Novel Singkat: Cinta dan Pintu Masa

Bab 1: Kehidupan yang Retak

Pagi yang suram itu seperti biasa menemani Renggo. Cahaya matahari yang menyelinap melalui celah-celah jendela kamar kontrakan mungilnya tak cukup untuk mengusir rasa lelah yang membungkus tubuhnya. Di sudut ruangan, Bima, anak lelakinya yang berusia lima tahun, masih tertidur lelap dengan selimut tipis yang sudah usang.

Renggo duduk di kursi reyot di samping ranjang, memandangi wajah polos anaknya. Wajah yang selalu menjadi alasan baginya untuk bertahan, meskipun hidup terasa seperti beban yang tak kunjung ringan. Sejak istrinya pergi meninggalkan mereka setahun lalu, Renggo harus menjalani hidup sendirian sebagai ayah sekaligus ibu bagi Bima.

Novel Singkat


"Ayah lapar," suara kecil Bima memecah lamunannya. Renggo menoleh dan mendapati anaknya sudah bangun, mengusap matanya dengan punggung tangan.

"Sebentar, Nak. Ayah buatkan sarapan."

Dengan langkah berat, Renggo menuju dapur yang hanya berjarak beberapa langkah dari ranjang. Isi lemari dapur sangat menyedihkan: sepotong roti tawar yang hampir berjamur dan sedikit mentega. Dengan hati-hati, ia memanggang roti itu di atas wajan tua, berharap Bima tidak mengeluhkan rasa atau porsinya.

Hari yang sama, perjuangan yang sama. Setelah menyuapi Bima, Renggo bersiap pergi bekerja. Ia bekerja serabutan, menerima apa saja yang bisa memberinya uang. Pagi itu, ia harus membantu mengangkut barang di sebuah gudang tua di pinggir kota. Kontrakan mereka memang dekat, tetapi setiap langkah menuju tempat kerja selalu terasa berat bagi Renggo.

Di Gudang Tua

Renggo tiba di gudang tepat waktu, meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. Teman kerjanya, Pak Karman, seorang pria tua yang lebih banyak diam, menyapanya singkat sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya. Gudang itu penuh dengan barang-barang tua, sebagian besar seperti tidak berguna lagi. Tumpukan kardus, mesin-mesin rusak, dan furnitur yang ditinggalkan pemiliknya menciptakan suasana yang suram.

Saat tengah mengangkat sebuah kotak besar, pandangan Renggo tertuju pada sesuatu yang berkilau di sudut gelap gudang. Ia mendekat dan menemukan sebuah jam antik dengan bingkai logam berukir. Jam itu terlihat berkarat, tetapi masih memiliki pesona tersendiri.

"Apa ini masih berfungsi?" gumam Renggo sambil mengusap permukaan kaca jam itu. Ia tak tahu kenapa, tapi ia merasa tertarik membawa benda itu pulang. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya, ia menyelipkan jam tersebut ke dalam tas tuanya.

Pertemuan Tak Terduga

Sore itu, setelah bekerja, Renggo berhenti di sebuah taman kecil di dekat pusat kota. Ia membawa Bima untuk bermain sebentar, membiarkan anak itu menikmati waktu di luar meskipun dirinya lelah. Saat ia duduk di bangku taman sambil mengawasi Bima bermain ayunan, pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan seorang wanita.

Wanita itu mengenakan blazer biru tua yang elegan, rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya tampak bersinar meskipun matahari mulai tenggelam. Mata mereka bertemu sejenak, dan jantung Renggo berdegup lebih cepat.

"Kemuning?" bisiknya tak percaya. Wanita itu mendekat, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menyapanya.

"Renggo?" suara itu, suara yang dulu sangat ia kenal, kini terdengar lebih dewasa, lebih tegas.

Kemuning berdiri di hadapannya, menatapnya dengan campuran keterkejutan dan kehangatan. Namun, di balik senyuman itu, Renggo merasakan beban baru yang menyesakkan dadanya. Ia sadar, hidup mereka kini berada di dunia yang sangat berbeda.

"Sudah lama sekali," kata Kemuning, memecah keheningan.

Renggo hanya bisa mengangguk. Kata-kata seakan tak mampu keluar dari mulutnya. Ia ingin bertanya banyak hal, ingin menjelaskan segalanya, tapi rasa malu dan rendah diri menahannya.

"Ini anakmu?" tanya Kemuning sambil melirik ke arah Bima yang sedang tertawa di ayunan. Renggo hanya mengangguk lagi.

"Aku harus pergi," kata Kemuning tiba-tiba, melihat jam tangan mewahnya. Sebelum pergi, ia tersenyum kecil dan berkata, "Senang bertemu lagi, Renggo."

Kemuning melangkah pergi, meninggalkan Renggo yang masih terpaku. Rasa bersalah, harapan, dan kenangan lama bercampur menjadi satu dalam pikirannya. Ia tahu pertemuan ini hanya awal dari perjalanan panjang yang mungkin akan mengubah hidupnya.

 

Bab 2: Bayangan Masa Lalu

Malam itu, Renggo tak bisa tidur. Pikirannya terus melayang-layang, membawa ingatannya ke masa SMA. Pertemuan dengan Kemuning di taman telah membangkitkan sesuatu yang lama terkubur—penyesalan yang tak pernah benar-benar hilang. Sambil memandangi jam antik yang ia temukan di gudang, ia teringat kembali saat-saat di mana ia dan Kemuning pernah bahagia bersama.

Kenangan SMA

Renggo dan Kemuning adalah pasangan yang dikenal banyak orang di SMA mereka. Kemuning adalah gadis ceria dengan segudang impian, sedangkan Renggo adalah siswa yang cerdas namun sederhana. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di bawah pohon mangga di halaman sekolah, berbicara tentang masa depan.

"Nanti, aku mau jadi pengusaha besar," kata Kemuning dengan mata berbinar.

"Kalau aku?" Renggo bertanya sambil tersenyum.

"Kamu bakal jadi apa aja yang kamu mau. Aku percaya kamu."

Namun, hubungan mereka tidak berlangsung lama. Di tahun terakhir SMA, Renggo tiba-tiba menjauh tanpa alasan. Ia berhenti menemui Kemuning, mengabaikan pesan-pesan darinya, dan akhirnya benar-benar menghilang dari kehidupannya. Hingga kini, alasan mengapa ia melakukannya masih menjadi luka yang ia sembunyikan, bahkan dari dirinya sendiri.

Kenyataan Pahit

Renggo menghela napas panjang, memandangi langit-langit kontrakan yang penuh bercak air hujan. Ia tahu alasan ia meninggalkan Kemuning. Saat itu, keluarga Renggo jatuh miskin setelah ayahnya meninggal dunia dan ibunya terpaksa menjual semua yang mereka miliki. Ia merasa tidak pantas untuk tetap berada di sisi Kemuning, seseorang yang penuh harapan dan masa depan cerah.

Namun sekarang, melihat Kemuning yang sudah sukses, ia merasa lebih kecil lagi. Hidupnya berantakan, dan satu-satunya hal yang ia miliki hanyalah Bima. Ia ingin mendekati Kemuning, meminta maaf, mungkin memulai kembali. Tapi apa yang bisa ia tawarkan selain kisah hidup yang penuh kegagalan?

"Ayah kenapa?" Suara kecil Bima membuat Renggo tersentak. Anak itu berdiri di samping tempat tidurnya, mengucek-ucek mata.

"Nggak apa-apa, Nak. Kamu tidur lagi, ya."

Bima memeluk ayahnya sebelum kembali tidur. Sentuhan kecil itu membuat Renggo sadar bahwa anaknya adalah alasan ia tetap bertahan, meskipun ia merasa kosong. Tapi perasaan itu tak cukup untuk menghapus rasa bersalahnya pada Kemuning.

Pertemuan yang Tak Sengaja Lagi

Keesokan harinya, tanpa sengaja Renggo bertemu Kemuning lagi, kali ini di sebuah kafe kecil tempat ia biasa membeli kopi murah. Kemuning sedang duduk di meja dekat jendela, terlihat sibuk membaca dokumen. Ia tampak anggun dengan kemeja putih dan rambut yang digerai.

Renggo ingin melangkah pergi, tetapi Kemuning sudah melihatnya.

