Novel Pendek: Kota di Balik Langit

Bab 1: Awal dari Atas

Langit di Jakarta Zenith selalu cerah. Awan putih seperti kapas melayang tenang, menutupi apa yang ada di bawah sana—Bumi yang telah lama ditinggalkan oleh sebagian besar manusia. Dari ketinggian ribuan meter, Aliyah memandang ke luar jendela kecil ruang kendali sektor bawah. Pemandangan itu selalu membuatnya merasa terjebak di antara dua dunia: langit yang biru dan tanah yang sudah terlupakan.

novel pendek kota di balik langit


"Aliyah! Fokus sedikit, ini bukan waktu untuk melamun." Suara Kevin, sahabat sekaligus rekan kerjanya, membuyarkan pikiran Aliyah.

Aliyah mendesah. "Aku hanya sedang berpikir, Kev. Kita sudah lama di sini, tapi rasanya ada yang... nggak beres dengan kota ini."

Kevin mengangkat alis sambil memeriksa panel kendali. "Kota ini sudah cukup ajaib. Terapung di atas udara, dijalankan dengan energi bersih. Apa lagi yang kamu cari?"

Aliyah tidak menjawab. Bukan pertama kalinya dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan di balik keindahan Jakarta Zenith. Namun, sebelum dia bisa menjelaskan lebih jauh, alarm di panel mereka berbunyi.

"Anomali energi di sektor bawah," kata Kevin sambil membaca data di layar. "Listriknya turun drastis. Kalau kita nggak perbaiki segera, satu sektor bisa mati total."

Aliyah segera mengambil peralatan dan mengangguk. "Ayo turun ke bawah."


Sektor bawah kota terapung adalah tempat yang jarang dikunjungi. Itu adalah jaringan mesin, pipa, dan generator yang menjaga kota tetap terapung. Kebanyakan penduduk tidak peduli pada bagian ini. Mereka hanya menikmati kenyamanan di sektor atas: taman, gedung-gedung modern, dan langit buatan yang terlihat sempurna.

Aliyah dan Kevin turun melalui lift sempit bersama Satria, seorang peneliti muda yang selalu ingin tahu. Satria baru saja bergabung dengan tim mereka beberapa bulan lalu, tetapi dia sudah cukup akrab dengan pekerjaan mereka.

"Jadi, anomali ini sering terjadi?" tanya Satria, memecah kesunyian.

"Jarang," jawab Aliyah sambil memeriksa tablet di tangannya. "Tapi kali ini aneh. Lokasinya di tempat yang seharusnya nggak ada perangkat apapun."

Lift berhenti dengan bunyi klik, dan pintu terbuka. Mereka bertiga disambut oleh pemandangan labirin mesin-mesin besar yang berdengung pelan. Suara mekanis itu seperti napas dari kota terapung, sebuah sistem yang nyaris tak pernah berhenti bekerja.

"Di sini," kata Kevin, menunjuk ke sebuah pipa besar yang terhubung ke generator. Ada alat kecil berbentuk seperti prisma logam menempel di salah satu sambungan. Alat itu tampak asing, jelas bukan bagian dari sistem kota.

"Apa itu?" Satria mendekat dengan wajah penasaran.

Aliyah mengamati alat itu dengan hati-hati. Warnanya perak gelap, dengan pola-pola aneh seperti ukiran, dan di tengahnya ada lampu kecil yang berkedip. Dia menyentuhnya, tetapi alat itu tiba-tiba menyala lebih terang.

"Jangan disentuh sembarangan!" Kevin menarik tangan Aliyah. Namun, saat itu juga, suara dengungan keras memenuhi ruangan.

Lampu di sekitar mereka berkedip, dan generator utama tiba-tiba mati. Kota terapung sedikit berguncang, membuat mereka bertiga hampir terjatuh.

"Aliyah, apa yang kamu lakukan?!" Kevin panik.

"Bukan aku! Alat ini—aku nggak tahu apa ini!" jawab Aliyah.

Satria berlutut untuk melihat lebih dekat alat itu. "Ini bukan teknologi kita," katanya pelan, suaranya penuh kekaguman. "Aku pernah baca tentang penemuan seperti ini di arsip lama, tapi... benda ini sepertinya bukan dari Bumi."

Aliyah dan Kevin saling berpandangan, tetapi sebelum mereka bisa berkata apa-apa, suara langkah kaki berat bergema dari arah lorong. Sekelompok petugas keamanan kota, lengkap dengan seragam hitam dan senjata, muncul.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya salah satu dari mereka dengan nada tegas.

Aliyah mencoba menjelaskan, tetapi salah satu petugas menghentikannya. "Kalian tidak berwenang menyentuh benda ini. Pergi dari sini sekarang."

Satria mencoba memprotes. "Tapi—"

"Diam," potong petugas itu, suaranya dingin. "Kalian sudah melanggar batasan pekerjaan kalian. Jangan sebutkan apa pun tentang ini. Kalian paham?"

Aliyah merasakan sesuatu yang aneh di dada. Ada yang tidak beres. Para petugas membawa alat itu pergi tanpa penjelasan lebih lanjut, meninggalkan mereka bertiga dalam kebingungan.

Saat kembali ke atas, Aliyah hanya bisa berpikir satu hal: ada sesuatu yang disembunyikan oleh kota ini, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

 

Bab 2: Portal Tersembunyi

Malam di Jakarta Zenith biasanya tenang. Langit buatan di atas kota terapung selalu dihiasi dengan bintang-bintang yang diatur oleh sistem otomatis. Tapi malam itu, Aliyah tidak bisa tidur. Bayangan alat prisma logam itu terus menghantui pikirannya.

"Aku harus tahu lebih banyak," gumamnya pada diri sendiri sambil menatap tablet yang tergeletak di mejanya.

Dia membuka kembali data yang sempat dia simpan dari anomali energi di sektor bawah. Meskipun terbatas, ada sesuatu yang menarik perhatiannya—frekuensi gelombang energi dari alat itu sama sekali tidak seperti perangkat yang digunakan kota. Gelombang itu tampak asing, bahkan tidak terdeteksi oleh sensor kota.


Keesokan harinya, Aliyah memanggil Kevin dan Satria ke bengkel pribadinya. Bengkel itu kecil, dipenuhi dengan alat-alat perbaikan, suku cadang, dan beberapa perangkat rakitan miliknya. Satria masuk dengan wajah penuh rasa ingin tahu, sementara Kevin tampak cemas.

"Aliyah, ini gila," kata Kevin langsung. "Kamu tahu kita bisa dapat masalah besar kalau menyelidiki ini lebih jauh."

"Masalah sudah datang ke kita," jawab Aliyah sambil menunjukkan layar tabletnya. "Lihat ini. Alat itu memancarkan gelombang yang tidak terdaftar di sistem kota. Kalau kita nggak cari tahu, siapa yang akan melakukannya?"

Satria memandang data itu dengan mata berbinar. "Ini... ini seperti tanda tangan energi kuantum. Aku pernah membaca tentang hal ini di arsip lama, tapi aku nggak pernah menyangka bisa melihatnya langsung."

Kevin menghela napas. "Baiklah. Kalau kita akan menyelidiki ini, apa rencanamu?"

Aliyah tersenyum tipis. "Kita harus kembali ke sektor bawah malam ini. Aku yakin alat itu meninggalkan jejak, dan aku tahu cara melacaknya."


Malam itu, mereka bertiga menyelinap ke sektor bawah. Aliyah membawa perangkat pelacak yang dia modifikasi sendiri. Perangkat itu mampu mendeteksi gelombang energi dari alat yang mereka temukan sebelumnya.

