari 50 tahun lalu, meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

Dengan tangan gemetar, Siti membuka amplop itu. Di dalamnya, ada selembar kertas berisi tulisan tangan yang ia kenal betul—tulisan Ahmad.

“Untuk Siti,
Aku menulis surat ini dengan penuh penyesalan. Ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan padamu, tetapi aku tak pernah punya keberanian untuk melakukannya. Waktu telah berlalu, tapi aku masih mengingatmu dengan jelas, seperti kemarin kita berpisah...”

Hati Siti mencelos. Setiap kata dalam surat itu seperti membongkar kembali luka lama yang telah lama ia coba lupakan. Ahmad menulis tentang rasa bersalahnya karena meninggalkan Siti demi keluarganya. Ia mengungkapkan bahwa ia selalu ingin kembali, tetapi keadaan tak pernah memihak.

Siti memejamkan mata, mencoba mengendalikan emosinya. Surat itu terasa begitu nyata, tetapi ada sesuatu yang tak masuk akal. Bagaimana mungkin Ahmad mengirimkan surat ini? Ahmad telah meninggal dunia lebih dari lima dekade lalu.

Ketika ia mencoba menenangkan pikirannya, sesuatu yang lain mengusik benaknya—mengapa surat ini baru sampai sekarang? Siti tahu hidupnya akan berubah sejak surat pertama ini tiba. Ia hanya belum tahu bagaimana.

 

Bab 2

Siti tidak bisa tidur malam itu. Surat dari Ahmad masih tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Berulang kali ia membaca setiap kata dalam surat itu, seolah mencoba memahami maknanya lebih dalam, mencari jawaban atas pertanyaan yang tak terucap: mengapa surat ini tiba sekarang?

Pikirannya melayang ke masa lalu, ke tahun-tahun ketika hidup terasa penuh harapan dan cinta. Ia masih remaja kala itu, tinggal di desa yang sama. Ahmad adalah pemuda yang sering ia temui di pematang sawah saat pulang dari sekolah. Mereka tumbuh bersama, berbagi tawa, mimpi, dan janji-janji yang kala itu terasa seperti tak tergoyahkan.

Siti mengenang sore hari yang cerah ketika Ahmad pertama kali mengajaknya duduk di bawah pohon beringin besar di tepi sungai. Ahmad, dengan senyum yang selalu membuat Siti merasa hangat, memberinya secarik kertas berisi puisi yang ia tulis sendiri.

“Engkau adalah mentari pagi,
Mengusir gelap malamku,
Membawa harapan baru…”

Puisi itu sederhana, tetapi bagi Siti, itu adalah pernyataan cinta yang paling indah. Hari-hari mereka diisi dengan kebersamaan, berbincang tentang masa depan, dan saling berbagi rahasia kecil. Siti yakin bahwa Ahmad adalah takdirnya.

Namun, kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Ahmad berasal dari keluarga yang kaya, sementara Siti hanyalah anak seorang petani miskin. Orang tua Ahmad menentang hubungan mereka. Ketika ayah Ahmad memutuskan untuk memindahkan keluarganya ke kota demi peluang bisnis yang lebih besar, Ahmad tak punya pilihan selain menurut.

Siti masih ingat perpisahan mereka di stasiun kereta. Ahmad menggenggam tangannya erat-erat, mencoba menahan air mata. "Aku akan kembali untukmu, Siti," katanya dengan suara gemetar. Namun, ia tidak pernah kembali.

Setelah kepergian Ahmad, Siti merasa dunianya runtuh. Ia mencoba melanjutkan hidup, tetapi bayangan Ahmad selalu menghantui. Ia tak pernah menikah, memilih untuk hidup sendiri dalam keheningan desa yang semakin sepi dari tahun ke tahun.

Kembali ke masa kini, Siti menatap langit-langit kamarnya, air mata mengalir pelan di pipinya. Surat itu telah membuka luka lama yang ia kira sudah sembuh. Ahmad, cinta pertamanya, pria yang ia cintai tanpa syarat, kini kembali menghampirinya melalui barisan kata yang tertulis di atas kertas usang.

Namun, ada satu pertanyaan besar yang terus mengganggunya: apakah Ahmad benar-benar menyesali keputusan yang ia ambil? Ataukah ini hanya kata-kata yang terlambat datang, terlalu sedikit dan terlalu lambat untuk mengubah apa pun?

Di pagi hari, ketika ayam jantan berkokok, Siti masih duduk di kursi goyangnya. Ia menatap keluar jendela, ke arah pematang sawah yang dulu sering ia lalui bersama Ahmad. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, kenangan itu terasa begitu dekat, begitu nyata.

Surat pertama telah mengubah sesuatu dalam dirinya. Ia tak bisa mengabaikannya. Ia tahu, surat ini bukan hanya tentang Ahmad, tetapi juga tentang dirinya—dan luka lama yang selama ini ia coba lupakan.

