Novel Pendek: Cinta di Dimensi Kedua
Novel Cinta di Dimensi Kedua merupakan novel pendek yang ditulis oleh penulis novelpendek.dukala.art. Plot: Dimas, seorang penulis novel yang skeptis terhadap cinta sejati, secara tidak sengaja mengaktifkan mesin eksperimen ilmuwan tetangganya yang membuatnya berpindah ke dimensi paralel.
Di dunia
itu, dia bertemu dengan Zara, seorang ilmuwan yang sedang mencari orang hilang
yang ternyata adalah "versi lain" Dimas. Dalam perjalanan mencari
jalan pulang, mereka terjebak di antara konflik dimensi dan perasaan yang tak
terhindarkan.
Bab 1: Realita yang Kosong
Dimas menutup laptopnya dengan napas panjang. Ia baru saja
menyelesaikan satu bab untuk novel terbarunya—sebuah cerita fiksi ilmiah
tentang perjalanan waktu. Irama jemarinya yang mengetik kini terhenti, namun
pikirannya tetap berlari. Bukan ke alur cerita, tetapi ke pertanyaan yang
selalu menghantuinya: "Apa arti cinta sejati?"
Skeptisisme adalah tembok tebal yang ia bangun selama
bertahun-tahun. Melihat orang-orang jatuh cinta dan patah hati di sekitarnya
hanya memperkuat keyakinannya bahwa cinta hanyalah mitos yang dijual oleh buku
dan film. Baginya, kehidupan sederhana tanpa emosi rumit seperti cinta sudah
lebih dari cukup.
Dimas melangkah ke dapur kecil apartemennya. Suara tetesan
air dari keran yang bocor mengiringinya, menciptakan suasana sepi yang akrab.
Sambil menyalakan kompor untuk membuat kopi, ia mendengar suara gaduh dari luar
jendela. Sejenak ia mengabaikannya, mengira itu hanya suara lalu lintas biasa,
sampai ia mendengar suara ledakan kecil.
"Astaga, lagi-lagi Pak Arya," gumam Dimas,
mengerutkan dahi. Pak Arya adalah tetangganya yang tinggal di apartemen
sebelah. Seorang pria paruh baya dengan obsesi aneh terhadap eksperimen ilmiah.
Sudah sering terjadi kejadian aneh—bau terbakar, suara mendesis, bahkan listrik
mati mendadak—yang selalu berhubungan dengan "penemuan besar" Pak
Arya.
Rasa penasaran mengalahkan keinginannya untuk mengabaikan.
Dengan cangkir kopi di tangan, Dimas keluar ke balkon, mengintip ke arah
jendela Pak Arya yang terbuka. Asap tipis mengepul dari dalam ruangan,
sementara suara gaduh terus terdengar.
"Dimas!" suara berat Pak Arya memanggil. Wajah
pria itu muncul di balik jendela, penuh jelaga. "Kebetulan sekali! Kau
harus melihat ini!"
Dimas mendesah. "Pak Arya, saya sedang sibuk.
Deadline—"
"Ini penting, anak muda! Aku baru saja menyempurnakan
sesuatu yang luar biasa. Ini tentang… dimensi paralel!" Pak Arya berbicara
dengan mata berbinar, seolah ia baru saja menemukan rahasia alam semesta.
Dimas hanya meliriknya skeptis. "Dimensi paralel?
Serius?"
"Serius!" jawab Pak Arya sambil melambai penuh
semangat. "Aku hanya butuh pendapatmu sebagai penulis. Siapa tahu ini bisa
jadi inspirasi novelmu."
Dimas ingin menolak, tetapi rasa penasaran perlahan merayap
masuk. Mungkin sedikit hiburan dari kekacauan ini bisa mengalihkan pikirannya
dari kebuntuan menulis. "Baiklah," katanya akhirnya, sambil
meletakkan cangkir kopinya di balkon. "Tapi hanya sebentar."
Ketika ia melangkah masuk ke ruangan Pak Arya, aroma logam
terbakar menyambutnya. Di tengah ruangan, ada mesin besar yang terlihat seperti
gabungan antara mikroskop raksasa dan alat penangkap petir. Lampu-lampu kecil
berkedip, dan beberapa kabel menjuntai tak beraturan.
"Ini dia, anak muda. Mesin dimensi paralel!" Pak
Arya mengumumkan dengan bangga, sambil menepuk mesin itu.
"Kelihatannya lebih seperti pemanas air yang
rusak," gumam Dimas. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, mata
Pak Arya berbinar lagi.
"Tunggu di sini! Aku akan mengambil sesuatu untuk
demonstrasi!" Pak Arya bergegas ke sudut ruangan, meninggalkan Dimas
sendirian dengan mesin itu.
Dimas melangkah mendekat, menatap perangkat aneh itu dengan
skeptis. Tangannya, tanpa sadar, menyentuh salah satu tombol di panel mesin.
Sebelum ia sempat bereaksi, mesin itu mulai berdengung. Lampu-lampu berkedip
semakin cepat, dan sebuah suara gemuruh mengisi ruangan.
"Apa yang kau lakukan?!" Pak Arya berteriak,
berlari ke arah mesin. Namun, semuanya sudah terlambat. Sebuah cahaya terang
meledak dari perangkat itu, menyilaukan mata Dimas. Ia merasakan tubuhnya
ditarik, seperti tersedot ke dalam pusaran tak kasat mata.
"Dimas!" suara Pak Arya menggema, tetapi Dimas tak
bisa merespons. Tubuhnya terasa ringan, seolah-olah dunia di sekitarnya mulai
menghilang.
Ketika cahaya itu memudar, Dimas mendapati dirinya berdiri
di tempat yang tampak familiar, namun berbeda. Dunia di sekitarnya terlihat
seperti apartemennya—tetapi tidak sepenuhnya sama. Hawa aneh menyelimuti udara,
dan Dimas menyadari bahwa ia tidak lagi berada di tempat yang ia kenal.
"Apa yang baru saja terjadi?" bisiknya, dengan
perasaan cemas dan bingung.
Bab 2: Mesin Dimensi yang Tak Sengaja Aktif
Ketika kesadarannya kembali, Dimas berdiri tertegun.
Apartemennya masih terlihat seperti sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang tidak
biasa. Warna dinding sedikit lebih pucat, lampu gantung di langit-langit yang
tadinya model klasik kini berubah menjadi desain futuristik. Udara terasa aneh,
seperti berbau logam tipis yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Ia melangkah ke jendela, mencoba mencari tanda-tanda yang
lebih jelas. Jalanan di bawahnya penuh dengan kendaraan yang tampak melayang
beberapa sentimeter di atas tanah. Orang-orang berjalan dengan alat seperti
kacamata besar di kepala mereka. Beberapa di antaranya bercahaya,
memproyeksikan layar holografis di depan wajah pengguna.
"Apa-apaan ini?" gumam Dimas, hatinya diliputi
rasa cemas.
Pintu apartemen tiba-tiba terbuka. Dimas berbalik dengan
cepat, jantungnya berdegup kencang. Seorang wanita masuk dengan langkah cepat,
membawa seikat dokumen dan perangkat kecil berbentuk seperti tablet, tetapi
tampak jauh lebih canggih. Ia mengenakan jas lab putih yang tidak asing, tetapi
potongan dan bahannya terasa asing, seperti baju dari masa depan.
Wanita itu langsung berhenti begitu melihat Dimas. Tatapan
tajam dari matanya yang berwarna hazel membuat Dimas merasa terintimidasi,
tetapi ada juga rasa penasaran di baliknya.
"Siapa kamu?" tanya wanita itu dengan nada datar,
tetapi penuh kewaspadaan.
"Saya... Dimas," jawabnya ragu, bingung bagaimana
menjelaskan situasinya. "Ini apartemen saya. Tapi—"
"Omong kosong," potong wanita itu. "Apartemen
ini sudah kosong selama berminggu-minggu. Dan kalaupun ada yang tinggal di
sini, itu seharusnya... tunggu..." Ia memicingkan mata, menatap wajah
Dimas lebih lekat.
"Kamu siapa, sebenarnya?" tanya wanita itu dengan
nada lebih tajam. "Kamu terlihat seperti dia, tapi jelas bukan dia."