"Semoga saja ini nggak membuat kita ditangkap," gumam Kevin sambil mengikuti Aliyah dan Satria melalui lorong-lorong gelap sektor bawah.

Perangkat pelacak mulai berbunyi pelan, dan mereka mengikuti sinyal itu ke sebuah ruangan tua yang tampaknya sudah lama tidak digunakan. Di tengah ruangan, mereka menemukan tanda-tanda bahwa alat prisma itu pernah ada di sana. Tetapi yang lebih mengejutkan adalah temuan lain: sebuah panel besar yang tertanam di lantai, dengan pola ukiran yang mirip dengan alat itu.

"Apa ini?" tanya Satria sambil berlutut untuk melihat lebih dekat. "Sepertinya semacam terminal energi."

Aliyah memindai panel itu dengan perangkatnya. "Ini bukan bagian dari desain kota. Ini... seperti portal."

Sebelum ada yang sempat merespons, panel itu tiba-tiba menyala, memancarkan cahaya biru terang. Cahaya itu begitu kuat sehingga mereka harus menutup mata. Ketika mereka membuka mata lagi, ruangan di sekitar mereka telah berubah.


Mereka sekarang berada di tempat yang sama sekali berbeda. Langit di atas mereka berwarna ungu tua, dihiasi dengan dua matahari yang tampak kecil di cakrawala. Di sekitar mereka terdapat struktur seperti bangunan, tetapi bentuknya organik, seolah-olah terbuat dari materi hidup.

"Kita... di mana?" bisik Kevin, suaranya gemetar.

Aliyah hanya bisa terdiam. Dia juga tidak tahu harus berkata apa. Satria, di sisi lain, tampak terpesona. "Ini dimensi lain," katanya pelan. "Kita telah melewati portal ke dunia paralel."

Sebelum mereka bisa menjelajahi lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang mereka. Mereka bertiga berbalik dan melihat sosok-sosok manusia aneh mendekat. Wajah mereka mirip manusia, tetapi kulit mereka bersinar samar seperti logam. Mereka membawa perangkat yang tampak seperti senjata.

"Jangan bergerak!" salah satu dari mereka berbicara, dalam bahasa yang tidak mereka mengerti tetapi entah bagaimana bisa dipahami.

Aliyah, Kevin, dan Satria mengangkat tangan mereka. Mereka tahu mereka telah masuk ke dunia yang sama sekali bukan milik mereka—dan itu mungkin adalah kesalahan besar.

 

Bab 3: Dunia di Luar Nalar

Aliyah, Kevin, dan Satria berdiri terpaku, dikelilingi oleh makhluk-makhluk aneh yang mirip manusia. Kulit mereka memancarkan kilauan samar, seperti campuran logam dan cahaya. Senjata yang mereka pegang tampak futuristik, berbentuk ramping dengan cahaya biru di sepanjang sisinya. Meski makhluk-makhluk itu berbicara dalam bahasa yang asing, anehnya, mereka bisa mengerti maksudnya.

"Kalian bukan dari sini," salah satu makhluk itu berbicara. Suaranya datar, tetapi tajam. "Siapa kalian, dan bagaimana kalian bisa melewati portal?"

Kevin membuka mulut, tapi hanya udara yang keluar. Akhirnya, Aliyah memberanikan diri. "Kami... tidak sengaja menemukan portal itu. Kami hanya ingin tahu apa yang ada di sini."

Makhluk itu mendekat, mengamati mereka dengan tatapan dingin. "Portal itu seharusnya tertutup. Tidak ada yang diizinkan melewati tanpa persetujuan Dewan Kuantum."

"Dewan Kuantum?" bisik Satria, penuh rasa ingin tahu.

Sebelum ada kesempatan untuk bertanya lebih jauh, makhluk itu memberi isyarat kepada kelompoknya. "Tangkap mereka. Mereka harus diinterogasi."


Ketiganya dibawa ke sebuah bangunan besar yang tampak seperti gabungan antara teknologi canggih dan elemen alami. Struktur itu seolah-olah hidup, dengan dinding yang berdenyut perlahan seperti nadi. Mereka dimasukkan ke dalam sebuah ruangan dengan dinding transparan, seperti penjara, tetapi tidak ada jeruji.

"Aliyah, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Kevin panik. "Kita bahkan nggak tahu apa yang mereka inginkan."

Aliyah menggeleng. "Aku nggak tahu, Kev. Tapi kita harus tetap tenang. Mereka belum melakukan apa-apa, kan?"

Satria, yang tampak lebih tenang, justru terlihat sibuk mengamati sekeliling ruangan. "Ini luar biasa. Teknologi mereka seperti perpaduan antara biologi dan mesin. Aku nggak pernah membayangkan ada sesuatu seperti ini."

Aliyah menatap Satria dengan cemas. "Kamu nggak khawatir sama sekali? Kita nggak tahu apa yang akan mereka lakukan."

"Kalau kita ingin keluar dari sini, kita harus belajar sebanyak mungkin tentang mereka," jawab Satria tenang. "Setidaknya kita punya sedikit informasi."


Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka, dan seorang makhluk lain masuk. Dia tampak berbeda dari yang lain—tubuhnya lebih tinggi, dengan pola bercahaya yang lebih kompleks di kulitnya. Dia mengenakan jubah hitam yang mengalir seperti cairan.

"Aku adalah Tarian, salah satu ilmuwan Dewan Kuantum," katanya, suaranya lembut tapi penuh wibawa. "Kalian telah melanggar batas antar-dimensi. Apa alasan kalian berada di sini?"

Aliyah mencoba menjelaskan. "Kami menemukan alat yang memancarkan energi aneh di kota kami, dan itu membuka portal ke sini. Kami tidak bermaksud mengganggu."

Tarian memandang mereka dengan tatapan tajam. "Kota kalian menggunakan teknologi yang bukan milik kalian. Teknologi yang diambil dari dimensi ini bertahun-tahun lalu."

Kevin terkejut. "Apa maksudmu? Kota terapung kami dirancang oleh para ilmuwan terbaik dari Bumi."

"Itu yang mereka ingin kalian percayai," jawab Tarian. "Kota-kota terapung di dunia kalian menggunakan inti energi yang dicuri dari dimensi ini. Penggunaan teknologi itu telah menyebabkan ketidakseimbangan di kedua dunia."

Aliyah tercengang. "Tunggu, jadi kota kami—Jakarta Zenith—adalah penyebab masalah di sini?"

Tarian mengangguk. "Bukan hanya kota kalian, tetapi semua kota terapung di dunia kalian. Teknologi itu dirancang untuk menyerap energi dari dimensi ini, menghancurkan keseimbangan alam kami. Dan sekarang, ketidakseimbangan itu mulai merusak dimensi kalian juga."


Aliyah, Kevin, dan Satria saling berpandangan, mencoba mencerna informasi itu. Jika Tarian benar, maka seluruh sistem yang menopang kehidupan mereka di Jakarta Zenith adalah ancaman bagi dunia lain.

"Apa yang bisa kami lakukan?" tanya Aliyah akhirnya. "Kami hanya teknisi dan peneliti. Kami tidak punya kekuatan untuk mengubah apa pun."

Tarian mendekat, wajahnya serius. "Kalian datang ke sini bukan kebetulan. Portal itu memilih kalian. Aku percaya kalian bisa membantu kami menghentikan kehancuran ini, tetapi itu berarti kalian harus membuat keputusan besar. Jika kalian setuju, kami akan memberi kalian akses ke teknologi yang bisa mengembalikan keseimbangan. Tapi risikonya besar—kalian mungkin tidak bisa kembali ke dunia kalian."