"Renggo!" panggilnya, membuat orang-orang di kafe menoleh.

Dengan enggan, Renggo mendekat. Ia merasa canggung, tapi Kemuning tersenyum seperti tidak ada yang berubah. Mereka berbincang sejenak, membicarakan hal-hal ringan. Kemuning tetap ramah, tetapi setiap kata yang ia ucapkan seperti menampar Renggo, mengingatkannya pada jarak yang kini membentang di antara mereka.

"Bagaimana hidupmu sekarang?" tanya Kemuning akhirnya.

Renggo ingin menjawab bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi ia tak bisa berbohong. "Tidak terlalu baik," jawabnya singkat. Kemuning tampak ingin bertanya lebih jauh, tetapi ia menahan diri.

Sebelum berpisah, Kemuning memberikan kartu namanya. "Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk menghubungi aku," katanya. Renggo menerima kartu itu dengan tangan gemetar, merasa malu tetapi juga bersyukur.

Kembali ke Kenangan

Malamnya, Renggo duduk di lantai kontrakan, memegang kartu nama Kemuning. Nama itu tertulis dengan huruf tegas, bersama logo perusahaan yang tidak ia kenali. Ia tahu Kemuning tulus ingin membantunya, tetapi bagaimana ia bisa menerima bantuan dari seseorang yang pernah ia kecewakan?

Ia memandangi jam antik yang ia temukan di gudang. Bentuknya memang unik, tetapi jarum jam itu tidak pernah bergerak. Ada sesuatu yang aneh pada jam itu, sesuatu yang membuatnya tidak bisa berhenti memikirkannya.

Saat sedang memeriksa jam itu, tiba-tiba lampu kontrakan berkedip-kedip. Suara mendengung pelan terdengar dari jam, membuat Renggo terkejut. Ia mencoba memutar tombol kecil di sisi jam, dan mendadak cahaya terang keluar dari benda itu.

Sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, dunia di sekitarnya mulai berputar. Renggo merasa tubuhnya seperti ditarik ke dalam pusaran yang tak terlihat.

"Apa yang terjadi?" teriaknya, tetapi tidak ada jawaban.

Akhir Bab

Bab ini berakhir dengan Renggo mendapati dirinya berdiri di halaman SMA-nya. Di depan matanya, ia melihat dirinya yang lebih muda, bersama Kemuning yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, tertawa di bawah pohon mangga.

Waktu telah mundur. Renggo menyadari bahwa jam antik itu bukan benda biasa, melainkan kunci untuk kembali ke masa lalu. Dan kini, ia dihadapkan pada kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya—tetapi tanpa mengetahui harga yang harus ia bayar.

 

Bab 3: Penemuan yang Aneh

Renggo berdiri terpaku di bawah pohon mangga besar itu. Angin sepoi-sepoi yang membawa aroma khas halaman sekolah membuat tubuhnya merinding. Di depannya, ia melihat dirinya sendiri dalam balutan seragam putih abu-abu. Usia 17 tahun, dengan wajah yang penuh semangat dan impian. Di sebelahnya, Kemuning muda tersenyum ceria, menyandarkan kepala di bahu Renggo muda sambil memegang buku pelajaran.

"Apa ini mimpi?" Renggo membatin. Ia mencubit lengannya, merasakan sakit yang nyata. Tidak, ini bukan mimpi. Ia benar-benar kembali ke masa lalu.

Mencoba Memahami Situasi

Renggo menjauh dari pohon itu, menyusuri halaman sekolah dengan hati-hati. Ia mengenali setiap sudutnya, mulai dari kantin hingga lapangan basket yang selalu dipenuhi siswa. Namun, suasana ini terasa aneh, seolah ia adalah penonton di dunia yang dulu sangat ia kenal.

Ia mencoba berbicara dengan beberapa siswa yang lewat, tetapi tidak ada yang mengenalinya. Mereka semua melihatnya seperti orang asing. Di sebuah cermin kecil di koridor, ia mendapati bahwa ia tetap terlihat seperti dirinya yang berusia 27 tahun—bukan remaja SMA.

Panik mulai merayapi pikirannya. "Bagaimana aku bisa kembali? Dan yang lebih penting, bagaimana aku bisa keluar dari sini?" pikirnya sambil memegangi jam antik yang kini ada di kantong celananya.

Pertemuan dengan Kemuning Muda

Ketika ia sedang berusaha memahami situasinya, suara lembut yang sangat dikenalnya terdengar dari belakang.

"Kakak siapa? Kenapa ada di sekolah ini?"

Renggo menoleh, dan matanya bertemu dengan Kemuning muda. Gadis itu mengenakan seragam SMA yang rapi, dengan rambut hitam panjang yang diikat kuncir kuda. Wajahnya terlihat sama seperti yang ia ingat, penuh dengan keceriaan dan rasa ingin tahu.

"Ah, aku..." Renggo terdiam sejenak, bingung harus mengatakan apa. Ia merasa lidahnya kelu, tapi ia tahu ini adalah kesempatan pertama untuk berbicara dengan Kemuning tanpa membawa beban masa depan.

"Aku hanya... jalan-jalan. Ini sekolah lamaku," katanya akhirnya.

Kemuning memandangnya curiga, tetapi senyum kecil muncul di wajahnya. "Oh, alumnus ya? Tahun berapa lulusnya? Aku nggak pernah lihat Kakak sebelumnya."

Renggo ingin menjawab, tetapi ia tahu terlalu banyak detail bisa membuat Kemuning curiga. "Ya, sudah lama sekali. Mungkin kamu belum lahir waktu itu," katanya, mencoba bercanda. Kemuning tertawa kecil dan mengangguk sebelum pergi meninggalkannya.

Melihat Kemuning berjalan pergi, Renggo merasa hatinya dipenuhi campuran perasaan bahagia dan sedih. Ini adalah kesempatan yang ia idamkan selama bertahun-tahun—kesempatan untuk bertemu Kemuning dan memperbaiki kesalahannya.

Bertemu Dirinya yang Lebih Muda

Beberapa saat kemudian, Renggo menyaksikan sesuatu yang membuatnya terdiam: dirinya sendiri di masa muda sedang bermain basket bersama teman-temannya. Melihat versi muda dirinya dari kejauhan membuat Renggo sadar betapa berbeda hidupnya kini.

"Dia nggak tahu apa yang akan terjadi," gumamnya. Ia merasa ingin mendekati dirinya yang lebih muda, memperingatkan bahwa keputusan-keputusan yang akan ia buat nanti akan membawa penyesalan. Namun, ia sadar bahwa berbicara dengan dirinya sendiri bisa menciptakan konsekuensi yang tak terduga.

"Aku harus hati-hati," pikirnya.

Penemuan tentang Jam Antik

Saat malam tiba, Renggo duduk di bangku panjang dekat lapangan sekolah. Ia memegang jam antik itu, mencoba mencari tahu bagaimana benda itu bekerja. Jam itu terlihat tua dan berkarat, tetapi permukaan kaca dan jarumnya mulai menyala samar-samar setiap kali ia menggenggamnya dengan erat.

Ia memutar tombol kecil di sisi jam, tetapi tidak ada yang terjadi. Frustrasi, ia menatap benda itu. "Apa aku terjebak di sini selamanya?" pikirnya. Ia tahu bahwa ini bukan hanya perjalanan waktu biasa—ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi.

Mengintip Masa Depan Kemuning

Keesokan harinya, Renggo mulai mengikuti Kemuning di sekolah, berusaha mempelajari lebih banyak tentang gadis yang dulu ia tinggalkan. Ia melihat bagaimana Kemuning selalu dikelilingi teman-temannya, dengan tawa riangnya yang memancar. Ia juga menyaksikan Kemuning yang rajin belajar, sering berada di perpustakaan sendirian.

Di perpustakaan, ia tanpa sengaja mendengar Kemuning berbicara dengan salah satu temannya.

"Renggo kok akhir-akhir ini menjauh ya?" tanya Kemuning kepada temannya.

Mendengar pertanyaan itu, Renggo merasa dadanya sesak. Ia tahu, ini adalah masa-masa ketika dirinya mulai menghindari Kemuning. Masa-masa ketika ia merasa tidak layak untuk tetap berada di sisinya.

"Dia mungkin sibuk. Atau mungkin ada masalah yang dia nggak mau cerita," jawab temannya.