 

Bab 3

Hari-hari berlalu, tetapi Siti tidak bisa menghilangkan bayangan surat pertama dari Ahmad. Ia menyimpannya di dalam sebuah kotak kayu tua yang terletak di lemari kecil di ruang tamunya. Namun, pikirannya tak kunjung tenang. Surat itu telah membangkitkan sesuatu yang telah lama ia kubur, dan entah kenapa ia merasa bahwa surat itu bukan akhir dari segalanya.

Pagi itu, saat Siti sedang menyapu halaman depan rumahnya, seorang tukang pos datang menghampirinya. Pria muda itu, dengan senyum ramah di wajahnya, menyerahkan sebuah amplop lain yang terlihat serupa dengan surat pertama. Hati Siti kembali berdebar.

"Ini surat untuk Bu Siti," kata tukang pos. "Sepertinya surat lama, tapi baru ditemukan di pusat penyimpanan kami."

Siti mengangguk pelan, tangannya gemetar saat menerima amplop itu. Ia menunggu tukang pos pergi sebelum masuk ke dalam rumah. Duduk di kursi goyangnya, ia membuka amplop dengan hati-hati. Kali ini, isi surat lebih panjang dari sebelumnya.

“Siti,
Setiap malam aku teringat padamu. Aku tahu aku tidak punya hak untuk memintamu mengerti keputusan yang kuambil waktu itu. Aku memilih keluargaku, tetapi setiap langkah yang kuambil setelah itu terasa hampa. Kau adalah rumah yang selalu ingin kutuju, tetapi aku terlalu pengecut untuk kembali.
Apakah kau membenciku, Siti? Jika iya, aku memahaminya. Tapi aku berharap, di suatu sudut kecil hatimu, kau menyimpan kenangan kita, meskipun hanya sebagai sesuatu yang manis untuk dikenang.”

Siti membaca surat itu dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Ahmad menusuk hatinya, membangkitkan perasaan lama yang ia coba lupakan. Setiap kalimat terasa seperti cermin yang memantulkan luka-luka lamanya.

Hari-hari berikutnya, surat-surat lain terus berdatangan, masing-masing dengan cerita yang berbeda. Ahmad menceritakan kehidupannya setelah meninggalkan Siti—tentang pernikahannya yang diatur keluarganya, tentang anak-anaknya, dan tentang bagaimana ia selalu merasa ada yang hilang dalam hidupnya.

Siti membaca setiap surat dengan hati yang bergetar. Ahmad berbicara tentang perjuangan batinnya, bagaimana ia ingin sekali kembali tetapi selalu takut melukai orang-orang yang ia cintai, termasuk istrinya. Dalam salah satu surat, Ahmad bahkan menulis tentang momen-momen kecil yang dulu ia bagikan bersama Siti—hal-hal yang ternyata ia ingat dengan jelas.

“Aku masih ingat saat kita duduk di bawah pohon beringin di tepi sungai. Kau membaca puisi kecil yang kutulis, dan kau tertawa karena puisiku terlalu sederhana. Tapi aku tahu kau menyukainya. Itu adalah salah satu hari terindah dalam hidupku.”

Siti tak bisa menahan air matanya. Kenangan-kenangan itu kembali mengalir, membawa rasa manis sekaligus pahit. Ia mulai merasa bahwa surat-surat ini bukan hanya sebuah kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, sesuatu yang menghubungkan masa lalunya dengan masa kini.

Namun, setiap surat juga membawa beban baru. Siti mulai bertanya-tanya apakah ia sanggup menghadapi perasaan-perasaan ini. Apakah ia akan terus membaca surat-surat ini hingga selesai, ataukah ia harus menghentikan semuanya demi menjaga hatinya tetap utuh?

Ketika malam tiba, Siti duduk sendirian di ruang tamunya, menatap kotak kayu yang kini penuh dengan surat-surat dari Ahmad. Ia tahu bahwa surat-surat ini akan mengubah hidupnya, tetapi ia belum tahu apakah perubahan itu akan menjadi awal baru atau justru membuka luka yang tak akan pernah bisa sembuh.

 

Bab 4

Kebingungan terus menguasai pikiran Siti. Mengapa surat-surat dari Ahmad baru tiba sekarang, puluhan tahun setelah ia meninggal? Rasa penasaran itu semakin besar hingga ia memutuskan untuk pergi ke kantor pos di kota terdekat. Ia jarang meninggalkan desanya, tetapi kali ini ia merasa harus mencari jawaban.

Keesokan paginya, Siti mengenakan kebaya sederhana dan mengambil angkot menuju kantor pos yang telah berdiri sejak zaman kolonial. Gedung itu tua tetapi masih kokoh, dengan cat yang mulai mengelupas di sana-sini. Ia melangkah masuk, udara dalam ruangan terasa hangat oleh mesin-mesin tua yang berdengung.