"Seperti dia siapa?" tanya Dimas, bingung dengan
maksudnya. Ia mencoba mendekat, tetapi wanita itu mundur selangkah, mengangkat
perangkat di tangannya yang memancarkan cahaya biru.
"Duduk di sana," perintahnya sambil menunjuk sofa.
"Jangan bergerak, atau aku akan memanggil keamanan."
Dimas mengangkat tangannya, menunjukkan bahwa ia tidak
berniat melawan. "Oke, oke. Saya tidak tahu apa yang terjadi di sini. Saya
juga bingung. Tolong, saya hanya ingin tahu di mana saya berada."
Wanita itu memperhatikan Dimas dengan hati-hati selama
beberapa detik sebelum akhirnya mendekat. Ia duduk di kursi seberang,
meletakkan perangkatnya di meja, dan mulai mengetik sesuatu. Sebuah layar
holografis muncul, menampilkan grafik dan data yang tidak dimengerti Dimas.
"Saya Zara," kata wanita itu akhirnya, suaranya
lebih tenang tetapi masih penuh kewaspadaan. "Dan kamu seharusnya tidak
ada di sini. Kalau kamu benar-benar Dimas, itu berarti ada kesalahan besar
dalam sistem."
"Sistem? Maksudmu apa? Saya hanya... secara tidak
sengaja menyalakan mesin di rumah tetangga saya, dan tiba-tiba saya ada di
sini."
Zara mendongak dari layarnya, ekspresinya berubah dari
kewaspadaan menjadi keterkejutan. "Mesin? Mesin apa?"
"Mesin eksperimen tetangga saya. Dia menyebutnya mesin
dimensi atau semacam itu," jelas Dimas, bingung dengan kecepatan
pembicaraan ini.
Mata Zara melebar. "Jadi kamu... kamu bukan dari sini.
Kamu berasal dari dimensi lain." Suaranya kini terdengar penuh keheranan,
dan mungkin sedikit kegembiraan. "Ini masuk akal. Itu sebabnya data
tentang 'kamu' tidak cocok dengan apa yang ada di sini."
"Dimensi lain?" ulang Dimas, mencoba memahami.
"Jadi, saya... berpindah dunia?"
"Kurang lebih begitu," kata Zara, suaranya mulai
terdengar serius. Ia berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir di ruangan.
"Ini bukan pertama kalinya ada anomali seperti ini. Tapi ini yang pertama
kalinya saya melihat seseorang berpindah dengan kesadaran penuh. Biasanya,
perpindahan antar dimensi hanya meninggalkan jejak energi atau benda
mati."
Dimas memijit pelipisnya. Semua ini terlalu banyak untuk
diproses. "Oke, jadi... bagaimana saya bisa kembali?"
Zara berhenti berjalan, menatapnya dengan raut wajah yang
sulit dibaca. "Itu masalahnya. Kalau mesin di dimensimu yang mengaktifkan
perpindahan ini, kita harus mencari cara untuk mereplikasi energi dan frekuensi
yang sama. Dan itu tidak akan mudah."
"Kedengarannya seperti pekerjaan besar," kata
Dimas, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. "Berapa lama itu
akan memakan waktu?"
Zara menghela napas panjang. "Saya tidak tahu. Mesin
seperti itu tidak pernah ada di sini, dan saya perlu tahu lebih banyak tentang
teknologi di dimensimu. Tapi ada satu hal lagi..." Ia ragu sejenak sebelum
melanjutkan, "Kita harus menemukan 'Dimas' yang ada di sini. Mungkin dia
bisa membantu."
Dimas menatapnya dengan bingung. "Tunggu, kamu bilang
ada versi saya di sini?"
Zara mengangguk. "Ya, dan dia hilang beberapa minggu
lalu. Tidak ada jejaknya. Sekarang saya pikir dia mungkin terjebak di
dimensimu... atau di tempat lain."
Dimas merasa lututnya lemas. Ini bukan hanya tentang
dirinya. Situasi ini jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Dan di
hadapannya, Zara hanya menatapnya dengan ekspresi campuran antara rasa
penasaran dan kekhawatiran.
Bab 3: Zara dan Dunia yang Berbeda
Dimas masih duduk di sofa, mencoba mencerna semua yang baru
saja ia dengar. Dunia ini bukan dunianya. Orang-orang yang ia lihat, teknologi
yang begitu asing, semuanya adalah bagian dari dimensi yang berbeda. Namun yang
paling mengganggunya adalah kenyataan bahwa ada "Dimas lain" yang
juga memiliki peran dalam semua ini.
Zara, sementara itu, sibuk dengan alat-alat di meja kerja
yang dipenuhi perangkat aneh. Ia tampak fokus, tetapi bibirnya sesekali
bergerak seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Dimas memutuskan untuk
memecah kesunyian.
"Jadi, kau ini siapa sebenarnya?" tanyanya, nada
suaranya datar tetapi penuh rasa ingin tahu.
Zara menoleh, menatap Dimas sejenak sebelum menjawab,
"Aku seorang ilmuwan. Peneliti multidimensi, kalau kau mau tahu lebih
spesifik. Tugas utamaku adalah mempelajari fenomena seperti ini—anomali yang
terjadi ketika dua dimensi bersinggungan."
"Dan versi aku di sini... dia ilmuwan juga?" tanya
Dimas.
"Ya, semacam itu," jawab Zara sambil melanjutkan
pekerjaannya. "Dia adalah mitra penelitianku. Kami bekerja sama dalam
proyek ini selama bertahun-tahun. Tapi dia menghilang tiga minggu lalu, tepat
setelah uji coba besar pertama kami. Sejak itu, aku berusaha melacak
jejaknya."
Dimas terdiam, mencoba membayangkan dirinya sebagai ilmuwan.
Pekerjaan ini terdengar sangat berbeda dari hidupnya sebagai penulis novel di
dunia asalnya. "Apa kau... dekat dengannya?" tanyanya hati-hati.
Zara berhenti sejenak, lalu menjawab dengan nada datar,
"Kami bekerja sama. Itu saja." Namun, matanya yang melirik sekilas ke
arah Dimas menceritakan sesuatu yang lain—sebuah perasaan yang lebih dalam,
mungkin rasa kehilangan.
"Baiklah," kata Dimas, mencoba mengalihkan
pembicaraan. "Kalau begitu, apa langkah selanjutnya? Kau bilang kita harus
menemukan 'aku' yang ada di sini, tapi bagaimana caranya?"
Zara menghela napas panjang dan mengambil salah satu
perangkat kecil di mejanya. Ia menekan beberapa tombol, dan alat itu
memproyeksikan peta holografis di udara. "Aku punya beberapa titik data
terakhir yang menunjukkan aktivitas energi anomali di sekitar kota ini. Jika
aku bisa melacak pola yang sama, mungkin kita bisa menemukan jejaknya."
Dimas menatap peta holografis itu dengan kagum. "Ini
keren sekali," gumamnya. "Aku merasa seperti berada di film fiksi
ilmiah."
Zara tersenyum kecil, tetapi senyuman itu segera memudar.
"Ini bukan film, Dimas. Ini nyata. Dan setiap detik yang kita habiskan di
sini berarti versi dirimu yang lain mungkin semakin sulit ditemukan, atau lebih
buruk lagi..."
Dimas menangkap kekhawatiran di wajah Zara. Ia mencondongkan
tubuh ke depan, mencoba menawarkan sedikit keyakinan meskipun ia sendiri merasa
kebingungan. "Kita akan menemukannya. Kau sudah punya teknologi ini, dan
aku ada di sini untuk membantu, kalau aku bisa."
Zara menatapnya sejenak, ekspresinya melunak. "Terima
kasih," katanya singkat sebelum kembali fokus pada peta. "Aku akan
memerlukan waktu untuk menyinkronkan data ini dengan alat pelacakku. Sementara
itu, kau perlu sesuatu untuk membantu kau beradaptasi dengan dunia ini."
"Beradaptasi? Maksudmu apa?"