Kemuning menghela napas. "Aku harap dia tahu aku selalu ada untuk dia, apa pun yang terjadi."

Kata-kata itu membuat Renggo merasa bersalah lebih dari sebelumnya. Ia tahu bahwa di masa depan, ia akan meninggalkan gadis itu tanpa memberikan alasan apa pun.

Akhir Bab

Bab ini berakhir dengan Renggo berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Ia akan menggunakan kesempatan ini untuk memperbaiki hubungannya dengan Kemuning, bahkan jika itu berarti mengubah jalan hidupnya sepenuhnya.

Namun, di balik tekad itu, Renggo mulai merasakan bayangan konsekuensi besar yang mungkin harus ia tanggung. Ia belum menyadari bahwa setiap perubahan kecil yang ia buat di masa lalu akan memengaruhi masa depan—dan kehidupan anaknya, Bima.

 

Bab 4: Lompatan ke Masa Lalu

Pagi itu terasa seperti mimpi yang belum selesai. Renggo masih terjebak di masa lalu, di SMA tempat ia dan Kemuning pernah membangun kenangan bersama. Ia menyadari bahwa jam antik di tangannya bukan sekadar benda biasa, melainkan alat yang telah membawanya ke titik di mana segalanya dimulai.

Namun, ia tak tahu bagaimana cara kembali ke masa depan. Lebih dari itu, ia tak yakin apakah ia benar-benar ingin kembali. Di sini, ia memiliki kesempatan kedua—kesempatan yang tidak semua orang dapatkan.

Melihat Versi Dirinya yang Muda

Di lapangan sekolah, Renggo melihat versi mudanya lagi. Renggo muda sedang berbincang santai dengan teman-temannya, terlihat tanpa beban. Ia tersenyum pahit. "Kamu nggak tahu apa yang menunggu di masa depan, Nak," pikirnya.

Ketika Renggo muda melangkah pergi, Renggo dewasa memutuskan untuk mengikutinya. Ia ingin mengingat apa yang sebenarnya terjadi di masa itu—apa alasan spesifik yang membuat dirinya meninggalkan Kemuning.

Renggo muda berjalan menuju ruang kelas, dan di sana ia melihat Kemuning yang sedang menulis sesuatu di buku catatannya. Ia mendekati meja Kemuning dan berbicara sebentar dengannya, lalu tiba-tiba pergi. Renggo dewasa merasa ada sesuatu yang salah.

Mencoba Memulai Percakapan

Sore harinya, Renggo dewasa memutuskan untuk mendekati Kemuning muda lagi. Ia menemuinya di taman kecil sekolah, tempat Kemuning sering duduk sendirian membaca buku.

"Kamu suka tempat ini ya?" tanya Renggo, mencoba memulai percakapan. Kemuning menoleh dan menatapnya dengan bingung.

"Iya. Tapi... siapa sih, Kak? Kok kayaknya aku sering lihat Kakak akhir-akhir ini," jawab Kemuning dengan nada curiga.

Renggo terdiam sejenak, berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Aku cuma suka melihat orang-orang yang rajin belajar. Kamu kelihatan cerdas," katanya akhirnya.

Kemuning tersenyum kecil. "Ah, nggak juga. Aku cuma berusaha mengejar impian aja."

Mendengar itu, Renggo merasa hatinya perih. Impian yang dikejar Kemuning akan membawanya ke kesuksesan, tetapi di masa depan, impian itu harus ia jalani sendirian karena dirinya memilih untuk pergi.

Memori yang Terlupakan

Saat berbicara dengan Kemuning, ingatan Renggo mulai kembali. Ia teringat bagaimana dirinya perlahan-lahan mulai menjauh dari Kemuning saat keluarganya mengalami masalah ekonomi. Ia merasa malu dan tak pantas untuk tetap bersama gadis itu, tetapi ia tak pernah punya keberanian untuk mengatakannya langsung.

"Apa yang bisa aku lakukan sekarang?" pikir Renggo. Ia ingin memperbaiki semuanya, tetapi ia tahu ada risiko besar: jika ia mengubah masa lalu, masa depan tidak akan pernah sama lagi. Dan masa depan itu termasuk keberadaan Bima, anaknya yang sangat ia cintai.

Pengaruh Jam Antik

Malam itu, Renggo kembali ke kamar kecil yang ia sewa di dekat sekolah. Ia mengeluarkan jam antik dari kantongnya dan memperhatikannya dengan seksama. Jam itu kini tampak lebih terang, dengan jarum-jarum yang bergerak perlahan.

Ketika ia memutar tombol kecil di sisi jam, ia merasakan dorongan energi aneh yang mengalir melalui tubuhnya. Cahaya biru terang memancar dari jam itu, dan untuk beberapa detik, ia merasa dunia di sekitarnya menjadi kabur.

Namun, ketika cahaya itu menghilang, ia masih berada di masa lalu. Jam itu tidak membawanya kembali ke masa depan, tetapi memberinya petunjuk: waktu di jam menunjukkan sebuah angka, dan angka itu terasa familiar bagi Renggo. Ia menduga itu adalah momen penting dalam hidupnya yang perlu ia perbaiki.

"Mungkin aku harus melakukan sesuatu dulu sebelum jam ini membawaku kembali," gumamnya.

Tanda-tanda Konsekuensi

Saat Renggo berusaha memperbaiki hubungannya dengan Kemuning, ia mulai merasakan perubahan aneh. Kenangan tentang Bima, anaknya, mulai terasa kabur. Ia tak lagi bisa mengingat dengan jelas momen-momen kecil bersama anaknya—tawa Bima, suaranya, bahkan wajahnya perlahan memudar dari ingatannya.

"Apa ini harga yang harus aku bayar?" pikir Renggo panik. Ia menyadari bahwa dengan memperbaiki masa lalu, ia mungkin mengorbankan masa depannya. Namun, ia juga tahu bahwa ia tak bisa berhenti di tengah jalan. Ia harus memilih—antara cinta lamanya atau anak yang menjadi alasan ia bertahan hidup.

Kemuning Mulai Percaya

Beberapa hari kemudian, hubungan Renggo dengan Kemuning muda mulai membaik. Kemuning merasa nyaman berbicara dengannya, meskipun ia masih menganggap Renggo sebagai "kakak alumnus" yang aneh. Renggo menggunakan pengetahuannya tentang masa depan untuk membuat Kemuning terkesan, seperti menebak hal-hal kecil tentang kepribadiannya.

Namun, semakin dekat ia dengan Kemuning, semakin jauh ia merasa dari ingatan tentang Bima. Renggo mulai bertanya-tanya apakah ia benar-benar ingin melanjutkan perjalanan ini.

Akhir Bab

Bab ini diakhiri dengan Renggo yang berdiri di depan Kemuning muda, mencoba mengatakan sesuatu yang penting. Namun, sebelum ia sempat berbicara, jam antik di sakunya mulai bersinar terang lagi, menandakan bahwa waktu tidak akan membiarkannya tinggal lebih lama tanpa membuat pilihan.

Renggo harus segera memutuskan: memperbaiki hubungan dengan Kemuning di masa lalu atau menerima kenyataan di masa depan bersama Bima. Ia tahu, apa pun pilihannya, akan ada konsekuensi yang tidak bisa ia hindari.

 

Bab 5: Awal yang Baru

Hari-hari di masa lalu terus bergulir, dan Renggo merasa seperti terjebak di dalam permainan takdir. Jam antik di sakunya tetap menyala setiap malam, namun ia tidak tahu bagaimana cara mengendalikannya untuk kembali ke masa depan. Di sisi lain, hubungannya dengan Kemuning muda semakin erat. Ia memanfaatkan setiap momen untuk mengenal Kemuning lebih dalam, seolah-olah ia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya.

Namun, semakin ia mencoba membangun kembali hubungan ini, bayangan anaknya, Bima, semakin memudar dari pikirannya. Kenangan tentang Bima menjadi semakin sulit untuk ia genggam, seperti butiran pasir yang perlahan-lahan menghilang di antara jari-jarinya.

Mencoba Menjadi Teman Kemuning

Renggo memutuskan untuk mendekati Kemuning dengan perlahan. Ia ingin membangun kepercayaan, bukan langsung mengungkapkan semuanya. Suatu sore, ia mendapati Kemuning sedang duduk sendiri di taman sekolah, menulis sesuatu di buku catatannya.