Petugas pos yang sedang mengatur tumpukan surat di meja menyambutnya dengan ramah. Pria itu, seorang lelaki paruh baya bernama Pak Herman, mendengarkan dengan seksama ketika Siti menjelaskan tentang surat-surat Ahmad yang baru ia terima.

“Ada yang aneh, Pak,” kata Siti dengan suara pelan. “Surat-surat itu berasal dari cinta pertama saya, tetapi dia sudah meninggal dunia lebih dari 50 tahun yang lalu. Bagaimana mungkin surat-surat itu baru sampai sekarang?”

Pak Herman mengernyitkan dahi dan mengangguk. “Mari saya cek dulu, Bu.”

Pak Herman memeriksa catatan arsip di komputer kantor pos, lalu menghilang ke ruang penyimpanan lama. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah map berdebu. Setelah membuka dan membaca dokumen-dokumen di dalamnya, ia menarik napas panjang.

“Ah, saya rasa saya tahu apa yang terjadi,” ujarnya. “Beberapa dekade lalu, tepatnya sekitar tahun 1973, ada kecelakaan besar di jalur pos yang menuju desa ini. Sebuah truk pos tergelincir ke sungai saat banjir besar melanda. Sebagian besar muatan truk itu hilang, tetapi ada beberapa kotak surat yang berhasil diselamatkan. Namun, karena kerusakan sistem saat itu, surat-surat yang ditemukan tidak pernah diproses kembali.”

Siti mendengarkan dengan cermat, hatinya bergemuruh. “Jadi, surat-surat itu tertahan selama lebih dari lima puluh tahun?” tanyanya, tak percaya.

Pak Herman mengangguk. “Tampaknya begitu. Baru beberapa bulan yang lalu kami menemukan kembali kotak-kotak itu ketika membersihkan gudang penyimpanan lama. Semua surat di dalamnya sedang kami proses dan kirimkan ke penerima yang masih hidup, meskipun sudah terlambat.”

Penjelasan itu membuat Siti tertegun. Ia mencoba membayangkan truk pos yang tergelincir, surat-surat yang hanyut di sungai, dan waktu yang berhenti untuk pesan-pesan yang seharusnya tiba di masa lalu. Siti bertanya-tanya, apakah ini hanya kebetulan, ataukah ada alasan lebih besar di balik semua ini?

“Pak, apakah ada cara untuk tahu kapan surat-surat itu ditulis?” Siti bertanya.

Pak Herman mengangguk lagi. “Biasanya tanggal pengiriman tercantum di amplopnya, Bu. Tapi karena surat-surat itu sudah sangat tua, tinta pada beberapa amplop mungkin memudar. Jika Ibu mau, saya bisa mencoba memeriksanya lebih lanjut.”

Siti menggeleng. “Tidak perlu, Pak. Saya sudah cukup tahu.” Ia tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih sebelum beranjak pergi.

Sepanjang perjalanan pulang, hati Siti diliputi berbagai perasaan. Fakta bahwa surat-surat itu tertunda begitu lama bukan sepenuhnya salah Ahmad atau siapa pun. Namun, ia juga menyadari bahwa surat-surat itu membawa lebih dari sekadar pesan masa lalu—mereka membawa beban emosi yang selama ini ia hindari.

Sesampainya di rumah, Siti duduk di kursi goyangnya dengan surat-surat Ahmad yang ia keluarkan dari kotak kayu. Ia mengelus amplop-amplop itu dengan lembut, membayangkan Ahmad menulisnya dengan hati yang penuh penyesalan. Ia bertanya-tanya, jika surat-surat ini tiba tepat waktu, apakah hidupnya akan berbeda?

Namun, di dalam dirinya, ia tahu bahwa surat-surat itu datang di saat yang tepat. Tidak lebih cepat, tidak lebih lambat—tapi di saat ia akhirnya siap menghadapi kenangan yang ia coba lupakan selama bertahun-tahun.

 

Bab 5

Malam itu, angin bertiup kencang, membawa suara-suara samar dari hutan di pinggir desa. Di dalam rumahnya yang kecil, Siti duduk sendirian di meja makan. Di hadapannya, tumpukan surat Ahmad yang belum semuanya ia baca. Lampu minyak yang menyala redup menambah kesan suram malam itu, seolah mencerminkan hati Siti yang bergulat dengan perasaan tak menentu.

Ia memegang salah satu surat dengan tangan gemetar, membukanya perlahan. Kata-kata Ahmad tertulis dengan jelas, tetapi membaca setiap baris terasa seperti menelusuri luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

“Siti,
Ada banyak hal yang tak pernah kukatakan padamu. Aku terlalu pengecut untuk jujur, terlalu takut untuk menghadapi kenyataan. Waktu itu, aku memilih keluargaku, bukan karena aku tak mencintaimu, tetapi karena aku merasa itu kewajibanku sebagai anak sulung. Namun, keputusan itu menghantuiku seumur hidupku.”