Zara berjalan ke salah satu lemari di sudut ruangan dan
menarik keluar sebuah perangkat berbentuk seperti headset ramping. "Kau
tidak bisa berkeliaran di luar sana tanpa terlihat mencurigakan. Orang-orang di
sini menggunakan teknologi ini untuk navigasi, komunikasi, dan informasi. Kau
akan butuh ini."
Dimas mengambil perangkat itu dengan hati-hati. "Jadi,
ini seperti ponsel, tapi dipakai di kepala?"
"Kurang lebih," jawab Zara. "Pasang itu. Aku
sudah menyesuaikannya dengan frekuensi energimu, jadi tidak akan ada
masalah."
Dimas memakainya, dan seketika sebuah antarmuka holografis
muncul di depan matanya. Ia bisa melihat ikon-ikon kecil melayang di udara,
dengan teks yang seolah bergerak mengikuti pandangannya.
"Wow," gumamnya. "Ini benar-benar seperti
teknologi di film."
"Selamat datang di dunia baruku," kata Zara sambil
tersenyum tipis. "Cobalah untuk tidak menyentuh apa pun yang tidak kau
mengerti, ya? Aku tidak ingin harus memperbaiki perangkat itu."
Dimas tertawa kecil. "Aku akan mencoba."
Zara kembali sibuk dengan datanya, tetapi Dimas
memperhatikan bagaimana tatapannya kadang-kadang melunak ketika ia berpaling
darinya. Ia tahu Zara sedang memikul beban besar—mencari rekan kerjanya,
melacak anomali dimensi, dan sekarang harus menghadapi dirinya, seorang asing
dari dunia lain yang menyerupai seseorang yang ia kenal.
Di tengah kesunyian yang canggung, Dimas berkata pelan,
"Zara, terima kasih. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku menghargai
usahamu."
Zara menoleh, terkejut dengan nada tulus dalam suara Dimas.
Setelah beberapa saat, ia mengangguk. "Kita harus saling membantu. Kalau
tidak, kita tidak akan pernah menemukan jalan keluar dari semua ini."
Dimas tersenyum kecil, merasa untuk pertama kalinya sejak
tiba di dunia ini bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian.
Bab 4: Kebenaran Tentang Dimensi Paralel
Malam telah turun di dunia baru yang dimasuki Dimas. Cahaya
neon dari kendaraan melayang dan iklan holografis yang melintas di langit
menciptakan suasana futuristik yang terasa menakjubkan sekaligus menakutkan.
Dimas duduk di meja kerja Zara, dikelilingi oleh alat-alat yang bahkan ia tak
tahu cara menggunakannya. Zara, di seberangnya, terus sibuk dengan perangkat
pelacak yang sedang ia perbaiki.
"Jadi, Zara," Dimas memulai, mencoba memahami
lebih dalam situasi ini, "apa sebenarnya yang kau dan 'aku' di sini
lakukan dengan penelitian ini? Apa tujuan kalian bermain-main dengan dimensi
paralel?"
Zara berhenti sejenak, menghela napas, lalu mengangkat
wajahnya. Matanya menatap Dimas dengan campuran rasa lelah dan keingintahuan.
"Pertama, aku tidak 'bermain-main.' Ini adalah penelitian ilmiah serius,
dan tujuannya sederhana: memahami bagaimana dimensi paralel bekerja dan
menemukan cara untuk memanfaatkan koneksi antar dimensi."
Dimas mengernyit. "Terdengar seperti sesuatu yang lebih
cocok untuk film daripada dunia nyata. Dan apa sebenarnya manfaatnya? Maksudku,
kenapa seseorang ingin melintasi dimensi?"
Zara berdiri dari kursinya dan mulai berjalan mondar-mandir
di ruangan, jelas tengah berusaha menyusun pikirannya. "Bayangkan ini,
Dimas. Ada miliaran dimensi paralel, masing-masing sedikit berbeda satu sama
lain. Di beberapa dimensi, sejarah berjalan berbeda. Teknologi lebih maju, atau
bencana tertentu tidak pernah terjadi. Kalau kita bisa memahami hubungan antar
dimensi, kita bisa belajar dari dunia lain, menghindari kesalahan yang sama,
atau bahkan menyelamatkan mereka yang terjebak di dimensi yang salah."
"Seperti aku sekarang," gumam Dimas.
"Seperti kau," Zara mengangguk. "Dan...
seperti Dimas yang ada di sini." Suaranya menurun saat menyebutkan itu,
dan untuk sesaat, ekspresinya melunak.
Dimas diam, mencoba memahami skala penelitian ini. Ia tidak
pernah membayangkan bahwa teknologi seperti ini mungkin ada, apalagi dijalankan
oleh seseorang yang tampaknya seusia Zara. "Tapi," tanyanya akhirnya,
"apakah ada risiko? Maksudku, kau bicara tentang membuka celah antar
dimensi. Itu terdengar berbahaya."
Zara berhenti berjalan dan menatapnya dengan serius.
"Tentu saja ada risiko. Itu sebabnya aku sangat berhati-hati. Namun, ada
orang lain di dunia ini yang tidak seberhati-hati aku. Ada kelompok yang
percaya bahwa dimensi paralel adalah tambang emas yang belum dieksplorasi.
Mereka ingin memanfaatkan teknologi ini untuk keuntungan pribadi, tanpa peduli
konsekuensi."
"Maksudmu kelompok seperti apa? Pemerintah? Organisasi
kriminal?"
"Lebih seperti korporasi besar," jawab Zara dengan
nada getir. "Mereka memiliki dana tak terbatas dan tidak ragu menggunakan
cara-cara kotor untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku dan Dimas di
sini sudah lama menjadi target mereka."
Dimas merasa perutnya mengencang. "Jadi, kalian...
diburu?"
"Kurang lebih," jawab Zara sambil kembali ke meja
kerjanya. "Itulah salah satu alasan kami bekerja dalam bayang-bayang. Kami
tahu apa yang sedang kami lakukan bisa mengubah dunia, tetapi juga bisa
menghancurkannya jika jatuh ke tangan yang salah."
Dimas mengangguk pelan. Kini, ia mulai mengerti kenapa Zara
begitu waspada terhadap dirinya. Dunia ini, dengan segala kecanggihannya,
tampak memiliki sisi gelap yang mengintai di balik kemajuan teknologinya.
"Tapi kenapa aku... atau 'aku' di sini, menghilang? Apa
kau pikir ada hubungannya dengan kelompok itu?" tanya Dimas, mencoba
menyatukan potongan-potongan teka-teki.
"Itulah yang aku takutkan," jawab Zara. "Aku
tidak punya bukti konkret, tetapi menghilangnya Dimas terjadi tepat setelah
salah satu uji coba besar kami. Aku takut dia mungkin diculik, atau lebih buruk
lagi..."
Zara tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi Dimas bisa
merasakan beratnya kekhawatiran di balik kata-kata itu. Ia tidak tahu apa yang
bisa ia lakukan dalam situasi ini, tetapi satu hal jelas: ia tidak bisa hanya
duduk diam.
"Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu?" tanya
Dimas dengan nada tegas.
Zara menatapnya, seolah mencoba menilai apakah ia tulus.
Akhirnya, ia mengangguk kecil. "Aku perlu lebih banyak data dari perangkat
ini," katanya sambil menunjuk alat pelacak yang sedang ia perbaiki.
"Tapi aku butuh bantuanmu untuk melakukan penyelidikan lapangan. Aku tidak
bisa ke luar sendiri tanpa menarik perhatian."
"Jadi aku... semacam mata-matamu sekarang?" Dimas
tersenyum kecil, mencoba meringankan suasana.
"Anggap saja begitu," jawab Zara dengan senyum
tipis yang langka. "Tapi jangan anggap remeh. Dunia ini mungkin terlihat
canggih, tapi itu juga berarti pengawasan ada di mana-mana. Kita harus
hati-hati."
Dimas mengangguk, merasakan semangat aneh mengalir dalam
dirinya. Meskipun situasi ini menakutkan, ia merasa seperti sedang terlibat
dalam sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya
dalam hidupnya, ia merasa seperti memiliki tujuan yang lebih besar.
"Baiklah," katanya. "Katakan apa yang harus
aku lakukan."