"Lagi nulis apa?" tanya Renggo sambil duduk di sampingnya.

Kemuning tersenyum, meskipun tampak terkejut dengan kehadirannya. "Cuma catatan biasa. Aku suka nulis rencana-rencana masa depanku di sini."

Renggo mengangguk sambil melirik tulisan di buku itu. Kemuning menuliskan mimpinya: menjadi seorang pengusaha sukses yang bisa membantu orang-orang di sekitarnya. Renggo tertegun. Ia ingat, semua impian ini benar-benar menjadi kenyataan di masa depan.

"Hebat sekali. Kamu memang punya tekad yang luar biasa," kata Renggo.

Kemuning tertawa kecil. "Semua orang punya mimpi. Tinggal bagaimana kita berusaha mencapainya."

Kata-kata itu membuat Renggo tersentak. Ia teringat bagaimana dirinya di masa depan kehilangan mimpi-mimpinya setelah kehidupan menghancurkan segalanya. Kini ia merasa malu di depan Kemuning muda, yang begitu yakin pada masa depannya.

Mendekati Renggo Muda

Selain mendekati Kemuning, Renggo juga mencoba mencari cara untuk berkomunikasi dengan dirinya yang lebih muda. Ia tahu bahwa versi muda dirinya adalah kunci dari semua ini—jika ia bisa meyakinkan Renggo muda untuk tidak meninggalkan Kemuning, mungkin ia bisa memperbaiki segalanya.

Namun, setiap kali ia mencoba mendekati dirinya yang lebih muda, ada perasaan aneh yang menghalanginya. Seolah-olah dunia menolak pertemuan itu. Ketika ia mencoba berbicara dengan Renggo muda, suasana di sekitarnya menjadi kabur, dan Renggo muda tampak tidak mendengar atau melihatnya.

"Mungkin aku memang nggak boleh langsung mengubah takdir dengan cara ini," gumam Renggo. Ia menyadari bahwa intervensi langsung dengan dirinya yang lebih muda mungkin berisiko menghancurkan keseimbangan waktu.

Kemuning Mulai Curiga

Kemuning mulai menyadari kehadiran Renggo yang terlalu sering di sekitarnya. Suatu hari, ia bertanya langsung, "Kakak ini sebenarnya siapa, sih? Kenapa selalu muncul di mana-mana?"

Renggo terdiam sejenak, mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Aku cuma seseorang yang ingin melihat kamu berhasil. Aku tahu kamu punya masa depan yang cerah."

Kemuning tertawa kecil, meskipun wajahnya masih menunjukkan rasa penasaran. "Masa depan? Kakak ngomongnya aneh banget. Tapi terima kasih kalau Kakak percaya aku bisa sukses."

Meskipun Kemuning mencoba terlihat santai, Renggo tahu bahwa ia mulai curiga. Ia harus lebih berhati-hati jika ingin melanjutkan rencananya untuk memperbaiki hubungan mereka.

Rasa Bersalah yang Semakin Dalam

Setiap kali Renggo berbicara dengan Kemuning, ia merasakan campuran kebahagiaan dan rasa bersalah. Kebahagiaan karena ia bisa kembali berada di sisi Kemuning, tetapi rasa bersalah karena ia tahu bahwa setiap perubahan kecil yang ia lakukan di masa lalu bisa memengaruhi masa depan.

Malam itu, Renggo duduk di bawah pohon mangga di halaman sekolah, memegang jam antik di tangannya. Ia memikirkan Bima—wajah anak itu kini semakin kabur di ingatannya. Ia hampir tidak bisa mengingat suara Bima, senyumnya, atau bahkan momen-momen kecil yang mereka lalui bersama.

"Apa aku benar-benar rela kehilangan anakku demi ini?" pikirnya.

Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa meninggalkan Kemuning lagi. Gadis itu percaya padanya, dan ia merasa bertanggung jawab untuk membangun kembali hubungan mereka.

Momen yang Mengubah Segalanya

Di akhir bab, Renggo memutuskan untuk mengambil langkah besar. Ia mendekati Kemuning di perpustakaan, tempat gadis itu sering menghabiskan waktunya.

"Kemuning, aku harus bilang sesuatu," kata Renggo dengan suara serius.

Kemuning menatapnya dengan alis terangkat. "Apa itu, Kak?"

Sebelum Renggo sempat menjawab, jam antik di kantongnya tiba-tiba bersinar terang. Dunia di sekitarnya mulai bergetar, dan suara mendengung terdengar semakin kencang.

"Tidak sekarang!" teriak Renggo, mencoba mengendalikan jam itu. Tetapi cahaya dari jam semakin terang, dan sebelum ia sempat melakukan apa pun, segalanya menjadi gelap.

Ketika Renggo membuka matanya, ia berada di tempat yang berbeda. Ia masih berada di masa lalu, tetapi suasananya terasa berubah. Ia menyadari bahwa waktu telah melompat lagi, tetapi kali ini, ia tidak tahu di mana atau kapan ia berada.

 

Bab 6: Tanda-Tanda Konsekuensi

Dunia terasa melayang. Renggo membuka matanya perlahan, berusaha memahami di mana ia berada. Cahaya terang dari jam antik sudah memudar, tetapi dadanya masih berdebar keras. Ia melihat sekeliling dan menyadari bahwa ia masih berada di SMA, tetapi suasananya berbeda. Pohon mangga yang biasa ia kenali tampak lebih kecil, dan suasana sekolah tampak lebih ramai.

Ia menyadari bahwa waktu telah melompat lagi, tetapi kali ini ia berada di masa yang lebih awal. Ia melihat dirinya yang lebih muda, bahkan lebih muda daripada sebelumnya—seorang siswa baru SMA dengan wajah polos dan penuh rasa ingin tahu.

Memahami Lompatan Waktu

Renggo duduk di bangku taman, mencoba mengumpulkan pikirannya. Jam antik di sakunya terasa berat, seolah-olah membawa beban yang tidak kasatmata. Ia memutar-mutar tombol kecil di jam itu, tetapi tidak ada respons. Ia mulai merasa bahwa jam itu memiliki kehendaknya sendiri, membawa Renggo ke momen-momen tertentu tanpa peringatan.

"Kenapa aku dibawa ke sini? Apa yang harus aku perbaiki kali ini?" pikirnya sambil menghela napas panjang.

Sambil merenung, ia melihat dirinya yang lebih muda berjalan melewati taman. Renggo muda tampak ceria, berbincang dengan beberapa teman baru. Ia melihat versi muda Kemuning dari kejauhan, tersenyum manis sambil membawa tumpukan buku.

"Ini saat-saat sebelum aku dan Kemuning benar-benar dekat," gumam Renggo. Ia menyadari bahwa ia telah kembali ke masa-masa awal persahabatannya dengan Kemuning.

Kenangan yang Mulai Memudar

Sementara itu, Renggo mulai merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia semakin sulit mengingat masa depan—wajah Bima, suaranya, bahkan momen-momen kecil bersama anaknya perlahan memudar. Ketika ia mencoba memikirkan Bima, yang muncul hanyalah bayangan samar, seperti foto yang mulai pudar.

Renggo panik. "Aku nggak boleh lupa. Aku nggak boleh kehilangan Bima," gumamnya sambil menggenggam erat jam antik. Ia sadar bahwa semakin lama ia tinggal di masa lalu, semakin besar risiko ia kehilangan kenangan tentang anaknya.

Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa kembali begitu saja. Ada sesuatu yang belum selesai di masa ini, dan ia harus menemukannya.

Pertemuan dengan Kemuning yang Lebih Muda

Suatu hari, saat berada di perpustakaan, Renggo tanpa sengaja bertemu dengan Kemuning muda. Gadis itu sedang membaca buku pelajaran matematika, terlihat serius namun cantik. Renggo menghampirinya, mencoba memulai percakapan.

"Matematika ya? Susah nggak?" tanya Renggo dengan nada santai.

Kemuning mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihat orang asing berbicara padanya. "Nggak juga sih, cuma butuh fokus," jawabnya sambil tersenyum.