Kevin terkejut. "Tunggu, kami baru saja tahu tentang semua ini, dan sekarang kami harus membuat keputusan yang bisa menghancurkan hidup kami?"

Satria, yang sejak tadi diam, angkat bicara. "Aku setuju. Kalau apa yang mereka katakan benar, kita nggak bisa hanya diam dan membiarkan ini terus terjadi."

Aliyah merasa jantungnya berdetak kencang. Dia tahu ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah. Tapi satu hal yang jelas: mereka tidak bisa mengabaikan apa yang baru saja mereka ketahui.

"Baik," kata Aliyah akhirnya. "Kami akan membantu. Tapi kalian harus memberitahu kami semua yang perlu kami tahu."

Tarian tersenyum tipis. "Baiklah. Maka perjalanan kalian baru saja dimulai."

 

Bab 4: Tawanan Tanpa Jalan Keluar

Aliyah, Kevin, dan Satria duduk dalam diam setelah pertemuan dengan Tarian. Ruangan tempat mereka ditahan kini tampak lebih seperti laboratorium daripada penjara. Dindingnya dipenuhi dengan layar holografik yang menampilkan data energi, diagram teknologi, dan pola dimensi yang rumit. Meski mereka telah setuju untuk membantu, mereka masih merasa seperti tawanan.

"Aku nggak percaya ini," kata Kevin, akhirnya memecah keheningan. "Selama ini kita hidup di atas kota terapung yang mencuri teknologi dari dimensi lain? Ini gila."

"Aku percaya," kata Satria. Matanya berbinar saat memandang layar holografik. "Teknologi mereka jauh lebih maju daripada milik kita. Kalau benar kita mengambil sesuatu dari dimensi ini, itu menjelaskan kenapa kota terapung kita bisa bertahan."

Aliyah, yang sejak tadi terdiam, akhirnya angkat suara. "Tapi kenapa nggak ada yang tahu soal ini? Kalau teknologi itu benar-benar dicuri, kenapa pemerintah kota kita tidak memberi tahu siapa pun?"

Satria menatapnya tajam. "Mungkin karena mereka nggak peduli. Atau mungkin mereka tahu, tapi mereka lebih peduli dengan kekuasaan daripada akibatnya."

Sebelum diskusi mereka berlanjut, Tarian masuk kembali ke ruangan, kali ini membawa perangkat kecil berbentuk lingkaran dengan cahaya biru di tengahnya. "Jika kalian serius ingin membantu, kalian harus memahami apa yang sedang kita lawan."

Dia meletakkan perangkat itu di atas meja, dan cahaya biru di tengahnya memproyeksikan sebuah hologram besar. Proyeksi itu menunjukkan dua dunia: satu adalah dimensi mereka sendiri, dengan bangunan organik dan aliran energi yang stabil. Yang lainnya adalah dimensi Bumi, dengan kota terapung yang menyerap energi dari dunia lain melalui saluran energi yang tidak terlihat.

"Saluran ini," kata Tarian sambil menunjuk ke hologram, "mengalirkan energi inti dari dimensi kami ke kota-kota terapung kalian. Jika ini terus berlanjut, inti dunia kami akan runtuh, dan seluruh dimensi ini akan hancur."

Aliyah memperhatikan dengan saksama. "Tapi kalau kita memutus saluran itu, apa yang akan terjadi pada kota terapung kami?"

Tarian menatapnya dengan tatapan berat. "Kota-kota itu akan kehilangan sumber energinya dan jatuh."

Kevin melompat dari tempat duduknya. "Tunggu, jadi solusi kalian adalah menghancurkan kota kami? Ada jutaan orang yang tinggal di sana!"

Tarian tetap tenang. "Itulah dilema yang kalian hadapi. Kita tidak bisa menyelamatkan kedua dunia. Kalian harus memutuskan mana yang lebih penting."


Ketegangan semakin memuncak. Ketiganya dibawa ke ruang pengamatan besar di mana mereka bisa melihat langsung inti energi dimensi tersebut. Itu adalah bola raksasa bercahaya, berdenyut seperti jantung, dikelilingi oleh cincin-cincin logam yang terus berputar. Setiap denyutannya menghasilkan gelombang energi yang terasa hingga ke lantai tempat mereka berdiri.

"Inti ini adalah sumber kehidupan bagi dimensi kami," kata Tarian. "Tapi sekarang, energinya semakin lemah karena terus disedot oleh dunia kalian."

Aliyah mendekat ke kaca pengamat, mencoba memahami skala kehancuran yang dihadapi dunia ini. "Apakah ada cara lain? Cara yang bisa menyelamatkan kedua dunia?"

Tarian menggeleng pelan. "Kami telah mencoba selama bertahun-tahun. Namun, tanpa menghentikan aliran energi, tidak ada jalan lain."


Malam itu, ketiganya dikurung kembali di ruangan mereka. Kevin mondar-mandir dengan gelisah, sementara Satria sibuk memeriksa layar holografik, mencoba mempelajari lebih banyak tentang teknologi dimensi tersebut. Aliyah hanya duduk diam, pikirannya sibuk mencari solusi.

"Aku nggak bisa memilih antara dua dunia," kata Kevin akhirnya. "Aku nggak mau menjadi orang yang menghancurkan rumah kita sendiri."

"Kalau kita nggak melakukan apa-apa, dunia ini akan hancur duluan," kata Satria. "Dan setelah itu, kota terapung kita juga pasti akan jatuh karena kehilangan sumber energi."

Aliyah memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. "Ada sesuatu yang nggak masuk akal," katanya akhirnya. "Kenapa alat prisma itu ada di sektor bawah kota kita? Kalau kota kita tahu soal teknologi ini, kenapa mereka nggak menyembunyikannya lebih baik?"

Satria mengangguk. "Itu juga yang aku pikirkan. Mungkin ada pihak lain yang ingin kita menemukan alat itu."

Kevin menatap mereka berdua dengan bingung. "Pihak lain? Maksudmu apa?"

"Bayangkan," jawab Satria. "Kalau kota terapung memang tahu mereka mencuri teknologi ini, mereka pasti nggak mau ada orang lain yang tahu. Tapi alat itu ditemukan di tempat terbuka, tanpa pengawasan ketat. Rasanya seperti... jebakan."

Aliyah mengangguk pelan. "Atau seseorang di kota terapung kita ingin kita menemukan alat itu. Mungkin ada lebih banyak rahasia yang belum kita tahu."


Keesokan harinya, mereka dibawa kembali ke ruang pengamatan, di mana Tarian menunggu dengan kelompok ilmuwan lainnya. Kali ini, mereka dihadapkan pada sebuah perangkat besar yang tampak seperti mesin. Tarian menjelaskan bahwa mesin itu adalah satu-satunya cara untuk memutuskan aliran energi antara dua dimensi.

"Jika kalian benar-benar ingin membantu, kalian harus menggunakan ini," kata Tarian. "Tapi begitu kalian mengaktifkannya, tidak akan ada jalan kembali."

Aliyah menatap mesin itu dengan ragu. Dia tahu bahwa keputusan yang mereka buat di sini akan menentukan nasib kedua dunia. Namun, dalam hatinya, dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang masih belum terungkap.

"Aku perlu waktu untuk berpikir," katanya akhirnya.

Tarian mengangguk. "Kalian punya waktu, tapi tidak banyak. Inti energi kami semakin melemah setiap detiknya."