Zara mengulurkan perangkat kecil yang terlihat seperti jam
tangan. "Mulai dari sini. Ini akan membantumu berkomunikasi denganku dan
melacak sinyal anomali yang mungkin mengarah ke 'Dimas' yang hilang. Kita akan
mulai dengan area yang terdekat."
Dimas menerima perangkat itu dan mengenakannya. Dalam
sekejap, layar kecil muncul, menunjukkan peta holografis yang memproyeksikan
lokasi sekitar. "Wow, ini keren," gumamnya.
"Selamat datang di realita baruku," kata Zara
dengan nada dingin tetapi bercampur antusiasme samar. "Dan ingat, Dimas.
Kita tidak hanya mencari seseorang. Kita juga melawan waktu."
Dimas hanya mengangguk, menatap layar holografis di
tangannya. Dalam benaknya, satu pikiran terus bergema: bagaimana mungkin ia
terjebak di sini, dan apakah ia akan pernah bisa kembali ke dunia asalnya?
Bab 5: Jejak Versi Lain Dimas
Dimas berjalan menyusuri jalanan kota yang terasa seperti
dunia mimpi, tetapi terlalu nyata untuk disebut khayalan. Di sekelilingnya,
orang-orang sibuk dengan perangkat holografis, kendaraan melayang berseliweran
tanpa suara, dan gedung-gedung yang menjulang tinggi dengan fasad yang terus
berubah warna.
Perangkat di pergelangan tangannya berkedip, memancarkan
sinyal kecil yang menuntunnya ke tujuan berikutnya. Suara Zara terdengar dari
alat itu, tenang tetapi serius.
"Ikuti jalur biru di peta. Sinyal anomali terakhir
terdeteksi di zona industri di pinggiran kota. Pastikan kau tidak menarik
perhatian."
"Ya, gampang saja," gumam Dimas sambil menatap
seorang pria yang memandangnya curiga. Ia menyadari betapa canggungnya ia
terlihat, mengenakan pakaian biasa di tengah-tengah orang-orang yang berpakaian
dengan gaya futuristik. Zara telah memperingatkannya untuk beradaptasi, tetapi
tentu saja tidak ada cukup waktu untuk sepenuhnya menyamarkan dirinya.
Setelah beberapa menit berjalan kaki, Dimas tiba di area
yang ditunjukkan di peta. Zona industri itu berbeda dari bagian kota
lainnya—gelap, penuh dengan struktur logam yang terlihat lebih tua dan tidak
terawat. Beberapa robot mekanik bergerak perlahan di antara tumpukan barang,
sementara suara dengungan mesin memenuhi udara.
"Sinyalnya ada di sini?" tanya Dimas melalui
perangkat komunikasinya.
"Ya," jawab Zara. "Aku mendeteksi residu
energi dimensi yang cocok dengan Dimas versi sini. Perangkatmu seharusnya bisa
mengidentifikasi jejak lebih lanjut."
Dimas mengaktifkan perangkat itu, dan layar kecil
memproyeksikan peta area sekitarnya dengan titik merah berkedip di salah satu
bangunan. Ia melangkah lebih dekat, merasa jantungnya berdegup semakin cepat.
Bangunan itu terlihat seperti gudang tua, dengan pintu logam besar yang sedikit
terbuka.
"Zara, aku masuk," bisiknya sambil memeriksa
sekeliling.
"Berhati-hatilah," balas Zara. "Aku tidak
tahu apa yang ada di dalam."
Dimas mendorong pintu logam itu perlahan, menciptakan suara
derit pelan. Di dalam, gudang itu gelap, tetapi perangkat di tangannya
memancarkan cahaya biru yang cukup untuk menerangi jalannya. Tumpukan peti dan
alat-alat mekanik tua berserakan di mana-mana, menciptakan suasana seperti
labirin.
Tiba-tiba, perangkatnya berbunyi keras, sinyalnya semakin
kuat.
"Apa itu?" bisik Dimas, matanya menyapu ruangan.
"Aku mendeteksi sesuatu," kata Zara, suaranya
terdengar lebih tegang. "Energinya sangat kuat. Hati-hati."
Dimas bergerak lebih dalam ke gudang, dan akhirnya ia
melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Di tengah ruangan, ada sebuah alat
besar, mirip dengan mesin yang pernah ia lihat di rumah Pak Arya. Namun, mesin
ini terlihat lebih canggih, dengan kabel-kabel yang bersinar dan panel-panel
yang memancarkan cahaya aneh.
"Zara, ada mesin di sini. Ini mirip dengan mesin di
rumah tetanggaku," lapor Dimas.
Zara terdiam sejenak, lalu berkata, "Itu bisa menjadi
portal antar dimensi. Tapi... ini jauh lebih besar. Aku tidak pernah melihat
mesin sebesar ini."
Dimas mendekat, memperhatikan alat itu. Namun, sebelum ia
sempat menyentuhnya, ia mendengar suara langkah kaki dari belakang.
Ia berbalik cepat, menemukan seorang pria berdiri di sana.
Pria itu mengenakan jas lab yang sama seperti Zara, tetapi wajahnya memiliki
bekas luka panjang di pipi kirinya. Mata pria itu menyipit, menatap Dimas
dengan ekspresi curiga.
"Kau... siapa kau?" tanya pria itu, suaranya dalam
dan dingin.
Dimas merasakan napasnya tertahan. Pria itu tampak seperti
seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. "Aku... hanya
tersesat," jawab Dimas, mencoba terdengar santai.
Namun, pria itu tidak membeli kebohongan itu. Ia mendekat,
menatap Dimas lebih dekat, dan tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi
keterkejutan. "Tunggu... Kau adalah dia," gumamnya.
"Apa maksudmu?" tanya Dimas, bingung.
Pria itu tertawa kecil, tetapi tawanya dingin. "Tentu
saja. Aku tahu Zara akan mengirim seseorang. Tapi aku tidak menyangka dia akan
mengirim... dirimu."
Sebelum Dimas sempat bertanya lebih lanjut, pria itu menekan
sebuah tombol di pergelangan tangannya. Dalam sekejap, mesin besar di tengah
ruangan mulai menyala, memancarkan cahaya terang dan suara gemuruh. Dimas
mundur, melindungi matanya dari kilauan yang menyilaukan.
"Zara! Ada sesuatu yang terjadi di sini!"
teriaknya melalui perangkat komunikasi.
Suara Zara terdengar panik. "Keluar dari sana sekarang!
Itu mungkin jebakan!"
Dimas mencoba berlari menuju pintu keluar, tetapi pria itu
bergerak cepat, menghalangi jalannya. "Kau tidak akan pergi ke
mana-mana," katanya dengan nada ancaman.
Dimas merasakan ketakutan yang membara di dadanya, tetapi
juga rasa penasaran yang semakin besar. Siapa pria ini? Dan apa hubungannya
dengan Dimas yang hilang? Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, mesin besar itu
memancarkan gelombang energi yang mengguncang seluruh ruangan. Dimas jatuh ke
lantai, dan pandangannya menjadi kabur.
Hal terakhir yang ia dengar adalah suara pria itu, dingin
dan penuh teka-teki. "Kau seharusnya tidak berada di sini. Tapi mungkin
ini akan membuat permainan menjadi lebih menarik."
Lalu semuanya menjadi gelap.
Bab 6: Konflik Dimensi
Dimas terbangun dengan kepala yang berdenyut nyeri. Seluruh
tubuhnya terasa berat, dan suara dengungan mesin yang samar memenuhi
telinganya. Ia membuka matanya perlahan dan menemukan dirinya berada di ruangan
yang berbeda. Cahaya redup dari panel di dinding menerangi ruangan dengan
nuansa dingin dan mekanis. Tangannya terikat di kursi logam yang terasa dingin
di kulitnya.
"Ah, akhirnya kau bangun," suara familiar
terdengar, dan Dimas mengangkat kepalanya. Di depannya, pria dengan bekas luka
di pipi berdiri, menyilangkan tangan sambil menyeringai puas.
Dimas mencoba bergerak, tetapi tali di pergelangan tangannya
terlalu kencang. "Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya dengan
suara serak.
Pria itu menunduk sedikit, menatap Dimas seperti predator
yang mengamati mangsanya. "Kau tidak tahu siapa aku, bukan? Namaku Zayne.