Siti menutup mata, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Kata-kata Ahmad mengguncang hatinya. Mereka mengingatkannya pada malam-malam setelah Ahmad pergi—malam-malam di mana ia tak bisa tidur, menangis sendirian, bertanya-tanya mengapa hidup sekejam itu padanya.

Kenangan-kenangan itu datang seperti gelombang pasang yang sulit dibendung. Ia melihat dirinya yang masih muda, duduk di tepi sungai tempat ia dan Ahmad sering bertemu, menangis hingga tubuhnya gemetar. Ia melihat wajah ayahnya yang penuh belas kasih tetapi tak bisa berbuat apa-apa. “Hidup memang tak selalu adil, Nak,” kata ayahnya saat itu. Namun, kata-kata itu tak pernah bisa menghapus rasa sakit di hatinya.

Malam itu, mimpi buruk menghampirinya. Dalam mimpi, Siti melihat Ahmad di stasiun kereta. Ia berdiri di tengah kerumunan, tetapi Ahmad tidak menoleh ke arahnya. Kereta perlahan bergerak menjauh, meninggalkan Siti sendirian di peron yang dingin. Ia mencoba memanggil Ahmad, tetapi suaranya tidak keluar. Perasaan kehilangan itu begitu nyata, seperti malam terakhir mereka bertemu.

Siti terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi dahinya, dan dadanya terasa berat. Ia duduk di tempat tidur, memeluk dirinya sendiri. “Mengapa surat-surat ini harus datang sekarang?” gumamnya pelan. “Mengapa harus membuka luka yang sudah terlalu lama tertutup?”

Namun, jauh di lubuk hatinya, Siti tahu bahwa luka itu tidak pernah benar-benar sembuh. Ia hanya menguburnya dalam-dalam, berharap waktu akan menghapusnya. Tetapi waktu tidak pernah benar-benar menyembuhkan; ia hanya membuat luka itu tak terasa—hingga sesuatu datang dan menghidupkannya kembali.

Keesokan harinya, Siti mencoba melanjutkan hidup seperti biasa. Ia menyiram bunga di kebun, memasak untuk dirinya sendiri, dan membersihkan rumah. Namun, pikirannya terus melayang ke surat-surat Ahmad. Kata-kata pria itu menghantui setiap langkahnya.

Saat sore tiba, Siti duduk di teras rumahnya, menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah semua ini adalah ujian? Apakah surat-surat itu datang untuk membantunya menyelesaikan sesuatu yang selama ini ia hindari?

Ketika langit berubah menjadi gelap, Siti memutuskan untuk membaca surat lain. Ia tahu, setiap surat adalah bagian dari puzzle yang harus ia selesaikan. Meski sulit, ia merasa bahwa ini adalah perjalanan yang harus ia tempuh—perjalanan untuk berdamai dengan masa lalu, dengan dirinya sendiri, dan dengan cinta yang pernah ia miliki.

 

Bab 6

Hari itu, Siti memutuskan untuk mengunjungi Maryam, sahabat lamanya yang tinggal di desa sebelah. Maryam adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu tentang hubungan Siti dan Ahmad di masa muda. Meskipun usia mereka sudah senja, Maryam masih sama seperti dulu—cerdas, penuh semangat, dan selalu mendengarkan dengan hati terbuka.

Siti membawa kotak kayu berisi surat-surat Ahmad. Ia merasa, jika ada seseorang yang bisa membantunya memahami perasaannya, orang itu adalah Maryam.

Rumah Maryam adalah rumah panggung sederhana yang dikelilingi pohon mangga. Saat Maryam membuka pintu, wajahnya langsung berseri-seri. “Siti! Sudah lama sekali kau tidak ke sini,” katanya sambil memeluk Siti erat.

Mereka duduk di ruang tamu, di mana angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka. Setelah berbasa-basi sejenak, Siti membuka kotak kayu dan menunjukkan surat-surat Ahmad. Maryam menatapnya dengan ekspresi terkejut. “Ini… surat dari Ahmad?” tanyanya dengan suara pelan, hampir tak percaya.

Siti mengangguk, air matanya mulai mengalir. “Ya, Maryam. Mereka datang setelah lima puluh tahun. Ahmad menulis semuanya, tentang penyesalannya, tentang aku… tentang kita.”

Maryam mengambil salah satu surat dan membaca beberapa baris dengan hati-hati. Setelah beberapa saat, ia meletakkannya kembali di atas meja dan menatap Siti. “Ini adalah sesuatu yang besar, Siti. Surat-surat ini bukan hanya pesan dari Ahmad, tetapi juga pesan untukmu. Apa kau sudah tahu apa yang akan kau lakukan dengan semua ini?”

Siti menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Maryam. Aku bahkan tidak tahu apakah aku ingin membaca semuanya. Setiap kata yang kutemukan membuat hatiku sakit, tetapi di saat yang sama… aku merasa seolah Ahmad kembali hadir di hidupku.”