Aliyah, Kevin, dan Satria kembali ke ruangan mereka, dengan pertanyaan yang menggantung di benak mereka. Bisakah mereka benar-benar memilih antara dua dunia? Atau ada cara lain yang belum mereka temukan?

 

Bab 5: Kesepakatan Berbahaya

Ketegangan terus terasa di udara. Aliyah, Kevin, dan Satria kembali ke ruangan mereka setelah diskusi terakhir dengan Tarian. Setiap langkah terasa berat, seolah beban dua dunia kini berada di pundak mereka. Mereka tahu bahwa waktu semakin habis, tetapi mereka juga merasa bahwa ada sesuatu yang belum sepenuhnya mereka pahami.

"Aku nggak bisa berhenti berpikir tentang alat prisma itu," kata Aliyah sambil menatap langit ungu dari jendela kecil di ruangan mereka. "Kenapa alat itu ada di kota terapung kita? Rasanya seperti... sengaja ditinggalkan untuk ditemukan."

Kevin mengangguk, duduk di sudut ruangan. "Aku juga mikir gitu. Kalau pemerintah kota kita memang tahu teknologi ini berbahaya, kenapa mereka nggak menyembunyikannya dengan lebih baik?"

Satria, yang sibuk memeriksa layar holografik yang mereka curi dari laboratorium Tarian, akhirnya angkat bicara. "Mungkin ada pihak di kota kita yang ingin menghentikan ini semua. Seseorang yang tahu bahwa teknologi ini berbahaya dan sengaja membuka jalan untuk kita."

Aliyah mendekati layar holografik. "Apa yang kamu temukan?"

Satria menunjuk pada diagram energi yang terpampang di layar. "Aku melihat pola energi dari alat prisma itu. Polanya cocok dengan inti energi dimensi ini, tapi ada sesuatu yang aneh. Energi yang diambil dari dimensi ini nggak langsung mengalir ke kota kita. Ada perantara."

"Perantara?" tanya Kevin, bingung.

Satria mengangguk. "Sepertinya energi itu dialihkan ke suatu tempat sebelum sampai ke kota terapung kita. Aku rasa ada pihak ketiga yang terlibat, seseorang yang mungkin memanipulasi kedua dimensi ini untuk tujuan mereka sendiri."

Aliyah mengerutkan dahi. "Kalau begitu, kita nggak cuma melawan waktu. Kita juga melawan orang-orang yang mungkin punya rencana tersembunyi."


Malam itu, Aliyah memutuskan untuk mengambil langkah berani. Dia menyelinap keluar dari ruangan mereka, meninggalkan Kevin dan Satria yang masih sibuk berdiskusi. Dengan hati-hati, dia berjalan menuju laboratorium Tarian, di mana mesin untuk memutus aliran energi disimpan.

Tarian berdiri di sana, memeriksa data di layar holografik raksasa. Dia tampak tenang, tetapi Aliyah bisa melihat garis kelelahan di wajahnya.

"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," kata Aliyah akhirnya.

Tarian menoleh. "Apa yang membuatmu datang ke sini sendirian?"

"Aku butuh jawaban," kata Aliyah tegas. "Apakah kalian tahu ada pihak lain yang menggunakan energi ini selain kota terapung kami?"

Tarian terdiam sejenak. Dia menatap Aliyah dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kami memiliki kecurigaan, tetapi tidak ada bukti konkret. Kenapa kamu menanyakannya?"

Aliyah maju selangkah. "Karena aku rasa ada seseorang yang memanipulasi semuanya. Kota terapung kami, kalian, bahkan teknologi ini. Kalau kami hanya memutus aliran energi tanpa tahu siapa yang berada di balik semua ini, maka kita mungkin hanya menyelesaikan separuh masalah."

Tarian menghela napas. "Kamu lebih bijak daripada yang aku duga. Benar, kami mencurigai bahwa ada kekuatan lain yang memanfaatkan energi ini untuk keuntungan pribadi. Tapi sumbernya terlalu tersembunyi, bahkan untuk kami."

Aliyah menatap mesin pemutus energi yang berdiri megah di tengah ruangan. "Kalau begitu, kita perlu menemukan sumber itu sebelum kita membuat keputusan besar."


Sementara itu, Kevin dan Satria mulai merasa gelisah ketika menyadari Aliyah tidak ada di ruangan mereka. "Dia pergi ke mana?" tanya Kevin, mondar-mandir.

"Dia pasti pergi mencari jawaban sendiri," jawab Satria sambil mengemas perangkat yang telah dia rakit. "Kita harus menyusulnya."

Keduanya segera keluar, menyusuri lorong menuju laboratorium. Ketika mereka sampai, mereka menemukan Aliyah sedang berdiskusi dengan Tarian.

"Kamu nggak bisa pergi sendirian, Aliyah!" kata Kevin sambil mendekat. "Kita satu tim, ingat?"

Aliyah tersenyum tipis. "Aku tahu. Tapi aku butuh jawaban, dan Tarian punya sebagian dari itu."

Satria melihat ke arah Tarian. "Kalau kalian sudah tahu ada pihak ketiga, kenapa kalian nggak mengejarnya?"

Tarian tampak ragu. "Karena kami tidak punya akses ke dimensi kalian. Portal yang kalian gunakan adalah satu-satunya jalan, dan itu hanya terbuka karena alat prisma yang kalian bawa. Tanpa itu, kami tidak bisa menjelajah ke dunia kalian."

Aliyah terdiam, lalu menatap Satria dan Kevin. "Kalau begitu, kita harus kembali ke kota terapung. Kita harus mencari tahu siapa yang ada di balik semua ini."

Kevin tampak terkejut. "Kembali? Setelah semua yang kita alami di sini? Itu gila!"

"Tapi itu satu-satunya cara," jawab Satria. "Kita harus melacak siapa yang menggunakan energi ini di dunia kita. Kalau kita bisa menghentikan mereka, mungkin kita bisa menemukan cara untuk menyelamatkan kedua dimensi."

Tarian menatap mereka bertiga dengan serius. "Keputusan ini berisiko. Jika kalian kembali, kalian mungkin tidak akan bisa kembali ke sini lagi. Kalian harus yakin ini yang ingin kalian lakukan."

Aliyah mengangguk. "Kami yakin. Ini satu-satunya cara."


Tarian mengantar mereka ke portal yang pernah membawa mereka ke dunia ini. Sebelum mereka pergi, dia memberikan perangkat kecil yang bisa membantu mereka melacak energi yang dicuri. "Gunakan ini untuk menemukan sumbernya. Dan hati-hati, dunia kalian lebih berbahaya daripada yang kalian kira."

Aliyah, Kevin, dan Satria melangkah ke dalam portal, dengan tekad untuk mencari kebenaran di balik misteri energi yang menghubungkan dua dunia. Saat cahaya biru mengelilingi mereka, mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.

 

Bab 6: Kembali ke Zenith

Kilatan cahaya biru memudar, dan mereka bertiga berdiri di lorong sempit sektor bawah Jakarta Zenith. Suara familiar dari mesin-mesin kota terapung menyambut mereka kembali, tetapi kali ini semuanya terasa berbeda. Mereka bukan lagi teknisi biasa; mereka kini membawa misi besar yang dapat menentukan nasib dua dunia.

Aliyah memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan. "Kita harus berhati-hati. Kalau benar ada pihak lain yang terlibat, mereka pasti nggak akan senang melihat kita kembali."

Kevin mengangguk. "Kita mulai dari mana? Kota ini besar, dan mereka bisa bersembunyi di mana saja."