Dan aku adalah seseorang yang cukup lelah dengan permainan Zara dan... 'dirimu'
yang ada di sini."
"Zara?" Dimas menyipitkan mata. "Apa yang kau
maksud dengan permainan? Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi."
Zayne tertawa kecil, suaranya terdengar penuh ejekan.
"Oh, aku yakin kau tahu lebih banyak daripada yang kau katakan. Kau
mungkin berasal dari dimensi lain, tetapi kau tetap Dimas—atau setidaknya, kau
memiliki bagian dari dirinya. Dan itu membuatmu sangat berharga bagi
kami."
Dimas menatap Zayne bingung, tetapi juga merasakan ketakutan
yang semakin besar. "Berharga? Berharga untuk apa?"
Zayne berbalik, berjalan perlahan di sekitar ruangan.
"Dimensi paralel bukan hanya teori atau sekadar eksperimen kecil. Ini
adalah pintu menuju kekuatan tanpa batas—pengetahuan, teknologi, bahkan sumber
daya yang tak pernah kita bayangkan. Aku sudah bekerja selama bertahun-tahun
untuk membuka jalan ini, dan sekarang aku semakin dekat."
"Jadi, ini semua tentang kekuasaan?" tanya Dimas
dengan nada tajam.
"Lebih dari itu," jawab Zayne. "Ini tentang
mengontrol masa depan. Kau, dan Zara, hanya penghalang kecil dalam rencana
besarku. Tapi kau membawa sesuatu yang berharga untukku sekarang: jejak dimensi
asalmu."
"Jejak dimensi?" ulang Dimas, bingung. "Apa
itu?"
Zayne tersenyum dingin. "Setiap individu membawa energi
unik dari dimensinya. Dengan jejak energimu, aku bisa menyempurnakan mesin
dimensi ini dan membuka portal stabil yang akan menghubungkan semua
dunia."
Sebelum Dimas bisa membalas, suara di perangkat
komunikasinya tiba-tiba terdengar. Suara Zara, meskipun terdistorsi, bergema
dengan jelas. "Dimas! Kau di mana? Jawab aku!"
Dimas menoleh ke arah pergelangan tangannya, tetapi Zayne
telah mengambil perangkat itu. Ia memandang layar kecil yang berkedip, senyum
dinginnya semakin lebar. "Ah, Zara. Tentu saja dia akan mencari cara untuk
menyelamatkanmu."
"Jangan berani-berani menyentuhnya!" teriak Dimas,
tetapi Zayne hanya mengabaikannya.
Zayne menekan tombol di perangkat itu, dan suara Zara
terdengar lagi. "Dimas! Aku melacak sinyalmu. Aku hampir sampai di
lokasimu!"
Zayne mematikan perangkat itu dan menatap Dimas.
"Sepertinya kita akan mendapat tamu. Bagus. Aku ingin menyelesaikan semua
ini sekaligus."
Ia melangkah keluar ruangan, meninggalkan Dimas sendirian.
Dimas berusaha keras melepaskan ikatannya, tetapi tali itu terlalu kuat. Rasa
frustrasi dan putus asa mulai menguasai dirinya, tetapi ia tidak mau menyerah.
"Zara... cepatlah," gumamnya pelan.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar di
luar ruangan. Pintu terbuka, dan Zara muncul dengan napas terengah-engah. Ia
membawa alat kecil di tangannya, yang tampak seperti senjata energi. Matanya
langsung menangkap sosok Dimas yang terikat.
"Dimas!" serunya, bergegas mendekat.
"Zara, hati-hati! Dia di sini!" teriak Dimas.
Namun, sebelum Zara sempat melepaskan tali di pergelangan
tangan Dimas, Zayne muncul di pintu dengan dua orang bersenjata di sisinya. Ia
bertepuk tangan pelan, senyum puas terpampang di wajahnya.
"Zara, selalu penuh semangat," kata Zayne.
"Tapi kau harus tahu, kau tidak akan bisa menghentikanku."
Zara berdiri, menghadapkan dirinya pada Zayne. "Kau
tidak akan berhasil, Zayne. Membuka portal stabil ke semua dimensi akan
menghancurkan keseimbangan. Itu bukan kekuatan—itu kehancuran."
Zayne tertawa kecil. "Itu adalah risiko kecil untuk
sesuatu yang jauh lebih besar. Dan sekarang, dengan dua Dimas di sini, aku
punya semua yang kubutuhkan."
Zara mengangkat senjata energinya dan mengarahkannya ke
Zayne. "Kau tidak akan mendapatkan apa pun."
Zayne memberi isyarat kepada anak buahnya, yang mulai maju.
Zara menembakkan senjatanya, menciptakan ledakan cahaya biru yang membuat salah
satu penjaga Zayne terjatuh. Namun, Zayne tidak tinggal diam. Ia menekan tombol
di tangannya, dan mesin besar di ruangan sebelah mulai menyala.
Ruangan bergetar hebat, dan portal bercahaya besar mulai
terbuka di tengah mesin. Energi dari portal itu terasa seperti badai,
menghancurkan benda-benda di sekitarnya.
"Dimas!" Zara berteriak sambil berusaha menahan
angin yang semakin kuat. "Aku tidak bisa melakukannya sendiri! Aku butuh
kau untuk menghentikan ini!"
Dimas melihat ke portal yang semakin besar dan Zayne yang
tampak semakin gila dengan obsesinya. Ia tahu ia harus membuat pilihan:
melarikan diri atau membantu Zara menghentikan mesin yang bisa menghancurkan
lebih dari satu dunia.
Dengan tekad yang membara, Dimas berteriak, "Aku siap!
Katakan apa yang harus kulakukan!"
Bab 7: Pengorbanan Versi Lain Dimas
Angin yang dihasilkan oleh portal semakin kuat, membuat
ruangan itu bergetar hebat. Mesin raksasa yang dikelilingi kabel bercahaya
terlihat hampir seperti makhluk hidup, memuntahkan energi yang memancar tak
terkendali. Dimas berdiri dengan napas memburu, sementara Zara berjuang
mempertahankan keseimbangannya di dekat panel kontrol.
"Zara, bagaimana cara mematikan ini?" teriak Dimas
di tengah gemuruh.
Zara menunjuk ke arah mesin, wajahnya penuh ketegangan.
"Kau lihat inti berwarna merah itu? Kita harus menghentikan alirannya!
Tapi itu hanya bisa dilakukan secara manual!"
Dimas menatap inti mesin yang bercahaya merah menyala,
terletak di tengah pusaran energi. Mendekatinya tampak seperti misi bunuh diri,
tetapi dia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. "Baik! Aku akan
mencobanya!"
Namun, sebelum Dimas bisa melangkah, suara berat yang
dikenalnya menghentikan langkahnya. "Tunggu!"
Dimas menoleh dan melihat seseorang keluar dari bayangan di
sisi ruangan. Tubuhnya tinggi, mengenakan pakaian yang mirip dengan Zara,
tetapi lebih lusuh. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan wajahnya... wajah itu
sama seperti miliknya.
Versi lain dari dirinya.
Dimas tertegun. Seolah-olah ia melihat cermin, tetapi
refleksinya memiliki beban dan rasa lelah yang mendalam di mata.
"Kau..." bisik Dimas.
Zara menoleh, matanya melebar. "Dimas... kau di
sini?"
Versi lain Dimas, meskipun terlihat lemah, berjalan dengan
langkah tegas ke arah mereka. "Aku tahu kau akan datang," katanya
kepada Zara. "Dan aku tahu Zayne akan menggunakan kau untuk
rencananya." Ia kemudian menoleh ke Dimas, memperhatikan dengan seksama.
"Jadi, ini diriku dari dimensi lain. Kau terlihat lebih segar dibandingkan
aku."
"Lebih segar?" Dimas yang asli hampir tertawa di
tengah situasi ini. "Aku terjebak di duniamu dan tidak tahu apa yang
sedang terjadi!"
Versi lain Dimas tersenyum samar. "Aku tahu perasaan
itu. Tapi tidak ada waktu untuk bercanda. Kita harus menghentikan ini sebelum
portal menghancurkan segalanya."