Maryam tersenyum lembut. “Mungkin ini bukan soal Ahmad, Siti. Mungkin ini soal dirimu. Surat-surat ini memberimu kesempatan untuk menghadapi sesuatu yang selama ini kau hindari.”

Siti terdiam, merenungkan kata-kata Maryam. “Tapi apa gunanya, Maryam? Ahmad sudah tiada. Semua yang dia tulis… semuanya sudah terlambat.”

Maryam menggenggam tangan Siti. “Mungkin terlambat untuk Ahmad, tapi tidak untukmu. Mungkin surat-surat ini adalah cara semesta memintamu untuk berdamai dengan masa lalumu, untuk menerima bahwa apa yang terjadi dulu tidak akan pernah bisa kau ubah. Tapi kau masih bisa mengubah caramu mengingatnya.”

Percakapan itu membawa kehangatan yang aneh di hati Siti. Ia menyadari bahwa mungkin Maryam benar. Surat-surat Ahmad bukan hanya tentang masa lalu—mereka juga tentang masa kini, tentang bagaimana ia ingin menjalani sisa hidupnya.

“Jadi, apa yang harus kulakukan?” tanya Siti dengan suara hampir berbisik.

Maryam tersenyum. “Mulailah dengan membaca semuanya. Tidak ada salahnya mengetahui apa yang ingin Ahmad katakan, meskipun terlambat. Setelah itu, tanyakan pada dirimu sendiri, apa yang kau rasakan. Kau tidak harus membuat keputusan sekarang. Biarkan waktu membimbingmu.”

Malam itu, Siti pulang dengan hati yang sedikit lebih ringan. Meski ia belum menemukan jawaban atas apa yang harus dilakukan dengan surat-surat itu, percakapan dengan Maryam memberinya sudut pandang baru. Ia menyadari bahwa surat-surat ini adalah kesempatan baginya untuk membuka hati, untuk menerima bahwa luka-luka lama adalah bagian dari hidupnya.

Setibanya di rumah, Siti duduk di meja dengan satu surat di tangannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca, kata demi kata, membiarkan diri tenggelam dalam pesan dari masa lalu.

 

Bab 7

Hari itu, hujan turun deras, membasahi halaman depan rumah Siti. Suara gemericik air yang menetes dari atap menjadi latar yang pas untuk suasana hatinya yang penuh emosi. Ia duduk di meja makan, menatap tumpukan surat Ahmad yang sudah hampir selesai ia baca. Hanya satu amplop yang tersisa di kotak kayu itu. Amplop itu terlihat berbeda—lebih besar dan sedikit lebih lusuh daripada yang lain.

Dengan tangan gemetar, Siti mengambil amplop terakhir itu. Hatinya terasa berat, seolah ia tahu bahwa surat ini akan membawa sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan. Ia membuka amplop itu perlahan, mengeluarkan beberapa lembar kertas yang ditulis dengan tulisan tangan Ahmad. Napasnya tertahan saat ia membaca kata-kata pembuka.

“Siti,
Jika kau membaca surat ini, mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini. Aku menulis surat terakhir ini bukan hanya untuk meminta maaf, tetapi untuk memberikan sesuatu yang telah lama ingin kuberikan padamu.”

Siti menelan ludah, dadanya terasa sesak. Ia melanjutkan membaca.

“Aku menyadari bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan penyesalan. Tetapi, penyesalanku atas kehilanganmu adalah satu-satunya hal yang tak pernah bisa kulupakan. Kau adalah cinta pertamaku, satu-satunya orang yang benar-benar membuatku merasa hidup.”

Pada lembar berikutnya, Ahmad menuliskan sebuah puisi, puisi yang membuat Siti kembali ke masa muda mereka di bawah pohon beringin di tepi sungai.

“Untuk Siti:
Kau adalah mentari yang tak pernah redup,
Meski malam menutup langit,
Namamu tertulis di angin,
Abadi di hatiku yang hampa.”

Air mata Siti mengalir tanpa ia sadari. Ia mengenali puisi itu, puisi yang dulu Ahmad buat untuknya ketika mereka masih remaja. Namun, kini puisi itu terasa lebih berat, lebih bermakna, seolah membawa semua rasa cinta dan penyesalan yang Ahmad simpan selama bertahun-tahun.

Pada halaman terakhir surat itu, Ahmad menuliskan sesuatu yang lebih personal, sesuatu yang membuat hati Siti terguncang.

“Siti, aku tahu aku tidak pantas memintamu mengingatku. Tetapi jika aku boleh berharap, aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu hingga napas terakhirku. Aku tidak pernah bisa melupakanmu, dan aku hanya berharap kau bisa memaafkanku, meskipun terlambat.”

Surat itu berakhir dengan tanda tangan Ahmad, tetapi Siti merasa seolah Ahmad masih berbicara padanya dari masa lalu. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya yang kini penuh dengan perasaan yang bertabrakan. Surat itu bukan hanya pesan cinta, tetapi juga sebuah penutup, akhir dari cerita yang pernah mereka miliki bersama.