Satria mengeluarkan perangkat pelacak yang diberikan oleh Tarian. Cahaya biru kecil di tengah perangkat itu menyala, menunjukkan peta holografik dari Jakarta Zenith. "Kita bisa menggunakan ini untuk melacak energi dari alat prisma. Kalau ada saluran lain yang mengalirkan energi ke pihak ketiga, perangkat ini akan menemukannya."

Aliyah melihat ke layar. "Baiklah, kita mulai dari sektor energi utama. Itu pusat semua distribusi energi di kota ini. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, kita akan menemukannya di sana."


Lorong Gelap Sektor Energi

Mereka menyelinap melalui lorong-lorong yang jarang dilalui, menghindari petugas keamanan kota. Sektor energi utama adalah inti dari Jakarta Zenith, tempat semua generator dan saluran energi terkoneksi. Mesin-mesin besar berdengung pelan, memberikan daya untuk menopang kota terapung.

Perangkat pelacak Satria mulai bergetar dan mengeluarkan suara pelan. "Ada sesuatu di dekat sini," katanya sambil menunjuk ke arah salah satu dinding.

Aliyah memeriksa dinding itu dengan hati-hati. Setelah menggeser panel logam, mereka menemukan sebuah konsol tersembunyi yang tidak terdaftar dalam peta resmi kota. "Ini pasti buatan pihak ketiga," katanya.

Satria mulai memeriksa konsol itu dengan alatnya. "Ini adalah terminal distribusi energi rahasia. Energi dari dimensi lain dialirkan melalui sini sebelum didistribusikan ke kota."

"Tapi ke mana sisanya pergi?" tanya Kevin.

Satria mengetik cepat pada alatnya. "Tunggu sebentar... Ada jalur tambahan. Energi ini nggak hanya mengalir ke kota kita. Sebagian besar dialihkan ke koordinat lain di luar kota terapung."

Aliyah mengerutkan dahi. "Jadi energi ini digunakan untuk sesuatu di luar kota? Tapi apa?"


Jejak Menuju Kebenaran

Mereka melanjutkan pelacakan, mengikuti jalur energi yang ditunjukkan oleh perangkat. Jejak itu membawa mereka ke bagian paling bawah dari Jakarta Zenith, area yang bahkan tidak tercatat dalam peta kota. Tempat itu gelap dan penuh dengan puing-puing dari konstruksi lama, seolah-olah kota terapung dibangun di atas reruntuhan teknologi yang lebih tua.

"Aku nggak pernah tahu tempat ini ada," kata Kevin, menyalakan senter kecil untuk menerangi jalan.

Satria melanjutkan memindai dengan perangkatnya. "Kita semakin dekat. Sumber energi yang kita cari ada di sini."

Mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan pintu logam raksasa. Pintu itu dijaga oleh sistem pengamanan canggih yang jelas bukan milik kota terapung. "Ini pasti fasilitas rahasia," kata Aliyah. "Dan mereka nggak ingin kita masuk."

Satria mengeluarkan alat peretas dari tasnya. "Aku bisa membuka ini, tapi butuh waktu."

Kevin mengangguk. "Cepat. Kalau ada orang yang memonitor ini, mereka pasti sudah tahu kita di sini."

Satria bekerja cepat, menonaktifkan sistem pengamanan satu per satu. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, pintu logam perlahan terbuka, memperlihatkan pemandangan yang membuat mereka bertiga ternganga.


Rahasia di Balik Pintu

Di dalam ruangan itu, mereka menemukan sebuah reaktor besar yang tampak jauh lebih canggih daripada teknologi kota terapung. Reaktor itu bersinar dengan energi biru terang, sama seperti inti dimensi lain yang mereka lihat sebelumnya.

"Ini..." Satria terdiam. "Ini reaktor yang dirancang untuk menyedot energi langsung dari dimensi lain."

Aliyah melangkah mendekat, matanya memandang ke layar-layar di sekitar reaktor. "Tapi kenapa ini ada di sini? Kalau ini bukan bagian dari sistem kota, siapa yang membuatnya?"

Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar di belakang mereka. Mereka berbalik dan melihat sekelompok orang berseragam hitam masuk ke ruangan, dipimpin oleh seorang pria tinggi dengan wajah dingin.

"Jadi kalian berhasil menemukan ini," kata pria itu dengan nada datar. "Harus kuakui, aku kagum dengan keberanian kalian."

"Siapa kamu?" tanya Aliyah tajam.

Pria itu tersenyum tipis. "Namaku Adrian. Aku bagian dari proyek ini sejak awal. Dan kalian, sayangnya, baru saja melangkah terlalu jauh."


Kebenaran yang Menyakitkan

Adrian menjelaskan bahwa reaktor ini adalah bagian dari proyek rahasia yang dirancang oleh aliansi bayangan yang memanfaatkan energi dimensi lain untuk tujuan yang lebih besar. Kota terapung hanya menjadi fasad; tujuan sebenarnya adalah mengalirkan energi untuk membangun sistem global baru yang bisa mengendalikan semua sumber daya di Bumi.

"Kalau kita menghentikan ini, kota terapung akan jatuh," kata Kevin, mencoba memahami.

Adrian mengangguk. "Benar. Tapi lebih dari itu, kalian akan menghancurkan masa depan manusia. Dengan teknologi ini, kita bisa menciptakan dunia yang sempurna."

"Tapi itu menghancurkan dunia lain," kata Satria. "Kalian mencuri sesuatu yang bukan milik kalian."

Adrian mendekat, menatap mereka dengan tajam. "Kadang, pengorbanan diperlukan untuk kemajuan. Apa yang kalian lihat di dunia lain itu hanyalah bagian kecil dari gambaran besar."

Aliyah mengepalkan tinjunya. "Kalian egois. Kalian nggak peduli pada kehancuran yang kalian sebabkan."

Adrian mengangkat bahu. "Itu masalah perspektif. Tapi sekarang, kalian harus membuat keputusan: bergabung dengan kami, atau menghilang dari sejarah."

 

Bab 7: Pengkhianatan di Balik Langit

Aliyah, Kevin, dan Satria berdiri terpaku di depan Adrian. Udara di ruangan itu terasa berat. Reaktor raksasa di belakang mereka berdenyut dengan cahaya biru terang, seolah menjadi saksi bisu perdebatan ini. Adrian menatap mereka dengan tatapan dingin, menunggu jawaban.

"Apa maksudmu, bergabung dengan kalian?" tanya Aliyah dengan nada tajam. "Kami tidak akan menjadi bagian dari kekejian ini."

Adrian menghela napas, seolah kecewa. "Kalian begitu cepat menghakimi sesuatu yang tidak kalian pahami. Dengan teknologi ini, kita bisa membawa umat manusia melampaui batas-batasnya. Dunia kalian di ambang kehancuran—pemanasan global, kelangkaan sumber daya, populasi yang terus bertambah. Energi ini adalah penyelamat kita."

"Dan menghancurkan dunia lain dalam prosesnya?" balas Satria. "Itu bukan penyelamatan. Itu kolonialisme."

Adrian tertawa kecil, nadanya penuh ejekan. "Kalian masih terlalu naif. Kalau kalian tahu siapa yang benar-benar menjalankan dunia ini, kalian akan mengerti bahwa kadang-kadang, pengorbanan adalah satu-satunya pilihan."


Sebuah Pilihan Sulit

Aliyah menggenggam perangkat pelacak di tangannya lebih erat. Dia tahu bahwa Adrian memiliki lebih banyak sumber daya, lebih banyak kekuatan, tetapi dia tidak bisa membiarkan pria itu menang. Namun, sebelum dia bisa berbicara, Kevin melangkah maju.