Zara maju, menatap Dimas dari dimensi itu dengan ekspresi
khawatir. "Kau menghilang! Kami pikir kau telah—"
"Aku bersembunyi," potongnya. "Aku tahu Zayne
akan mencariku. Aku tidak bisa membiarkan dia menggunakan aku untuk
mengaktifkan portal stabil ini." Ia menatap ke arah mesin yang bergetar
hebat. "Tapi sekarang semuanya sudah terlambat. Portal ini sudah
aktif."
"Kita masih bisa mematikannya!" balas Zara, penuh
keyakinan.
Versi lain Dimas menggeleng, menatap inti mesin dengan
pandangan suram. "Tidak, ini tidak seperti sebelumnya. Energinya terlalu
besar. Jika kita mencoba menghentikannya tanpa mengatur ulang sistem, portal
ini akan meledak dan menghancurkan dimensi ini—dan mungkin dimensimu
juga," katanya sambil menoleh pada Dimas.
"Apa yang bisa kita lakukan?" tanya Dimas, merasa
putus asa.
Versi lain Dimas mendesah, ekspresinya menjadi lebih serius.
"Seseorang harus masuk ke inti mesin dan menghentikan aliran energinya
dari dalam."
Zara tersentak. "Tidak mungkin! Siapa pun yang masuk ke
sana tidak akan selamat!"
"Kalau kita tidak melakukannya, semua dimensi akan
hancur," jawab versi lain Dimas dengan tenang. "Dan aku akan
melakukannya."
Dimas merasa hatinya mencelos. "Tunggu, tunggu. Kau
tidak bisa begitu saja mengorbankan dirimu! Pasti ada cara lain!"
Versi lain Dimas tersenyum tipis. "Dengar, aku sudah
memikirkan hal ini sejak aku tahu apa yang Zayne rencanakan. Ini satu-satunya
cara. Lagipula, aku sudah kehilangan semuanya di sini. Kau masih punya dunia
untuk kembali, orang-orang yang menunggumu. Biarkan aku melakukan ini."
Zara mencoba membantah, tetapi ia terdiam, air mata mulai
menggenang di matanya. "Dimas... aku tidak bisa membiarkan kau
melakukannya," katanya pelan.
"Tidak ada pilihan lain, Zara," jawabnya dengan
suara lembut. "Aku ingin kau terus melanjutkan penelitian kita. Kau harus
memastikan ini tidak pernah terjadi lagi."
Sebelum ada yang bisa menghentikannya, versi lain Dimas
berlari menuju inti mesin. Tubuhnya mulai diterpa energi portal yang memancar,
tetapi ia terus melangkah tanpa ragu. Dimas yang asli dan Zara hanya bisa
melihat dengan perasaan tak berdaya.
"Berhenti dia!" suara Zayne terdengar dari sudut
lain ruangan. Ia muncul bersama anak buahnya, wajahnya penuh kemarahan.
"Kau tidak akan menghancurkan rencanaku!"
Zara dengan sigap mengarahkan senjatanya dan menembak ke
arah Zayne. Sementara itu, Dimas yang asli berlari ke panel kontrol, mencoba
membantu Zara dengan cara apa pun yang ia bisa.
Di tengah kekacauan itu, versi lain Dimas mencapai inti
mesin. Ia berhenti sejenak, menatap Zara dan Dimas dari jauh, sebelum
tersenyum. Kemudian, ia masuk ke dalam inti yang bercahaya merah.
Seketika, ruangan itu diselimuti cahaya terang yang
menyilaukan. Mesin mulai bergetar hebat, dan portal perlahan mengecil hingga
akhirnya tertutup sepenuhnya. Getaran itu berhenti, menyisakan keheningan yang
memekakkan.
Dimas yang asli dan Zara berdiri terpaku, menatap mesin yang
kini mati total. Tidak ada tanda-tanda versi lain Dimas.
"Dia... dia berhasil," bisik Zara, suaranya
bergetar. Air matanya mengalir, tetapi ia tersenyum samar, seolah mengerti
bahwa pengorbanan itu adalah keputusan yang benar.
Dimas tidak bisa berkata-kata. Ia merasa seperti kehilangan
sesuatu yang penting, meskipun ia baru saja bertemu dengan versi lain dirinya.
Ia menundukkan kepala, mengenang keberanian dan pengorbanan yang baru saja ia
saksikan.
Zara mendekat, meletakkan tangannya di pundak Dimas.
"Dia percaya padamu. Dia tahu kau bisa melanjutkan apa yang sudah dia
mulai."
Dimas mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih terasa
berat. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang
harus ia selesaikan, demi menghormati pengorbanan versi lain dirinya.
Bab 8: Mesin Dimensi yang Tidak Stabil
Ruangan itu sunyi setelah ledakan cahaya dari inti mesin
memudar. Mesin besar di tengah ruangan kini mati, tidak lagi memancarkan cahaya
atau suara. Udara terasa berat, seperti menyimpan sisa-sisa energi dari portal
yang baru saja ditutup. Dimas berdiri diam, masih mencoba mencerna apa yang
baru saja terjadi.
Zara, dengan air mata yang belum sepenuhnya kering,
mendekati mesin. Tangannya gemetar saat ia menyentuh panel logam dingin yang
dulunya memancarkan energi luar biasa. "Dia benar-benar
melakukannya," bisiknya. Suaranya penuh rasa kehilangan.
Dimas menatap Zara. "Dia tahu ini adalah satu-satunya
cara," katanya pelan, mencoba menguatkan dirinya dan Zara. "Versi
diriku di sini... dia adalah pahlawan sejati."
Zara memalingkan wajah, menahan air matanya yang nyaris
tumpah lagi. "Aku tidak pernah ingin kehilangan dia," katanya dengan
suara yang nyaris pecah. "Kami sudah bekerja begitu lama untuk proyek ini.
Dan sekarang, semuanya terasa kosong tanpa dia."
Dimas ingin mengatakan sesuatu untuk menghibur Zara, tetapi
suara keras dari sisi lain ruangan membuat mereka berdua tersentak.
"Ini belum selesai!" Zayne muncul, wajahnya penuh
amarah. Meskipun portal telah dihentikan, Zayne tidak menyerah. Ia memegang
perangkat kecil di tangannya yang tampak seperti remote kontrol. "Kalian
pikir kalian sudah menang? Mesin ini hanyalah salah satu dari banyak yang akan
kubangun!"
Zara mengarahkan senjata energi kecilnya ke arah Zayne,
tetapi sebelum ia bisa menembak, Zayne menekan tombol di perangkat itu.
Seketika, suara mendengung memenuhi ruangan. Mesin besar yang tadinya mati kini
kembali menyala, meskipun tidak sepenuhnya. Lampu-lampu di sekeliling mesin
mulai berkedip tak menentu, dan panel-panelnya memancarkan percikan api.
Dimas mundur selangkah. "Apa yang kau lakukan? Mesin
itu sudah mati!"
Zayne tertawa, tawanya penuh kegilaan. "Mati? Tidak
mungkin! Mesin ini dirancang untuk memulihkan dirinya sendiri. Dan sekarang,
aku akan membukanya lagi, meskipun harus menghancurkan dimensi ini!"
"Kau gila!" teriak Zara, mencoba menembak
perangkat di tangan Zayne. Namun, Zayne bergerak cepat, bersembunyi di balik
tumpukan peti logam.
Dimas menatap Zara dengan cemas. "Apa yang bisa kita
lakukan? Mesin itu terlihat tidak stabil!"
Zara mengerutkan kening, matanya menatap mesin besar itu
dengan intens. "Mesin ini kehilangan inti utamanya. Tanpa inti yang
stabil, energi di dalamnya akan terus meningkat sampai... sampai meledak."
"Ledakan? Seberapa besar?" tanya Dimas, meskipun
ia sudah tahu jawabannya tidak akan bagus.
"Seukuran kota ini," jawab Zara, wajahnya penuh
kecemasan. "Kita harus menghentikannya, sekarang juga."
Dimas menatap mesin itu, lalu beralih ke Zara.
"Bagaimana caranya? Kau bilang intinya sudah hancur."