Siti menatap surat itu untuk waktu yang lama, membiarkan setiap kata meresap ke dalam dirinya. Hatinya terasa hangat meskipun penuh dengan luka. Surat terakhir ini seolah menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, sebuah cara bagi Ahmad untuk mengucapkan selamat tinggal dan bagi Siti untuk menemukan kedamaian.

Hujan di luar mulai mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang menyegarkan. Siti menyimpan surat terakhir itu di kotak kayu bersama surat-surat lainnya. Ia tahu, surat ini adalah akhir dari pesan Ahmad, tetapi bukan akhir dari perjalanan emosionalnya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan, sesuatu yang hanya ia sendiri yang bisa putuskan.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Siti merasa tidak sepenuhnya sendirian. Surat terakhir Ahmad memberinya rasa damai, sebuah pengakuan bahwa cinta yang mereka miliki, meskipun tidak sempurna, tetap nyata dan abadi.

 

Bab 8

Hujan telah berhenti sejak semalam, tetapi di dalam hati Siti, badai masih terus berlanjut. Surat terakhir dari Ahmad telah mengungkapkan segalanya—penyesalan, cinta, dan rasa kehilangan yang tak pernah hilang. Namun, surat itu juga meninggalkan sebuah pertanyaan yang tak terjawab: apa yang harus ia lakukan sekarang?

Hari-hari berlalu dengan Siti terus tenggelam dalam pikirannya. Ia mulai menghindari surat-surat itu, menyimpan kotak kayunya di lemari, seolah mencoba melarikan diri dari semua kenangan yang telah bangkit. Namun, kata-kata Ahmad terus terngiang di benaknya.

"Aku tidak pernah bisa melupakanmu… Aku hanya berharap kau bisa memaafkanku, meskipun terlambat."

Siti merasa seperti berada di persimpangan jalan. Sebagian dari dirinya ingin membalas surat-surat itu, menulis kembali untuk Ahmad, meskipun ia tahu surat-surat itu tak akan pernah sampai. Namun, bagian lain dari dirinya ragu. Apa gunanya mengungkapkan isi hatinya kepada seseorang yang sudah tiada? Tidakkah lebih baik membiarkan semua ini menjadi kenangan yang ia simpan sendiri?

Pagi itu, Siti pergi ke kebunnya, mencoba mencari ketenangan di antara bunga-bunga yang ia rawat dengan penuh cinta. Ia mengangkat pandangannya ke langit biru, bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah aku harus menjawab surat-surat itu? Atau aku harus melanjutkan hidupku seperti biasa?”

Kenangan akan Ahmad terus menghantui. Ia teringat bagaimana Ahmad selalu membuatnya merasa istimewa, bahkan di saat-saat sederhana. Tetapi ia juga teringat rasa sakit saat ditinggalkan, bagaimana ia harus belajar menerima bahwa cinta mereka tak akan pernah memiliki akhir yang bahagia.

Di sore yang tenang, Siti pergi ke rumah Maryam lagi. Ia merasa bahwa sahabat lamanya adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya keluar dari kebimbangan ini. Di teras rumah Maryam, mereka duduk bersama sambil menikmati teh hangat.

“Maryam,” kata Siti pelan, “aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku merasa terjebak. Aku ingin menulis surat untuk Ahmad, tetapi aku juga takut… takut bahwa aku hanya membuka luka lama tanpa alasan.”

Maryam menatap Siti dengan penuh pengertian. “Siti, luka lama memang tak pernah mudah untuk dihadapi. Tapi kadang-kadang, menulis adalah cara untuk melepaskan beban yang tak bisa kau katakan dengan kata-kata.”

“Tapi apa gunanya, Maryam? Ahmad sudah tiada. Semua ini terasa seperti usaha yang sia-sia.”

Maryam tersenyum lembut. “Bukan soal Ahmad, Siti. Ini soal dirimu. Kau tidak menulis surat untuk mengubah masa lalu. Kau menulisnya untuk dirimu sendiri, untuk melepaskan apa yang selama ini terpendam. Surat-surat itu mungkin tidak akan pernah sampai, tetapi perasaanmu akan menemukan tempat untuk berlabuh.”

Malam itu, Siti kembali ke rumah dengan hati yang masih penuh kebimbangan. Namun, kata-kata Maryam memberi sedikit kelegaan. Ia menghabiskan malam dengan duduk di meja kecilnya, menatap kertas kosong di depannya. Pena di tangannya terasa begitu berat, seolah membawa beban semua tahun yang telah berlalu.

Ia mencoba menulis, tetapi setiap kali kata pertama muncul di benaknya, ia terhenti. Air matanya mulai mengalir, bercampur dengan rasa takut dan rindu yang selama ini ia kubur. Ia ingin menulis tentang cinta, tentang kehilangan, tentang semua hal yang selama ini ia simpan di dalam hatinya. Tetapi setiap kata terasa terlalu sulit untuk ditulis.