Percakapan mereka berlangsung singkat, tetapi Renggo merasakan sesuatu yang berbeda. Kemuning muda tampak lebih polos, lebih terbuka, dan penuh dengan harapan. Melihat itu, Renggo merasa berat hati. Ia tahu bahwa di masa depan, ia akan meninggalkan gadis ini tanpa alasan yang jelas.

"Aku nggak boleh mengulangi kesalahan itu," pikirnya.

Kesempatan untuk Memperbaiki

Renggo mulai berpikir bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk memulai segalanya dari awal. Ia mendekati Kemuning dengan cara yang lebih lembut, mencoba membangun kepercayaan secara perlahan. Ia tidak ingin mengubah segalanya terlalu drastis, tetapi ia juga tidak ingin membiarkan sejarah terulang.

Di sisi lain, Renggo mulai menghindari interaksi langsung dengan dirinya yang lebih muda. Ia khawatir bahwa bertemu langsung dengan Renggo muda akan menciptakan paradoks atau konsekuensi besar yang tidak ia inginkan.

Tanda-Tanda Perubahan

Namun, perubahan kecil yang ia lakukan mulai memberikan dampak. Suatu hari, ia menyadari bahwa percakapannya dengan Kemuning muda membuat gadis itu menjadi lebih percaya diri. Kemuning mulai menunjukkan minat untuk berorganisasi di sekolah, sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa lalu.

Perubahan ini membuat Renggo cemas. "Apa yang akan terjadi di masa depan kalau aku terus mengubah hal-hal kecil seperti ini?" pikirnya. Ia mulai menyadari bahwa setiap tindakan yang ia lakukan di masa lalu dapat menciptakan efek riak yang tidak ia duga.

Konsekuensi yang Mulai Tampak

Malam itu, Renggo duduk di bangku taman sekolah, memegang jam antik di tangannya. Ia mencoba memikirkan cara untuk kembali ke masa depan, tetapi tidak ada petunjuk. Saat ia memejamkan mata, wajah Bima muncul di pikirannya—tetapi kali ini, wajah itu tidak jelas.

Air mata mengalir di pipi Renggo. "Aku nggak boleh lupa. Aku harus kembali," gumamnya. Namun, ia juga tahu bahwa ada sesuatu di masa ini yang harus ia selesaikan terlebih dahulu.

Akhir Bab

Bab ini berakhir dengan Renggo yang menyadari bahwa semakin lama ia tinggal di masa lalu, semakin besar risikonya kehilangan Bima sepenuhnya. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa meninggalkan Kemuning begitu saja. Ia terjebak dalam dilema besar, di mana setiap pilihan yang ia buat membawa konsekuensi yang tak terhindarkan.

Sementara itu, jam antik di tangannya mulai menunjukkan tanda-tanda baru—jarum jam bergerak perlahan, menunjukkan waktu yang berbeda, seolah-olah mengisyaratkan bahwa perjalanan berikutnya akan segera dimulai. Renggo tahu, apa pun yang terjadi, ia harus bersiap menghadapi konsekuensi besar yang akan datang.

 

Bab 7: Dilema Hati

Malam terasa lebih sunyi daripada biasanya. Renggo duduk di bangku taman sekolah, memegang jam antik yang kini terasa semakin berat di tangannya. Ia memikirkan dua hal yang terus menghantuinya: Kemuning, cinta lamanya yang kini ia dekati kembali, dan Bima, anaknya yang perlahan memudar dari ingatannya. Dilema ini seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa ia pilih keduanya.

"Apa aku egois kalau terus mencoba memperbaiki masa lalu?" gumamnya dalam hati. Ia tahu, setiap langkah yang ia ambil di sini membawa konsekuensi besar pada masa depan.

Hubungan yang Mulai Berubah

Di hari-hari berikutnya, hubungan Renggo dengan Kemuning muda semakin dekat. Gadis itu mulai mempercayai kehadirannya, meskipun ia masih bingung siapa sebenarnya Renggo. Mereka sering berbicara di taman sekolah, membahas impian dan masa depan.

"Kakak sering bilang aku punya masa depan cerah. Tapi gimana Kakak tahu itu?" tanya Kemuning suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon mangga.

Renggo terdiam. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. "Aku hanya bisa melihat dari cara kamu berpikir, cara kamu bekerja keras. Itu tanda orang yang akan sukses," jawabnya, mencoba terdengar bijak.

Kemuning tersenyum kecil. "Aku berharap Kakak benar."

Namun, setiap senyuman Kemuning membawa rasa bersalah yang semakin dalam bagi Renggo. Ia tahu, semakin ia dekat dengan Kemuning, semakin besar perubahan yang ia ciptakan di masa depan. Dan perubahan itu mungkin akan menghapus Bima dari hidupnya.

Kenangan Bima yang Semakin Memudar

Pada suatu malam, Renggo mencoba mengingat wajah Bima lagi. Ia menutup matanya, mencoba mengingat tawa anak itu, momen-momen kecil ketika mereka bermain bersama. Namun, ingatan itu semakin sulit untuk digapai. Wajah Bima menjadi kabur, seolah-olah ia adalah tokoh dari mimpi yang perlahan memudar.

"Aku nggak boleh lupa," kata Renggo sambil menggenggam jam antik itu erat-erat. "Aku harus kembali ke Bima. Tapi bagaimana?"

Jam itu tetap diam, jarumnya bergerak lambat seolah menunggu sesuatu. Renggo merasa putus asa, terjebak di antara masa lalu dan masa depan.

Konflik dalam Diri

Renggo mulai dihadapkan pada dua pilihan besar. Di satu sisi, ia ingin memperbaiki kesalahannya terhadap Kemuning, memberikan penjelasan yang tidak pernah ia berikan sebelumnya. Di sisi lain, ia tahu bahwa Bima adalah alasan hidupnya yang sebenarnya, dan kehilangan anak itu akan menghancurkan dirinya.

Ia mulai bertanya-tanya: apakah cinta kepada Kemuning lebih penting daripada cinta seorang ayah kepada anaknya? Ataukah ia hanya mencari pelarian dari rasa bersalah yang telah ia simpan selama bertahun-tahun?

"Aku nggak bisa terus seperti ini," gumamnya. Ia tahu, ia harus segera membuat keputusan.

Pertemuan dengan Renggo Muda

Suatu hari, saat berjalan di sekitar sekolah, Renggo tanpa sengaja bertemu dengan dirinya yang lebih muda. Renggo muda sedang duduk sendirian di lapangan basket, tampak murung. Ini adalah momen yang tidak pernah ia ingat dengan jelas sebelumnya.

Renggo dewasa memutuskan untuk mendekat. "Hei, kamu baik-baik saja?" tanyanya, mencoba berbicara dengan hati-hati.

Renggo muda mengangkat wajahnya, menatapnya dengan bingung. "Kakak siapa?"

"Aku cuma... seseorang yang pernah seperti kamu," jawab Renggo. "Kamu kelihatan sedih. Kenapa?"

Renggo muda terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kadang aku merasa nggak cukup baik untuk orang-orang di sekitarku. Rasanya semua impian itu terlalu jauh."

Mendengar itu, Renggo dewasa merasa hatinya perih. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari rasa tidak percaya diri yang membuatnya menjauh dari Kemuning di masa lalu.

"Percayalah, kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan," kata Renggo akhirnya. "Jangan biarkan rasa takut menghentikanmu. Dan kalau kamu mencintai seseorang, jangan pernah ragu untuk mengatakan yang sebenarnya."

Kata-kata itu membuat Renggo muda terdiam, tetapi ia tampak mulai berpikir. Renggo dewasa berharap bahwa pesan ini bisa mengubah cara berpikir dirinya yang lebih muda.

Kemuning Mulai Merasakan Perubahan

Di sisi lain, Kemuning muda mulai menunjukkan perubahan dalam sikapnya. Ia menjadi lebih percaya diri, lebih berani mengambil langkah untuk mencapai impiannya. Ia bahkan mulai berbicara tentang rencana-rencana besar yang tidak pernah ia ungkapkan sebelumnya.

"Aku merasa Kakak benar," kata Kemuning suatu hari kepada Renggo. "Aku harus percaya pada diriku sendiri. Kalau nggak mulai sekarang, kapan lagi?"