"Tunggu," kata Kevin, suaranya pelan tetapi tegas. "Bagaimana jika dia benar?"

Aliyah berbalik menatap Kevin, kaget. "Apa maksudmu?"

"Aliyah, pikirkan," kata Kevin, mencoba terdengar rasional. "Apa yang kita miliki di kota terapung ini adalah keajaiban teknologi. Kalau energi ini benar-benar bisa menyelamatkan Bumi, bukankah itu lebih baik daripada membiarkan semuanya runtuh?"

Satria melangkah maju, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Kevin, kamu serius? Kamu ingin membiarkan dunia lain hancur hanya demi menyelamatkan kota ini?"

Kevin menatap mereka berdua, matanya penuh konflik. "Aku tidak bilang itu benar. Tapi kalau kita menghancurkan reaktor ini, kota terapung kita akan jatuh. Jutaan orang akan mati. Apa kalian siap untuk menanggung itu?"


Pengkhianatan Terungkap

Sebelum Aliyah bisa merespons, Adrian tersenyum licik. "Akhirnya, seseorang di antara kalian melihat gambaran besarnya."

Aliyah menatap Adrian dengan marah. "Kamu sudah mempengaruhinya, bukan? Sejak kapan?"

Adrian mengangkat bahu. "Aku hanya memberi orang-orang pilihan yang realistis. Bukan salahku jika Kevin cukup cerdas untuk melihat peluang."

Satria mendekati Kevin, suaranya bergetar. "Kamu nggak bisa serius, Kevin. Kita datang sejauh ini untuk menyelamatkan kedua dunia. Sekarang kamu mau menyerah?"

Kevin mengalihkan pandangannya, tidak sanggup melihat langsung ke mata Satria. "Aku cuma... aku cuma ingin mencari solusi yang tidak menghancurkan dunia kita."

Aliyah menarik napas dalam-dalam. "Kevin, aku mengerti kamu takut. Aku juga takut. Tapi kita nggak bisa membenarkan kehancuran satu dunia hanya demi menyelamatkan yang lain."

Sebelum Kevin bisa menjawab, Adrian berbicara lagi. "Cukup. Kalian membuat ini lebih sulit dari yang seharusnya." Dia melambaikan tangannya, dan sekelompok petugas bersenjata masuk ke ruangan. "Tangkap mereka."


Pertarungan di Reaktor

Aliyah, Satria, dan Kevin berusaha melawan, tetapi petugas bersenjata itu lebih kuat dan terlatih. Mereka dipaksa menyerah, tangan mereka diikat, sementara Adrian tersenyum puas. "Kalian sebenarnya bisa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sayang sekali kalian memilih jalan bodoh."

Namun, sebelum Adrian bisa memberikan perintah lebih lanjut, Satria melirik ke Aliyah dan berbisik, "Percaya padaku."

Dengan gerakan cepat, Satria meraih perangkat pelacak dari kantongnya dan menekan tombol merah di sampingnya. Cahaya biru yang intens memancar, membutakan semua orang di ruangan itu. Dalam kekacauan, Aliyah berhasil melepaskan ikatannya dan menyerang salah satu petugas, merebut senjatanya.

"Ambil data dari reaktor!" teriak Aliyah kepada Satria. "Kita harus keluar dari sini dengan bukti!"

Satria berlari ke konsol utama reaktor, sementara Kevin tampak ragu-ragu. "Kevin, bantu aku!" teriak Satria.

Kevin mematung, konflik di dalam dirinya semakin dalam. Tapi akhirnya, dia mengikuti Satria dan membantu mengunduh data dari sistem. Aliyah melindungi mereka, menembak ke arah petugas yang mencoba mendekat.


Kehancuran yang Tak Terelakkan

Saat data hampir selesai diunduh, Adrian bangkit dari tempatnya, wajahnya penuh amarah. "Kalian benar-benar ingin menghancurkan semuanya? Kalau reaktor ini dimatikan, kalian akan membawa kehancuran bukan hanya untuk kota ini, tetapi seluruh sistem dunia!"

Aliyah menatapnya dengan tajam. "Lebih baik menghadapi konsekuensi daripada hidup di atas penderitaan dunia lain."

Satria menekan tombol terakhir di konsol. Suara alarm mulai bergema di ruangan itu, menunjukkan bahwa sistem reaktor telah terganggu. Adrian berteriak, mencoba menghentikan mereka, tetapi terlambat.

"Semua data sudah kita ambil," kata Satria. "Kita harus keluar sekarang!"

Aliyah, Satria, dan Kevin melarikan diri melalui lorong sempit. Di belakang mereka, reaktor mulai bergetar, tanda-tanda kerusakan mulai muncul. Tapi di dalam hati mereka, konflik belum selesai. Kevin masih terguncang oleh pilihannya, sementara Aliyah tahu bahwa pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.

 

Bab 8: Pertarungan di Langit

Suara sirene memenuhi lorong-lorong sektor bawah Jakarta Zenith. Lampu merah berkedip tanpa henti, menambah ketegangan yang sudah memuncak. Aliyah, Satria, dan Kevin berlari secepat mungkin, membawa data yang mereka curi dari reaktor Adrian. Getaran halus mulai terasa di lantai di bawah mereka, tanda bahwa reaktor mulai tidak stabil.

"Kita harus keluar dari sini sebelum reaktor itu meledak!" teriak Aliyah sambil melirik ke belakang. Suara langkah kaki petugas keamanan terdengar semakin dekat.

"Ke arah mana?" tanya Kevin, napasnya terengah-engah. "Lorong ini seperti labirin!"

Satria memeriksa perangkat pelacak di tangannya, yang kini menunjukkan peta holografik dari sektor bawah. "Ke kiri! Ada lift darurat di sana yang bisa membawa kita ke sektor atas."

Mereka berbelok ke kiri, tetapi suara langkah kaki petugas semakin dekat. Tembakan terdengar di belakang mereka, peluru-peluru energi menghantam dinding, meninggalkan bekas hangus.

"Kita nggak akan sempat kalau mereka terus mengejar!" kata Kevin, panik.

Aliyah berhenti sejenak dan membalik badan. "Kalian teruskan. Aku akan menahan mereka!"

"Aliyah, jangan gila!" balas Kevin.

"Aku nggak punya pilihan!" Aliyah menatap mereka dengan tegas. "Kita harus membawa data ini ke atas. Pergi sekarang!"

Satria menarik Kevin, yang masih ingin protes. "Ayo! Dia tahu apa yang dia lakukan."


Pertarungan di Lorong

Aliyah bersembunyi di balik pilar logam, menunggu petugas keamanan mendekat. Tangannya yang memegang senjata bergetar, tetapi dia tahu ini adalah satu-satunya cara. Ketika kelompok petugas itu muncul, dia keluar dari tempat persembunyian dan menembak ke arah mereka. Tembakannya meleset sedikit, tetapi cukup untuk membuat mereka berhenti dan berlindung.

"Jangan biarkan dia kabur!" teriak salah satu petugas.

Aliyah terus menembak, memanfaatkan setiap detik untuk mengulur waktu. Namun, dia tahu dia tidak bisa bertahan lama. Energi senjatanya semakin habis, dan petugas semakin mendekat.

Saat dia hampir kehabisan akal, sebuah ledakan kecil mengguncang lorong. Sebuah pipa energi di dinding pecah, mengeluarkan semburan uap panas yang menghalangi pandangan para petugas.

"Terima kasih, reaktor yang hampir meledak," gumam Aliyah sambil berlari meninggalkan lokasi.