Zara menggigit bibirnya, berpikir keras. "Ada cara
lain. Kita bisa memutuskan aliran energi ke seluruh sistem, tetapi itu hanya
bisa dilakukan dari panel utama. Dan... itu berarti seseorang harus mengalihkan
perhatian Zayne."
Dimas langsung mengerti maksudnya. Ia mengangguk.
"Baik, aku akan melakukannya. Kau urus panel itu."
Zara memandangnya dengan ragu. "Dimas, ini berbahaya.
Zayne tidak akan ragu untuk membunuhmu."
"Aku tidak punya pilihan," jawab Dimas tegas.
"Aku tidak akan membiarkan apa yang telah dia korbankan menjadi
sia-sia."
Zara mengangguk, meskipun ia tampak berat hati. "Baik.
Hati-hati."
Dimas mengambil potongan logam dari lantai, memutuskan untuk
menggunakannya sebagai senjata improvisasi. Ia bergerak perlahan di antara
tumpukan peti dan peralatan, mencari Zayne. Sementara itu, Zara berlari menuju
panel utama mesin, mencoba mengakses sistemnya.
Zayne, yang masih bersembunyi, menyadari pergerakan Dimas.
"Oh, kau benar-benar berani," katanya dengan nada mengejek. "Kau
hanya tiruan dari Dimas yang sebenarnya, dan kau pikir bisa
menghentikanku?"
"Aku mungkin tiruan, tapi aku tidak akan membiarkanmu
menghancurkan dunia ini!" balas Dimas, sambil melangkah lebih dekat.
Zayne mengeluarkan senjata kecil dari ikat pinggangnya dan
menembak ke arah Dimas, tetapi tembakannya meleset. Dimas segera berlindung di
balik peti logam, lalu melompat ke arah Zayne dengan potongan logamnya. Mereka
bergulat di lantai, berusaha merebut senjata satu sama lain.
Sementara itu, Zara berhasil mengakses panel utama. Jarinya
dengan cepat menari di atas layar holografis, mencoba mematikan sistem.
"Hampir selesai," gumamnya, wajahnya dipenuhi konsentrasi.
Di sisi lain ruangan, Dimas berhasil merebut senjata dari
tangan Zayne, tetapi Zayne dengan cepat memukulnya hingga terjatuh. Dimas
meringis kesakitan, tetapi ia tetap berdiri. "Kau tidak akan menang,
Zayne."
Zayne tertawa kecil, tetapi tawanya terputus ketika suara
Zara terdengar di seluruh ruangan melalui pengeras suara. "Sistem berhasil
diakses! Mesin akan dimatikan dalam sepuluh detik!"
Zayne panik. Ia berlari menuju mesin, tetapi Dimas
menghadangnya. "Kau tidak akan ke mana-mana!" teriak Dimas, sambil
menahan tubuh Zayne.
Ketika hitungan mundur mencapai nol, mesin itu mati
sepenuhnya. Lampu-lampu padam, dan ruangan itu menjadi sunyi. Zayne menatap
mesin itu dengan ekspresi tidak percaya. "Tidak! Tidak mungkin!"
Dimas menjatuhkan Zayne ke lantai dengan dorongan terakhir,
lalu menoleh ke Zara yang berdiri di dekat panel. "Kau berhasil,"
katanya, terengah-engah.
Zara mengangguk, meskipun wajahnya masih serius. "Tapi
ini belum selesai. Kita harus membawa Zayne ke otoritas lokal. Dia tidak boleh
melarikan diri."
Zayne mencoba bangkit, tetapi Dimas dan Zara segera
menahannya. Dengan kekuatan yang tersisa, mereka membawa Zayne keluar dari
ruangan itu, meninggalkan mesin mati di belakang mereka.
Meskipun ancaman portal telah dihentikan, Dimas tahu bahwa
ini belumlah akhir. Dunia ini masih penuh dengan bahaya, tetapi untuk pertama
kalinya, ia merasa yakin bahwa ia memiliki peran untuk dimainkan—bukan hanya
untuk kembali ke dimensinya, tetapi juga untuk melindungi yang lain dari
kehancuran.
Bab 9: Pilihan yang Sulit
Udara dingin terasa menggigit ketika Dimas dan Zara menyeret
Zayne keluar dari bangunan tua itu. Meski Zayne masih meronta, kekuatannya jauh
berkurang setelah pertempuran sebelumnya. Zara telah memanggil otoritas lokal
melalui perangkat komunikasinya, dan lampu-lampu biru mulai terlihat di
kejauhan.
"Aku tidak akan melupakan ini!" teriak Zayne,
tatapannya penuh kebencian. "Kalian pikir kalian menang? Kalian hanya
menunda takdir!"
Dimas, yang masih memegangi lengannya, mendesah. "Ya,
ya, simpan saja dramamu itu untuk nanti," katanya. Ia tak bisa menahan
rasa lega karena mesin dimensi akhirnya berhasil dihentikan. Namun, rasa lega
itu bercampur dengan sesuatu yang lebih berat—kesadaran bahwa semua ini belum
selesai.
Ketika otoritas lokal tiba, Zayne dibawa pergi, meskipun ia
terus melontarkan ancaman. Seorang petugas yang mengenakan seragam canggih
berbicara singkat dengan Zara, lalu menatap Dimas dengan penuh rasa ingin tahu.
"Dia dari dimensi lain," Zara menjelaskan singkat.
"Dan kami harus mencari jalan untuk mengembalikannya."
Petugas itu hanya mengangguk, lalu pergi dengan Zayne dalam
tahanan mereka. Suasana di sekitar mereka kembali sunyi. Zara memandang Dimas,
wajahnya penuh kelelahan tetapi juga rasa lega yang samar.
"Kita berhasil," katanya pelan.
"Tapi apa benar ini akhirnya?" tanya Dimas. Ia
menatap Zara, lalu gedung di belakang mereka. "Zayne mungkin sudah
ditangkap, tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Teknologi
ini terlalu berbahaya."
Zara mengangguk. "Aku tahu. Itu sebabnya aku harus
menghentikan semuanya. Aku akan menghancurkan semua data penelitian tentang
mesin dimensi ini. Kita tidak bisa membiarkan teknologi ini jatuh ke tangan
yang salah lagi."
Dimas mengangguk setuju, tetapi ada sesuatu yang lebih besar
di pikirannya. "Dan bagaimana denganku? Bagaimana aku bisa kembali ke
dimensiku?"
Zara menatapnya dengan ekspresi campuran antara kesedihan
dan rasa bersalah. "Itu masalahnya, Dimas. Tanpa inti mesin yang stabil,
portal tidak bisa dibuka lagi. Versi dirimu di sini adalah satu-satunya orang
yang benar-benar mengerti cara membuat mesin itu bekerja... dan sekarang dia
sudah tidak ada."
Kata-kata itu menghantam Dimas seperti pukulan.
"Jadi... aku tidak bisa kembali?"
"Bukan berarti mustahil," kata Zara cepat-cepat,
berusaha menghiburnya. "Aku bisa mencoba membangun ulang mesin itu,
menggunakan sisa-sisa data yang aku miliki. Tapi itu akan memakan waktu, dan...
aku tidak yakin bisa melakukannya tanpa bantuan."
Dimas terdiam. Ia menatap langit malam yang dipenuhi cahaya
dari kendaraan melayang. Dunia ini, meskipun aneh dan asing, kini sudah mulai
terasa sedikit lebih akrab. Namun, pikirannya kembali ke dunianya—rumahnya,
kehidupannya sebagai penulis, dan orang-orang yang mungkin bertanya-tanya ke
mana ia menghilang.
"Berapa lama?" tanyanya akhirnya. "Berapa
lama kau pikir aku harus menunggu?"
Zara menggigit bibirnya. "Bisa berminggu-minggu,
mungkin berbulan-bulan... atau bahkan lebih lama. Aku tidak ingin memberimu
harapan palsu, Dimas."
Dimas mengangguk pelan, mencoba menerima kenyataan itu. Ia
tahu Zara berusaha keras untuk membantunya, tetapi ia juga sadar bahwa ini
bukan hanya tentang dirinya. Zara masih harus menghadapi konsekuensi dari semua
ini—menghentikan teknologi berbahaya, menghadapi ancaman dari kelompok-kelompok
lain, dan melindungi dunia ini dari kehancuran.