Mendengar itu, Renggo merasa bahagia sekaligus cemas. Ia tahu bahwa ia telah berhasil membantu Kemuning, tetapi ia juga tahu bahwa perubahan ini akan membawa efek besar pada masa depan.

Akhir Bab

Bab ini berakhir dengan Renggo yang duduk di bawah pohon mangga, memegang jam antik yang mulai bersinar terang lagi. Ia tahu, waktunya untuk membuat keputusan semakin dekat.

Ia harus memilih antara memperbaiki masa lalunya bersama Kemuning atau kembali ke masa depan untuk bersama Bima. Apa pun yang ia pilih, ia sadar bahwa akan ada sesuatu yang harus ia korbankan. Dan waktu terus berjalan, tanpa memberinya ruang untuk ragu.

 

Bab 8: Pengungkapan Rahasia

Cahaya bulan menyinari wajah Renggo yang tenggelam dalam renungan. Jam antik di tangannya mulai menunjukkan tanda-tanda yang lebih intens—nyala samar berwarna biru yang terus berdenyut seolah memanggilnya untuk bertindak. Namun, Renggo masih terjebak dalam dilema yang tak kunjung usai.

Satu hal yang kini ia yakini adalah bahwa jam ini tidak sepenuhnya acak. Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, dan jawaban dari teka-teki ini mungkin terletak pada asal usul jam tersebut.

Mencari Petunjuk

Renggo memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang jam antik itu. Ia mulai mengingat lokasi di kota tempat ia menemukannya di masa depan. Ia tahu bahwa jam ini berasal dari gudang tua tempat ia bekerja. Tetapi di masa ini, gudang itu belum digunakan untuk penyimpanan barang-barang antik.

Ia menyelinap keluar dari sekolah dan pergi ke lokasi di mana gudang itu berada. Yang ia temukan adalah sebuah rumah tua yang tampak seperti laboratorium kecil. Di depan pintunya tergantung papan bertuliskan nama: Dr. Bagaskara - Peneliti Waktu.

"Apa ini kebetulan?" gumam Renggo, merasakan darahnya berdesir. Ia memberanikan diri mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Dengan hati-hati, ia membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.

Bertemu dengan Sang Ilmuwan

Di dalam ruangan itu, Renggo menemukan seorang pria tua dengan rambut yang hampir seluruhnya putih sedang sibuk di meja kerjanya. Pria itu menoleh ketika melihat Renggo masuk.

"Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya pria itu dengan nada tajam.

Renggo terdiam sejenak, tetapi kemudian ia mengeluarkan jam antik dari sakunya. "Saya butuh bantuan. Jam ini... membawa saya ke masa lalu, dan saya tidak tahu bagaimana cara kembali."

Mata Dr. Bagaskara melebar. Ia berjalan mendekati Renggo dan mengambil jam itu dari tangannya dengan hati-hati, seolah-olah itu adalah benda yang sangat berharga.

"Ini... tidak mungkin," gumamnya. "Jam ini adalah prototipe. Seharusnya belum ada yang menggunakannya. Bagaimana kamu bisa mendapatkannya?"

Renggo menjelaskan dengan singkat bagaimana ia menemukannya di masa depan, di gudang tempat barang-barang tua disimpan. Mendengar cerita itu, Dr. Bagaskara menghela napas panjang. "Sepertinya eksperimenku di masa depan akhirnya berhasil. Tapi kau... kau tidak seharusnya berada di sini."

Rahasia Jam Antik

Dr. Bagaskara menjelaskan bahwa jam itu adalah alat percobaan yang dirancang untuk memungkinkan perjalanan waktu. Namun, alat itu masih belum sempurna, dan ia memperingatkan Renggo bahwa setiap perubahan kecil di masa lalu dapat menciptakan efek domino yang merusak masa depan.

"Setiap keputusan yang kamu buat di sini akan membentuk jalannya waktu. Dan jika kamu terlalu lama tinggal di masa lalu, kau bisa kehilangan tempatmu di masa depan," kata Dr. Bagaskara dengan serius.

Renggo merasakan dada yang semakin sesak. "Tapi aku tidak punya pilihan. Aku ingin memperbaiki kesalahan di masa lalu, tapi aku juga tidak mau kehilangan anakku."

Dr. Bagaskara menatapnya dalam-dalam. "Anakmu? Jadi itu konsekuensi yang mulai terjadi. Semakin banyak kamu mengubah masa lalu, semakin besar kemungkinan masa depan yang kamu kenal tidak akan pernah ada."

Dilema yang Semakin Berat

Penjelasan ini membuat Renggo semakin bingung. Ia menyadari bahwa dengan mendekati Kemuning dan mengubah arah hidupnya, ia telah menciptakan perubahan besar yang akan memengaruhi jalannya waktu. Bima, anak yang sangat ia cintai, mungkin tidak akan pernah lahir jika ia terus mencoba memperbaiki hubungan dengan Kemuning.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Renggo putus asa.

Dr. Bagaskara memandangnya dengan simpati. "Itu tergantung pada apa yang paling kamu hargai. Kamu tidak bisa memiliki keduanya. Waktu adalah garis yang rapuh, dan setiap perubahan akan selalu membawa konsekuensi."

Kemuning Menemukan Kebenaran

Sementara itu, Kemuning mulai merasa ada sesuatu yang aneh dengan kehadiran Renggo di hidupnya. Gadis itu merasa bahwa Renggo tahu terlalu banyak tentang dirinya, bahkan hal-hal yang belum pernah ia ceritakan pada siapa pun.

Suatu sore, saat mereka berbicara di taman sekolah, Kemuning mengungkapkan kecurigaannya. "Kak, aku nggak ngerti kenapa aku merasa Kakak seperti sudah kenal aku jauh sebelum kita bertemu. Siapa sebenarnya Kakak?"

Renggo terdiam, tidak tahu bagaimana menjawab. Namun, melihat wajah Kemuning yang dipenuhi rasa ingin tahu, ia merasa bahwa ini adalah saatnya untuk jujur.

"Aku... berasal dari masa depan," kata Renggo akhirnya. "Aku di sini karena aku ingin memperbaiki kesalahan yang aku buat. Kesalahan yang aku lakukan padamu."

Kemuning menatapnya dengan kaget, tetapi ada sesuatu dalam tatapan itu yang menunjukkan bahwa ia percaya pada Renggo. "Kenapa kamu bilang begitu? Kesalahan apa yang kamu buat?"

Renggo menarik napas panjang. "Aku meninggalkanmu tanpa alasan. Aku pergi karena aku merasa tidak pantas untukmu. Dan sekarang aku di sini, mencoba memperbaiki itu. Tapi... ini bukan tanpa konsekuensi."

Kemuning terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi ia bisa merasakan kejujuran dalam kata-kata Renggo.

Akhir Bab

Bab ini berakhir dengan Renggo yang harus menghadapi kenyataan bahwa ia tidak bisa terus berada di masa lalu tanpa menghancurkan masa depannya. Jam antik mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa waktunya di masa lalu semakin menipis. Ia tahu, keputusan besar harus segera diambil—tetap bersama Kemuning di masa lalu, atau kembali ke masa depan untuk bersama Bima.

Namun, apa pun keputusannya, ia harus siap menghadapi konsekuensi yang tidak dapat dihindari.

 

Bab 9: Perpisahan yang Berat

Renggo duduk di meja kayu di rumah Dr. Bagaskara, memandang jam antik yang kini terasa seperti beban tak kasatmata. Kata-kata sang ilmuwan terus terngiang di telinganya: “Kamu tidak bisa memiliki keduanya. Waktu selalu meminta pengorbanan.”

Di luar jendela, langit mulai gelap. Kemuning menunggu jawaban dari pengakuan Renggo sore itu. Ia telah membuka hatinya, tetapi kini Renggo harus menghadapi kenyataan bahwa waktunya di masa lalu tidak akan lama lagi.

Percakapan dengan Dr. Bagaskara

Dr. Bagaskara duduk di seberang meja, memandangi Renggo dengan tatapan iba. “Jadi, apa yang akan kau lakukan? Kau tahu kau harus membuat pilihan.”

“Tapi kenapa harus ada pilihan? Kenapa aku tidak bisa memperbaiki segalanya tanpa kehilangan apa pun?” tanya Renggo, frustrasi.