Saat malam semakin larut, Siti akhirnya meletakkan penanya. Ia menyadari bahwa keputusan ini bukan sesuatu yang bisa ia paksakan. Ia butuh waktu, dan ia harus memberikan dirinya ruang untuk menemukan jawaban.

Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar tidurnya. Sebelum tidur, ia membuka jendela dan menatap bintang-bintang di langit. Dalam hatinya, ia berbisik, “Ahmad, apakah kau mendengarku? Apa yang harus kulakukan?”

Namun, seperti langit malam yang sunyi, hanya hatinya yang bisa menemukan jawaban.

 

Bab 9

Malam itu, langit cerah dengan bintang-bintang yang bertebaran, tetapi di dalam hati Siti masih ada kegelapan yang tersisa. Setelah berhari-hari berkutat dengan pikirannya sendiri, ia merasa berada di ambang sesuatu yang penting. Surat-surat dari Ahmad telah membangkitkan kenangan lama, membuka luka yang sudah lama ia pendam. Namun, lebih dari itu, surat-surat itu memaksa Siti untuk menghadapi dirinya sendiri—sesuatu yang selama ini ia hindari.

Di meja kecilnya, Siti duduk dengan selembar kertas kosong di depannya. Di sebelah kertas itu, sebuah pena tergeletak diam, seolah menunggu untuk menghidupkan kata-kata yang selama ini tersimpan di hatinya. Udara malam terasa dingin, tetapi Siti merasakan kehangatan dari dalam dirinya—sebuah dorongan untuk menulis, untuk berbicara, meskipun orang yang ingin ia ajak bicara sudah lama tiada.

Ia mengambil pena itu dengan tangan yang gemetar. Lalu, ia mulai menulis. Kata-kata mengalir dengan mudah, seperti air yang meluncur deras setelah bendungan terbuka.

“Ahmad,
Aku tidak tahu bagaimana memulai surat ini. Rasanya aneh, menulis untuk seseorang yang sudah tiada, tetapi mungkin ini adalah cara terbaik untuk mengatakan apa yang selama ini tak pernah kukatakan.
Ketika kau pergi, aku merasa kehilangan segalanya. Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidupku tanpa dirimu. Aku marah, Ahmad. Marah karena kau pergi begitu saja, marah karena kau memilih keluargamu, bukan aku. Tapi, seiring waktu, aku menyadari bahwa marah tidak pernah membawaku ke mana-mana. Aku belajar menerima, meskipun aku tidak pernah benar-benar lupa.”

Siti berhenti sejenak, membiarkan air mata yang menggantung di pelupuk matanya jatuh ke pipinya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.

“Aku membaca semua suratmu. Aku tahu kau menyesal, dan aku tahu kau mencintaiku, meskipun kau tidak bisa membuktikannya dengan tindakan. Aku tidak pernah membencimu, Ahmad. Aku hanya merasa sedih karena kita tidak pernah diberi kesempatan untuk benar-benar hidup bersama.
Tapi sekarang, setelah membaca surat-surat itu, aku merasa sesuatu yang berbeda. Aku merasa bahwa aku harus melepaskan semuanya. Aku harus melepaskanmu, Ahmad. Aku tidak bisa terus hidup di masa lalu. Aku tidak bisa terus membiarkan bayanganmu menghantui hidupku.”

Siti menulis dengan hati yang semakin ringan, setiap kata seperti membuka beban yang selama ini menekan dirinya.

“Ahmad, aku memaafkanmu. Aku memaafkan semuanya—kepergianmu, pilihan-pilihanmu, bahkan rasa sakit yang kau tinggalkan. Dan aku juga ingin kau tahu bahwa aku memaafkan diriku sendiri. Aku memaafkan diriku yang selama ini menyalahkan hidup karena tidak memberikan kita kebahagiaan yang kita inginkan.
Terima kasih untuk semua kenangan indah yang pernah kita bagi. Terima kasih untuk cinta yang pernah kau berikan, meskipun itu tidak sempurna. Kau akan selalu menjadi bagian dari hidupku, tetapi aku tidak lagi akan membiarkan kenangan itu mengikatku.”

Siti menutup suratnya dengan menulis namanya di akhir. Ia menatap surat itu untuk waktu yang lama, membiarkan kata-kata itu meresap dalam dirinya. Rasanya seperti menutup sebuah bab dalam hidupnya, bab yang selama ini tidak pernah ia tahu bagaimana menyelesaikannya.

Keesokan paginya, Siti pergi ke sungai di tepi desa—tempat yang penuh dengan kenangan bersama Ahmad. Ia membawa surat yang telah ia tulis, menggenggamnya erat-erat di tangannya. Saat ia tiba di tepi sungai, ia menatap air yang mengalir pelan, membawa bayangan masa lalu.