Di Lift Darurat

Satria dan Kevin berhasil mencapai lift darurat. Satria dengan cepat memindai panel kontrol untuk mengaktifkannya. "Cepat, sebelum mereka mengejar kita!"

Pintu lift terbuka, dan mereka masuk. Tetapi sebelum pintu tertutup, Kevin menatap lorong dengan cemas. "Aliyah masih di luar. Kita nggak bisa meninggalkannya!"

"Kita nggak punya pilihan," kata Satria dengan nada serius. "Kalau kita menunggu, data ini tidak akan sampai ke tangan orang yang tepat."

Kevin mengepalkan tinjunya, tetapi dia tahu Satria benar. Pintu lift tertutup, dan mereka mulai naik ke sektor atas. Napas Kevin berat, bukan karena kelelahan, tetapi karena rasa bersalah yang membebani hatinya.


Di Sektor Atas

Lift darurat membawa mereka ke sektor atas, ke ruang pemeliharaan yang jarang digunakan. Dari sini, mereka bisa melihat pemandangan kota terapung Jakarta Zenith yang megah. Tetapi pemandangan itu tidak lagi memberikan rasa kagum seperti biasanya. Lampu-lampu kota berkedip-kedip, tanda bahwa sistem energi mulai terganggu.

"Kita harus menuju pusat kendali," kata Satria. "Dari sana, kita bisa mengunggah data ini ke sistem utama kota dan memberitahu semua orang tentang apa yang sebenarnya terjadi."

Namun, saat mereka keluar dari lift, mereka disambut oleh pasukan keamanan Adrian yang sudah menunggu. Adrian sendiri berdiri di tengah mereka, dengan senyum dingin di wajahnya.

"Kalian benar-benar membuat masalah besar," katanya. "Tapi ini akhir dari perjalanan kalian."


Kembalinya Aliyah

Sebelum Adrian sempat memberikan perintah, suara ledakan terdengar dari belakang pasukan keamanan. Asap memenuhi ruangan, dan sosok Aliyah muncul, membawa senjata yang dia rebut dari petugas sebelumnya.

"Maaf, aku telat," kata Aliyah sambil menembak ke arah pasukan keamanan, membuat mereka berhamburan.

"Aliyah!" seru Kevin, wajahnya penuh rasa lega.

Aliyah bergabung dengan mereka, dan ketiganya bertarung bersama melawan pasukan Adrian. Meskipun mereka kalah jumlah, kerja sama mereka membuat mereka mampu mengimbangi lawan. Aliyah memberikan perlindungan, Satria memimpin mereka mencari celah untuk melarikan diri, dan Kevin akhirnya menemukan keberanian untuk melawan.


Kehancuran yang Mendekat

Di tengah kekacauan, suara dari sistem kota mulai terdengar melalui speaker: "Peringatan: ketidakstabilan reaktor mencapai titik kritis. Harap evakuasi segera."

Adrian tampak terkejut mendengar itu. Dia berteriak kepada pasukannya, "Kita harus menghentikan reaktor sebelum kota ini jatuh!"

Aliyah menatap Adrian dengan tajam. "Ini semua salahmu. Sekarang lihat apa yang telah kamu lakukan."

Namun, Adrian tidak mempedulikannya. Dia melarikan diri bersama beberapa pasukannya, meninggalkan Aliyah dan timnya untuk menghadapi kehancuran yang semakin dekat.

 

Bab 9: Pengorbanan di Ujung Dunia

Sirene di seluruh kota terapung Jakarta Zenith menggema, memberi tahu semua penghuni bahwa waktu mereka hampir habis. Kota ini, yang selama ini tampak kokoh dan tak terkalahkan, kini berada di ambang kehancuran. Reaktor di sektor bawah mulai tidak stabil, dan kerusakannya merambat ke seluruh sistem energi kota.

Aliyah, Satria, dan Kevin berlari menuju pusat kendali kota, membawa data yang bisa menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran. Langkah mereka terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga beban emosional yang semakin menghimpit.

"Aliyah, apa rencanamu?" tanya Kevin dengan napas terengah-engah.

"Kita unggah data ini ke sistem utama," jawab Aliyah tanpa ragu. "Biarkan semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah itu, kita cari cara untuk menstabilkan reaktor, kalau masih ada waktu."

Satria menatap Aliyah dengan ekspresi khawatir. "Menstabilkan reaktor itu berisiko tinggi. Kalau salah langkah, kita bisa memicu ledakan lebih cepat."

Aliyah mengangguk. "Aku tahu. Tapi kalau kita nggak mencoba, semua orang di kota ini akan mati."


Di Pusat Kendali

Pusat kendali kota terapung adalah jantung operasional Jakarta Zenith. Di sana, semua data dan sistem energi kota diatur. Namun, ketika mereka tiba, ruangan itu dalam keadaan kacau. Monitor berkedip-kedip, alarm berbunyi tanpa henti, dan beberapa petugas kota tampak panik mencoba mengendalikan situasi.

"Kalian siapa?" tanya salah satu petugas dengan nada curiga.

"Kami di sini untuk membantu!" kata Aliyah sambil menunjukkan perangkat yang mereka bawa. "Kami punya data yang bisa menjelaskan apa yang terjadi."

Petugas itu tampak ragu, tetapi Satria mengambil alih. "Kalian tidak punya waktu untuk ragu. Biarkan kami mengakses sistem utama. Kalau tidak, seluruh kota ini akan runtuh."

Akhirnya, mereka diberi akses ke konsol utama. Satria segera menghubungkan perangkat mereka, mengunggah data yang berisi bukti tentang reaktor rahasia Adrian dan bagaimana energi dimensi lain digunakan secara ilegal.

Monitor besar di ruangan itu mulai menampilkan rekaman dan diagram dari data yang diunggah. Semua orang di ruangan itu terdiam saat mereka menyadari kebenaran yang mengerikan.

"Jadi ini semua salah pemerintah kota?" salah satu petugas bergumam. "Mereka tahu ini akan terjadi, tapi mereka tetap melanjutkannya?"

Aliyah mengangguk. "Ya, dan sekarang kita harus memperbaiki kesalahan ini."


Misi Menyelamatkan Reaktor

Setelah data diunggah dan seluruh kota diberi tahu, Aliyah, Satria, dan Kevin segera menuju sektor bawah untuk mencoba menstabilkan reaktor. Namun, situasinya semakin memburuk. Suhu di sekitar reaktor meningkat, dan suara bergetar dari mesin semakin keras.

"Kita harus menghentikan ini secara manual," kata Satria sambil memeriksa konsol kontrol di dekat reaktor. "Sistem otomatisnya sudah rusak."

"Tapi bagaimana caranya?" tanya Kevin, matanya menyapu layar-layar yang menampilkan grafik energi yang terus melonjak. "Ini terlalu besar untuk kita kendalikan."

Aliyah melihat ke inti reaktor yang berdenyut tidak stabil. "Kita harus menutup saluran energi dari dimensi lain. Kalau kita bisa memutus aliran energi itu, reaktor mungkin bisa berhenti sebelum meledak."

Satria menatap Aliyah dengan serius. "Tapi kalau kita memutus saluran itu secara manual, seseorang harus masuk ke dalam inti reaktor untuk melakukannya. Dan itu artinya..." Dia tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi semua orang tahu apa yang dia maksud.


Pengorbanan

Aliyah menarik napas dalam-dalam. "Aku akan melakukannya."

Kevin segera menolak. "Tidak, Aliyah! Kita pasti bisa menemukan cara lain. Jangan lakukan ini."