Dr. Bagaskara menggelengkan kepala. “Waktu itu rumit. Setiap perubahan kecil menciptakan efek besar. Kau sudah melihatnya sendiri, bukan? Anakmu mulai memudar dari ingatanmu. Itu karena garis waktu yang membentuk keberadaannya perlahan-lahan terhapus.”

“Tapi aku ingin memperbaiki masa laluku. Aku tidak mau meninggalkan Kemuning seperti dulu,” kata Renggo dengan nada lirih.

Dr. Bagaskara menatapnya tajam. “Kemuning akan baik-baik saja, Renggo. Dia punya kekuatan untuk bertahan. Tapi Bima? Anakmu itu bergantung padamu, pada keputusanmu. Dia tidak punya siapa-siapa lagi kecuali dirimu.”

Kata-kata itu menghantam hati Renggo seperti batu. Ia tahu Dr. Bagaskara benar. Tetapi bagaimana ia bisa meninggalkan Kemuning lagi setelah diberi kesempatan kedua?

Pertemuan Terakhir dengan Kemuning

Keesokan harinya, Renggo memutuskan untuk menemui Kemuning di taman sekolah. Gadis itu sedang duduk sendirian, menatap langit dengan wajah penuh pikiran. Ketika ia melihat Renggo mendekat, senyumnya mengembang, tetapi ada keraguan dalam tatapannya.

“Kamu datang juga,” kata Kemuning pelan.

Renggo duduk di sampingnya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Waktu yang mereka habiskan bersama selama beberapa minggu terakhir telah membangkitkan kenangan lama, tetapi juga menciptakan luka baru. Renggo tahu ia tidak bisa terus berlama-lama di masa ini tanpa merusak segalanya.

“Kemuning, aku harus pergi,” kata Renggo akhirnya.

Kemuning menoleh, tatapannya penuh keterkejutan. “Pergi? Maksudmu apa? Kenapa?”

Renggo menggenggam kedua tangan Kemuning, mencoba menenangkan gadis itu. “Aku tidak bisa menjelaskannya lebih jauh, tapi aku tidak bisa terus berada di sini. Aku ingin kau tahu satu hal: aku menyesal meninggalkanmu dulu. Aku menyesal dengan semua yang kulakukan.”

Air mata mengalir di pipi Kemuning. “Tapi aku baru mulai percaya padamu lagi. Kamu nggak bisa pergi begitu saja. Tidak lagi.”

Renggo merasakan hatinya hancur. Ia ingin tinggal, ingin memperbaiki segalanya, tetapi bayangan Bima terus menghantui pikirannya. “Aku harus pergi, karena ada seseorang di masa depan yang membutuhkan aku. Tapi aku janji, kamu akan bahagia. Kamu akan sukses seperti yang selalu kamu impikan.”

Kemuning menggeleng, menahan air matanya. “Tapi aku nggak peduli soal itu. Aku cuma mau tahu kenapa kamu pergi waktu itu. Aku cuma mau tahu apa kamu benar-benar mencintaiku.”

Renggo terdiam. Ia ingin mengatakan semuanya, tetapi waktu tidak mengizinkannya. Jam antik di sakunya mulai bersinar terang, memberikan tanda bahwa waktunya semakin habis.

“Aku mencintaimu, Kemuning,” kata Renggo akhirnya, dengan suara yang hampir bergetar. “Aku selalu mencintaimu. Tapi sekarang aku harus pergi.”

Kembali ke Dr. Bagaskara

Setelah meninggalkan Kemuning dengan hati yang berat, Renggo kembali ke rumah Dr. Bagaskara. Sang ilmuwan telah menyiapkan jam antik untuk perjalanan terakhirnya.

“Kau sudah siap?” tanya Dr. Bagaskara.

Renggo mengangguk, meskipun hatinya masih penuh keraguan. “Aku tidak tahu apa yang menungguku di masa depan, tapi aku tidak bisa membiarkan anakku hilang.”

Dr. Bagaskara mengaktifkan jam antik. Cahaya biru yang terang memancar dari benda itu, menyelimuti tubuh Renggo. Sebelum ia menghilang, Dr. Bagaskara berkata, “Ingatlah, apa yang kau lakukan di masa depan adalah kesempatan terakhir untuk memperbaiki segalanya.”

Kembali ke Masa Depan

Renggo membuka matanya, dan dunia di sekitarnya sudah berubah. Ia kembali ke kamar kontrakan kecilnya. Tidak ada lagi langit biru cerah atau taman sekolah yang penuh kenangan. Yang ada hanyalah ruangan sempit dengan suara kipas angin tua yang berputar pelan.

Namun, di sudut kamar, ia melihat sesuatu yang membuatnya menangis lega. Bima, anak kecilnya, sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajahnya yang polos mengingatkan Renggo bahwa ia telah membuat pilihan yang benar.

Renggo mendekati anaknya, membelai rambutnya dengan lembut. “Ayah pulang, Nak,” bisiknya.

Akhir Bab

Bab ini berakhir dengan Renggo yang kembali ke masa depannya, tetapi dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa perpisahannya dengan Kemuning akan meninggalkan luka, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mengorbankan Bima. Di sudut ruangan, jam antik tergeletak di atas meja, kini redup dan tidak lagi bersinar—seolah-olah perjalanannya telah selesai. Namun, Renggo tahu, perjalanan sebenarnya baru saja dimulai.

 

Bab 10: Kembali ke Masa Depan

Hari pertama setelah kembali ke masa depan terasa seperti mimpi yang berat dan nyata. Renggo terbangun di kamar kontrakannya yang sempit. Suara kipas angin tua dan aroma lembap dari dinding-dinding usang membangunkannya. Di sudut ruangan, Bima duduk di lantai, bermain dengan mainan kecil yang ia buat dari barang-barang bekas.

Melihat Bima membuat hati Renggo hangat sekaligus pedih. Ia berhasil kembali ke masa depan dan memastikan anaknya tetap ada, tetapi ia tahu ada sesuatu yang hilang—Kemuning. Gadis yang pernah ia tinggalkan di masa lalu kini benar-benar tak bisa ia temui lagi. Perjalanan waktu telah membuatnya memilih, dan pilihannya telah membawa konsekuensi yang tak bisa dihindari.

Efek Perubahan Masa Lalu

Seiring hari-hari berlalu, Renggo mulai menyadari perubahan kecil di hidupnya. Meskipun ia masih hidup sederhana, ada beberapa hal yang terasa berbeda. Di tempat kerja, bosnya, Pak Karman, tiba-tiba memanggilnya untuk memberikan pekerjaan yang lebih stabil.

"Renggo, aku tahu kamu pekerja keras. Mulai minggu depan, kamu jadi supervisor pengangkutan di gudang," kata Pak Karman.

Renggo terkejut. Tawaran ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia mulai bertanya-tanya apakah perubahannya di masa lalu berdampak pada kehidupannya di masa depan. Mungkin, keberhasilannya membuat Kemuning lebih percaya diri dan berani mengambil langkah besar juga menciptakan peluang-peluang kecil yang berimbas pada hidupnya.

Namun, meskipun hidupnya sedikit membaik, rasa kehilangan terhadap Kemuning tetap menghantui. Ia sering memandangi jam antik yang kini tergeletak di meja, diam tak bersinar. Ia bertanya-tanya apakah ia pernah bisa melihat Kemuning lagi.

Melihat Kehidupan Kemuning

Suatu hari, saat Renggo sedang berjalan pulang setelah bekerja, ia tanpa sengaja melewati sebuah papan reklame besar di pusat kota. Di papan itu terpampang wajah Kemuning, dengan tulisan besar: "Kemuning Rahadian - Pengusaha Muda Inspiratif."

Melihat wajah itu membuat langkah Renggo terhenti. Kemuning benar-benar telah menjadi orang sukses, persis seperti yang ia ingat. Ia tidak tahu apakah peran kecilnya di masa lalu membantu Kemuning mencapai kesuksesan ini, tetapi ia merasa lega melihat gadis itu tetap bahagia dan berhasil.

Namun, di saat yang sama, ia merasakan kehampaan yang mendalam. Ia tahu bahwa dunia Kemuning kini adalah dunia yang tidak lagi terhubung dengannya.