Dengan hati yang penuh ketenangan, Siti membakar surat itu. Api kecil memakan kertas, mengubah kata-kata menjadi abu yang kemudian diterbangkan angin. Saat abu surat itu jatuh ke sungai, Siti merasa seperti melepaskan semua beban yang selama ini mengikat hatinya.

Ia menatap langit biru, menarik napas dalam-dalam, dan tersenyum untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Ia tahu bahwa ini bukan akhir, tetapi sebuah awal—awal dari hidup yang baru, di mana ia tidak lagi terikat oleh masa lalu.

 

Bab 10

Hari itu, matahari bersinar lembut, memandikan desa kecil Siti dalam kehangatan yang jarang terasa. Pagi berjalan lambat seperti biasa, tetapi bagi Siti, semuanya terasa berbeda. Ada kelegaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, seolah beban yang telah bertahun-tahun ia pikul akhirnya terangkat.

Siti berdiri di depan mejanya, menatap kotak kayu yang selama ini menyimpan surat-surat dari Ahmad. Ia membuka kotak itu perlahan, mengeluarkan amplop-amplop tua yang penuh kenangan. Setiap surat kini memiliki tempat tersendiri di hatinya—bukan lagi sebagai luka, melainkan sebagai bagian dari perjalanan hidupnya.

Ia memutuskan untuk menyimpan surat-surat itu, bukan karena ia ingin terus mengenang Ahmad, tetapi karena surat-surat itu telah menjadi pengingat tentang cinta, kehilangan, dan kekuatan untuk berdamai dengan masa lalu. Surat-surat itu kini bukan lagi beban, tetapi bagian dari cerita yang membuatnya menjadi dirinya saat ini.

Siti meletakkan surat-surat itu kembali ke dalam kotak kayu dan menguncinya. Ia menulis label kecil di bagian luar kotak: “Kenangan yang Membebaskan.” Kotak itu kemudian ia letakkan di rak kayu di sudut ruang tamu, di antara buku-buku lamanya. Ia tahu, ia mungkin tidak akan membukanya lagi, tetapi keberadaan kotak itu adalah simbol bahwa ia telah berdamai dengan masa lalunya.

Ketika sore tiba, Siti berjalan ke kebun kecilnya. Ia memetik beberapa bunga yang sedang mekar dan menyusunnya dalam sebuah vas di meja ruang tamu. Kebun itu, yang dulu hanya menjadi pelarian dari kesepiannya, kini terasa seperti bagian dari hidupnya yang baru—hidup yang lebih damai, lebih menerima, dan lebih penuh harapan.

Maryam datang menjelang senja, membawa sepiring kue tradisional untuk menemani teh sore mereka. Mereka duduk di teras, berbicara tentang hal-hal kecil—tentang bunga yang sedang mekar, tentang anak-anak muda di desa yang mulai merantau, dan tentang masa depan yang masih bisa dinikmati meskipun usia mereka tak lagi muda.

Maryam menatap Siti dan tersenyum. “Kau terlihat berbeda, Siti. Lebih tenang, lebih damai.”

Siti mengangguk, membalas senyuman sahabatnya. “Aku merasa seperti telah menemukan sesuatu yang hilang, Maryam. Bukan Ahmad, tetapi diriku sendiri. Surat-surat itu membantuku mengingat siapa aku, dan bahwa cinta itu tidak selalu harus memiliki akhir yang bahagia untuk tetap indah.”

Maryam meraih tangan Siti, menggenggamnya erat. “Itu adalah pelajaran yang tidak mudah, tetapi kau berhasil melewatinya. Aku bangga padamu.”

Malam itu, Siti duduk di teras rumahnya, menatap bintang-bintang yang bersinar terang di langit. Angin malam membawa aroma bunga dari kebunnya, memberikan rasa damai yang tak tergantikan. Ia tidak merasa sendirian lagi. Meski Ahmad tidak ada di sisinya, ia merasa bahwa cinta mereka, meskipun tak sempurna, telah membentuknya menjadi seseorang yang lebih kuat.

Siti tersenyum kecil, lalu menatap langit dengan penuh rasa syukur. Ia tahu, hidup ini tidak selalu seperti yang diharapkan, tetapi ia telah belajar bahwa bahkan dalam kehilangan, ada pelajaran yang indah. Cinta Ahmad, meskipun tidak hadir dalam wujud yang ia harapkan, telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya—sebuah kenangan yang tak akan pernah ia buang, tetapi juga tidak akan lagi mengikatnya.

Dalam keheningan malam, Siti berbisik kepada dirinya sendiri, “Aku telah berdamai, Ahmad. Terima kasih untuk segalanya.”

Dengan itu, Siti menutup bab hidupnya yang lama, membuka lembaran baru dengan hati yang ringan. Surat-surat itu mungkin tak pernah sampai tepat waktu, tetapi mereka telah tiba pada saat yang paling ia butuhkan—dan itu sudah cukup.