Aliyah menatap Kevin dengan lembut. "Kevin, aku nggak melihat cara lain. Kota ini butuh waktu untuk mengevakuasi orang-orang. Kalau kita nggak memutus aliran energi sekarang, semuanya akan terlambat."

Satria mencoba menghentikannya. "Aliyah, pikirkan lagi. Kita bisa mencoba sesuatu yang lain—"

"Tidak ada waktu untuk mencoba," potong Aliyah. "Ini adalah pilihan yang harus diambil."

Dia menatap Kevin dan Satria satu per satu. "Kalian berdua harus keluar dari sini. Pastikan data itu sampai ke seluruh dunia. Biarkan semua orang tahu apa yang terjadi, dan jangan biarkan ini terjadi lagi."

Mata Kevin mulai basah. "Aliyah, kita nggak bisa kehilangan kamu."

Aliyah tersenyum tipis. "Kita semua tahu risikonya sejak awal. Dan aku percaya kalian bisa melanjutkan ini tanpa aku."

Satria menggenggam tangan Aliyah sejenak, matanya penuh rasa hormat. "Kamu adalah orang paling berani yang pernah aku kenal."

Aliyah mengangguk. "Terima kasih. Sekarang pergi."


Akhir yang Bergetar

Satria dan Kevin keluar dari ruangan reaktor, meninggalkan Aliyah yang masuk ke dalam inti reaktor. Suhu di dalamnya sangat panas, dan denyutan energi terasa seperti gelombang yang menghantam tubuhnya. Dengan tangan gemetar, dia mulai menutup saluran energi satu per satu, memutus koneksi antara reaktor dan dimensi lain.

Setiap saluran yang dia tutup membuat reaktor semakin stabil, tetapi tubuhnya mulai merasakan efek dari radiasi energi yang dilepaskan. Napasnya semakin berat, tetapi dia terus bekerja.

Di luar, Kevin dan Satria berdiri di tempat aman, menyaksikan dari kejauhan. Tiba-tiba, suara dari speaker kota terdengar:

"Reaktor stabilisasi: berhasil. Kota dalam proses pemulihan."

Namun, tidak ada tanda-tanda Aliyah keluar dari ruangan itu.

"Aliyah..." bisik Kevin, air matanya mengalir.

 

Bab 10: Langit Baru

Tiga hari telah berlalu sejak reaktor di sektor bawah Jakarta Zenith berhasil distabilkan. Kota terapung itu selamat dari kehancuran total, tetapi luka yang ditinggalkan oleh peristiwa itu terasa di seluruh kota. Banyak bagian kota yang hancur, dan ribuan warga masih dievakuasi ke lokasi aman. Namun, yang paling terasa adalah kehilangan Aliyah.

Kevin duduk di tepi platform sektor atas, memandangi langit buatan yang kini dipenuhi drone perbaikan. Satria berdiri tidak jauh darinya, memegang tablet yang berisi data terakhir dari reaktor. Keduanya terdiam, terbebani oleh perasaan kehilangan yang sama.

"Aliyah pasti bilang kita harus melanjutkan ini," kata Kevin akhirnya, suaranya serak. "Tapi... rasanya sulit tanpa dia."

Satria mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi kalau kita berhenti sekarang, semua yang dia lakukan akan sia-sia."

Kevin menatap tablet yang dipegang Satria. "Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?"


Pengungkapan Kebenaran

Data yang mereka unggah ke pusat kendali telah menyebar ke seluruh kota dan bahkan dunia. Rekaman tentang bagaimana energi dimensi lain dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu telah memicu kemarahan publik. Warga kota mulai mempertanyakan otoritas pemerintah, menuntut transparansi dan keadilan.

Di tengah kekacauan ini, Satria dan Kevin bekerja tanpa henti untuk memastikan bahwa kebenaran tidak ditutupi. Mereka menghadiri pertemuan darurat dengan para ilmuwan, teknisi, dan pemimpin masyarakat untuk membahas langkah berikutnya.

"Kita harus menghentikan semua aliran energi dari dimensi lain," kata Satria tegas di depan audiens. "Teknologi ini tidak hanya merusak dunia lain, tetapi juga membahayakan stabilitas kota kita sendiri."

"Tapi tanpa energi itu, kota terapung akan runtuh," salah satu pemimpin masyarakat memprotes.

Kevin maju ke depan. "Aliyah percaya kita bisa menemukan cara untuk bertahan tanpa merusak dunia lain. Itu tugas kita sekarang—menggunakan teknologi yang kita miliki untuk menciptakan sistem energi yang lebih berkelanjutan."

Ada keheningan di ruangan itu. Kemudian, salah satu ilmuwan berdiri. "Kalau itu yang harus kita lakukan, maka kita membutuhkan semua orang untuk bekerja bersama."


Membangun Masa Depan

Proyek besar dimulai. Satria memimpin tim teknisi untuk mengembangkan sistem energi baru yang tidak bergantung pada dimensi lain. Mereka memanfaatkan energi matahari dan angin yang tersedia di atas atmosfer, serta mengembangkan teknologi penyimpanan energi yang lebih efisien.

Sementara itu, Kevin bekerja dengan komunitas kota untuk memastikan bahwa warga yang terdampak oleh insiden itu mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Dia juga berbicara kepada media, memastikan bahwa cerita Aliyah dan pengorbanannya tidak pernah dilupakan.

"Aliyah adalah pahlawan," katanya dalam sebuah wawancara. "Dia mengorbankan segalanya untuk menyelamatkan kita. Sekarang tugas kita adalah memastikan bahwa pengorbanannya tidak sia-sia."


Langit Baru

Bulan demi bulan berlalu. Jakarta Zenith perlahan pulih. Kota terapung itu tidak lagi menjadi parasit yang menyedot energi dari dimensi lain, tetapi menjadi simbol kolaborasi dan inovasi manusia. Meskipun kota itu tidak lagi sebesar atau semewah sebelumnya, warga merasa lebih bangga dengan apa yang telah mereka capai.

Di salah satu taman kecil di sektor atas, Satria dan Kevin duduk bersama. Mereka melihat ke langit, di mana balon-balon udara raksasa yang menopang kota kini digerakkan oleh energi bersih.

"Kita berhasil," kata Kevin pelan.

"Belum sepenuhnya," jawab Satria. "Tapi kita berada di jalan yang benar."

Kevin tersenyum tipis. "Aliyah pasti bangga."

Mereka terdiam, membiarkan angin membawa kenangan tentang sahabat mereka yang telah pergi. Di dalam hati, mereka tahu bahwa meskipun Aliyah tidak lagi bersama mereka, semangatnya akan terus hidup dalam setiap langkah yang mereka ambil untuk menciptakan dunia yang lebih baik.


Epilog

Di suatu tempat di dimensi lain, inti energi yang sebelumnya terganggu kini berdenyut dengan stabil. Dunia itu mulai pulih, seperti luka lama yang akhirnya sembuh. Sebuah patung kecil berdiri di tengah taman kota Jakarta Zenith, dibuat untuk mengenang Aliyah. Di bawahnya tertulis:

"Untuk Aliyah, yang berani melawan langit demi masa depan."


Akhir Bab 10.
Kota terapung Jakarta Zenith kini melangkah menuju masa depan baru, tidak lagi menjadi ancaman bagi dunia lain, tetapi menjadi inspirasi bagi seluruh umat manusia. Perjuangan Aliyah, Satria, dan Kevin akan terus dikenang sebagai bukti bahwa bahkan dalam kegelapan, harapan selalu ada.