Mereka berdiri dalam keheningan sejenak sebelum Zara berkata
dengan suara pelan, "Kalau kau ingin tinggal di sini sementara, aku akan
membantumu menyesuaikan diri. Kau bisa membantuku menyelesaikan masalah ini.
Aku butuh seseorang yang bisa aku percaya."
Dimas menatapnya, matanya penuh emosi. Ia merasa terjebak di
antara dua dunia—satu yang ia tinggalkan, dan satu lagi yang kini menjadi
bagian dari hidupnya. Di satu sisi, ia ingin pulang, tetapi di sisi lain, ia
merasa bahwa ia memiliki tanggung jawab untuk membantu Zara.
"Aku..." Dimas menghela napas panjang, berusaha
mengumpulkan pikirannya. "Aku butuh waktu untuk memutuskan."
Zara mengangguk mengerti. "Aku akan ada di sini, apa
pun keputusanmu," katanya. Suaranya penuh kehangatan, tetapi ada jejak
rasa sedih yang tidak bisa ia sembunyikan.
Malam itu, Dimas tidur di tempat Zara, tetapi pikirannya
terus berputar. Ia memikirkan semua yang telah ia lalui, semua yang telah ia
pelajari, dan semua yang ia tinggalkan di dunianya. Di dalam dirinya, ia tahu
bahwa apa pun pilihan yang ia buat, akan ada konsekuensi besar yang harus ia
hadapi.
Saat matahari mulai terbit, Dimas sudah tahu bahwa
keputusannya tidak hanya akan menentukan nasib dirinya, tetapi juga masa depan
dua dunia yang kini saling terkait.
Bab 10: Jalan Pulang dan Awal Baru
Matahari pagi menyinari apartemen Zara, memantulkan cahaya
hangat melalui jendela besar yang menghadap ke kota futuristik. Dimas duduk di
sofa, matanya menatap jauh keluar, meskipun pikirannya tidak berada di tempat
itu. Semalam, ia telah memutuskan, tetapi mengatakannya dengan lantang adalah
hal lain.
Zara melangkah ke arahnya, membawa dua cangkir minuman yang
beraroma kuat. Ia duduk di kursi seberang, menatap Dimas dengan tatapan penuh
pengertian. "Kau sudah memutuskan, ya?"
Dimas mengangguk pelan. Ia menghela napas panjang, berusaha
menata pikirannya. "Aku harus kembali. Dunia ini... menakjubkan, tapi itu
bukan duniaku. Aku tahu ada yang menungguku di sana—mungkin bukan seseorang
secara spesifik, tapi hidupku ada di sana. Aku tidak bisa
meninggalkannya."
Zara tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan yang sulit ia
sembunyikan. "Aku mengerti, Dimas. Aku tahu itu tidak akan mudah untukmu
di sini. Dan aku juga tahu kau tidak sepenuhnya berasal dari sini, meskipun aku
berharap..." Ia menghentikan kalimatnya, membiarkan udara mengisi
kekosongan di antara mereka.
Dimas menatapnya, merasakan kehangatan yang aneh di dadanya.
"Zara, aku tidak akan melupakan apa yang kau lakukan untukku. Kau
memberiku harapan, ketika aku merasa tersesat. Kau memberiku alasan untuk
berjuang. Terima kasih."
Zara mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan kau, Dimas.
Kau menunjukkan padaku bahwa bahkan di tengah kekacauan ini, kita masih bisa
menemukan keberanian. Aku tidak akan pernah melupakanmu."
Keheningan itu terasa seperti selimut hangat, menutupi
mereka dengan kesadaran akan kedalaman hubungan yang telah mereka bangun dalam
waktu yang singkat. Akhirnya, Zara berdiri. "Kalau begitu, mari kita
mulai. Aku punya rencana."
Portal Terakhir
Di laboratorium Zara, suasana tegang menyelimuti ruangan.
Mesin dimensi besar yang tadinya hancur sebagian kini berdiri kembali, meskipun
dengan bentuk yang lebih sederhana dan penuh improvisasi. Kabel-kabel bersinar
membentang di lantai, sementara panel kontrolnya penuh dengan indikator yang
terus berkedip.
"Kita hanya punya satu kesempatan," kata Zara,
suaranya serius. "Aku berhasil membuat prototipe inti sementara. Itu akan
cukup untuk membuka portal ke dimensimu, tapi hanya untuk beberapa menit.
Setelah itu, inti ini akan meleleh, dan tidak akan ada cara untuk membuat
portal lagi."
Dimas menelan ludah, menyadari beratnya keputusan ini.
"Jadi, kalau aku tidak masuk tepat waktu, aku akan terjebak di sini
selamanya?"
Zara mengangguk. "Ya. Tapi aku percaya padamu."
Dimas menatap Zara, menyadari bahwa ini adalah perpisahan
mereka. "Aku... aku tidak tahu bagaimana mengucapkan selamat
tinggal."
"Kau tidak perlu," jawab Zara lembut. Ia mendekat,
menatap Dimas dalam-dalam. "Kau hanya perlu pergi dan menjalani hidupmu.
Itu sudah cukup untukku."
Tanpa berpikir panjang, Dimas memeluknya. Pelukan itu
singkat, tetapi penuh makna. Ketika mereka berpisah, Zara mengusap air matanya
dan tersenyum. "Ayo. Mesin ini tidak akan menunggu selamanya."
Melintasi Dimensi
Ketika mesin dinyalakan, suara dengung memenuhi ruangan.
Portal bercahaya mulai terbentuk di tengah perangkat besar itu, memancarkan
warna biru yang berputar seperti pusaran air. Udara di ruangan terasa berat,
dan lampu-lampu di panel mulai berkedip liar.
"Portalnya stabil," kata Zara, memeriksa
indikator. "Kau punya waktu kurang dari tiga menit."
Dimas mengangguk, berdiri di depan portal. Ia berbalik untuk
melihat Zara sekali lagi. "Zara, terima kasih untuk semuanya. Aku harap...
suatu saat kita bisa bertemu lagi."
Zara tersenyum kecil, meskipun air matanya mulai mengalir.
"Selamat tinggal, Dimas."
Dengan langkah tegas, Dimas melangkah masuk ke portal.
Cahaya biru mengelilinginya, dan ia merasakan tubuhnya ditarik dengan cara yang
aneh. Dunia di sekitarnya berubah menjadi kilatan cahaya, seperti sedang
bergerak melalui terowongan waktu.
Lalu, semuanya gelap.
Kembali ke Dunia Asal
Dimas terbangun di lantai apartemennya. Ia mengenali aroma
familiar dari tempat itu, suara lalu lintas yang sibuk di luar jendela, dan
cahaya hangat matahari yang menerobos melalui tirai. Ia bangkit perlahan,
merasakan kelegaan bercampur kesedihan.
Di meja kerjanya, laptopnya masih terbuka. Halaman terakhir
novel yang ia tulis tampak kosong, seolah menunggu cerita baru.
Dimas menatap layar itu dan tersenyum kecil. Ia tahu apa
yang harus ia lakukan. Dengan jemarinya yang gemetar, ia mulai mengetik:
"Ada banyak dunia di luar sana, tetapi terkadang
kita harus kehilangan sesuatu untuk menemukan arti sebenarnya dari rumah. Dan
di antara semua kekacauan, cinta selalu menjadi jembatan yang menghubungkan
kita."
Epilog
Di dimensi lain, Zara berdiri di laboratoriumnya yang kini
sunyi. Mesin itu telah padam, dan inti sementara telah meleleh seperti yang ia
duga. Namun, ia tidak merasa sepenuhnya kehilangan. Ia memandang ke luar
jendela, ke kota yang penuh cahaya.
"Aku percaya, Dimas," katanya pelan, lebih kepada
dirinya sendiri. "Kita akan bertemu lagi. Entah bagaimana caranya."
Dan di dua dimensi yang berbeda, dua orang yang terhubung
oleh cinta dan keberanian mereka, melangkah maju ke masa depan dengan kenangan
yang abadi.
Baca juga novel
pendek Kota di Balik Langit yang bercerita tentang Indonesia tahun 2.300,
ketika Bumi telah dipenuhi megakota vertikal terapung.