Kenangan yang Kembali

Malam itu, saat Bima tertidur, Renggo membuka buku catatan kecilnya. Ia mulai menuliskan ingatan-ingatan kecil tentang Kemuning, mencoba mengabadikan perasaan yang kini hanya menjadi kenangan. Ia menulis tentang senyuman Kemuning, tentang pohon mangga di sekolah, dan tentang pengorbanannya untuk kembali kepada Bima.

Namun, semakin ia menulis, ingatannya tentang Kemuning semakin kabur. Seolah-olah waktu perlahan menghapus jejak-jejak masa lalu yang ia ubah. Ia menyadari bahwa waktu memang tidak memberikan kesempatan kedua tanpa harga yang harus dibayar.

Sebuah Surat dari Masa Lalu

Beberapa minggu kemudian, saat sedang membereskan kamar kontrakannya, Renggo menemukan sebuah amplop tua di dalam tasnya. Amplop itu terlihat berdebu, tetapi tertulis jelas namanya di bagian depan. Dengan hati-hati, ia membuka amplop itu dan menemukan surat dengan tulisan tangan yang ia kenali—Kemuning.

"Renggo," tulis surat itu. "Aku tidak tahu kenapa kamu tiba-tiba pergi lagi, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku memaafkanmu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku percaya bahwa kamu melakukan semua ini dengan alasan yang baik. Jika suatu hari nanti kita bertemu lagi, aku berharap kita bisa tersenyum tanpa beban masa lalu."

Surat itu membuat air mata Renggo jatuh. Ia tidak tahu bagaimana surat itu sampai di tasnya, tetapi ia tahu bahwa Kemuning telah menerima kepergiannya. Surat itu menjadi pengingat bahwa meskipun mereka tidak bisa bersama, cinta dan kenangan mereka akan selalu ada.

Membangun Hidup Baru

Setelah membaca surat itu, Renggo merasa beban di hatinya sedikit berkurang. Ia mulai fokus pada Bima dan kehidupannya yang perlahan membaik. Ia menggunakan pelajaran dari masa lalu untuk menjadi ayah yang lebih baik, memberikan perhatian dan cinta yang tidak pernah ia berikan sebelumnya.

Bima, meskipun masih kecil, sering memberikan semangat kepada Renggo. "Ayah, kalau aku besar nanti, aku mau bantu Ayah supaya kita nggak miskin lagi," kata Bima suatu hari.

Renggo tersenyum, memeluk anaknya. "Kamu sudah membantu Ayah lebih dari yang kamu tahu, Nak," jawabnya dengan suara lirih.

Akhir Bab

Bab ini berakhir dengan Renggo yang menatap langit malam dari jendela kontrakannya. Di atas meja, jam antik tetap terdiam, seolah perjalanan waktu telah berakhir. Namun, di dalam hati Renggo, ia tahu bahwa waktu bukanlah musuh, melainkan pelajaran. Ia telah belajar bahwa hidup adalah tentang menerima masa lalu, merangkul masa kini, dan membangun masa depan dengan orang-orang yang paling berarti.

Renggo menutup mata, memikirkan Bima yang tertidur di kamar sebelah dan Kemuning yang kini menjalani hidupnya sendiri. Meski berat, ia merasa bahwa inilah hidup yang harus ia jalani—dengan cinta, kehilangan, dan harapan.

 

Bab 11: Perubahan Tak Terduga

Hari-hari berlalu dengan cepat setelah Renggo memutuskan untuk fokus pada hidupnya bersama Bima. Ia mulai menerima kenyataan bahwa apa yang telah ia ubah di masa lalu akan tetap menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Namun, sesuatu yang tidak ia duga terjadi—sebuah kejadian yang mengguncang keseimbangan hidupnya.

Sebuah Pertemuan yang Mengejutkan

Suatu pagi, ketika Renggo sedang mengantarkan Bima ke sekolah, ia melihat sebuah mobil hitam elegan berhenti di depan sekolah itu. Dari dalam mobil keluar seorang wanita yang sangat ia kenal—Kemuning.

Renggo tertegun, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Kemuning terlihat lebih dewasa, mengenakan setelan bisnis yang rapi, tetapi wajahnya masih sama seperti yang ia ingat. Bima, yang memegang tangan Renggo, bertanya dengan polos, "Ayah, kenapa Ayah diam?"

Sebelum Renggo sempat menjawab, Kemuning menoleh dan mata mereka bertemu. Wajah Kemuning berubah menjadi campuran keterkejutan dan kehangatan. "Renggo?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

Renggo hanya bisa mengangguk, hatinya berdebar kencang.

Kemuning yang Berbeda

Kemuning mendekat, senyumnya masih seperti yang ia ingat, meskipun kini terasa lebih bijaksana. "Aku nggak percaya kita bertemu lagi," katanya. "Apa kabar?"

Renggo mencoba menjawab dengan tenang, meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan. "Aku baik. Kamu... kamu kelihatan sukses sekarang."

Kemuning tersenyum. "Aku sudah lama ingin mencari kamu. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa ada sesuatu yang belum selesai di antara kita."

Mendengar itu, Renggo teringat pada surat yang pernah ia temukan. Ia bertanya-tanya apakah Kemuning benar-benar mengingatnya, atau apakah ini hanya kebetulan yang diciptakan oleh perubahan di masa lalu.

Percakapan yang Mengungkap Segalanya

Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe setelah mengantar Bima ke sekolah. Saat duduk berhadapan, Kemuning mulai menceritakan kehidupannya. Ia menjadi pengusaha yang sukses, tetapi ada sesuatu yang selalu mengganjal di hatinya—kenangan tentang Renggo.

"Aku nggak tahu kenapa, tapi aku selalu merasa kamu adalah bagian penting dari hidupku," kata Kemuning. "Aku pernah mencoba melupakan, tapi rasanya seperti ada lubang yang tidak bisa aku isi."

Renggo terdiam, mendengarkan setiap kata dengan hati yang berat. Ia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana ia telah melompati waktu dan mengubah masa lalu mereka.

"Aku juga merasa seperti itu," jawab Renggo akhirnya. "Tapi aku... aku punya kehidupan yang harus aku jalani sekarang. Ada anakku, Bima."

Kemuning tersenyum hangat. "Aku melihat dia tadi. Anak yang manis. Kamu pasti ayah yang hebat."

Konsekuensi dari Perubahan

Percakapan mereka berlangsung lama, tetapi ada batas yang tidak bisa mereka lewati. Renggo tahu bahwa meskipun mereka bertemu kembali, hubungan mereka tidak bisa kembali seperti dulu. Kemuning memiliki dunianya sendiri, dan Renggo memiliki tanggung jawab sebagai ayah bagi Bima.

Namun, pertemuan ini membawa perubahan dalam hidup Renggo. Ia mulai merasa bahwa apa yang ia lakukan di masa lalu tidak sia-sia. Kemuning menjadi seseorang yang lebih kuat dan lebih percaya diri, dan ia sendiri belajar menerima kenyataan hidup.

Kemuning menutup percakapan itu dengan sebuah kalimat yang menggetarkan hati Renggo. "Aku nggak tahu apa yang terjadi di antara kita, tapi aku bersyukur kita bertemu lagi. Aku harap kita bisa tetap saling mendukung, meskipun jalan kita berbeda."

Renggo hanya bisa mengangguk, menyadari bahwa inilah cara waktu mengajarkan mereka tentang kehilangan dan harapan.

Pertemuan Bima dan Kemuning

Beberapa hari kemudian, Kemuning meminta untuk bertemu dengan Bima. Mereka bertiga pergi makan bersama, dan Renggo merasa aneh melihat bagaimana Bima dengan cepat akrab dengan Kemuning. Anak itu tampak nyaman, bahkan memanggil Kemuning dengan sebutan "Tante Kemu".

Melihat mereka bersama, Renggo merasa ada kedamaian yang perlahan mengisi hatinya. Ia tidak lagi merasa terjebak dalam masa lalu, tetapi mulai menerima bahwa hidupnya sekarang memiliki arti yang berbeda.

Akhir Bab

Bab ini berakhir dengan Renggo yang berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi bintang-bintang di langit malam. Jam antik tergeletak di meja, diam dan tak bersinar, seolah perjalanan waktunya telah selesai.

Namun, ia tahu bahwa hidupnya baru saja dimulai. Dengan Bima di sisinya dan Kemuning yang kini menjadi bagian kecil dari dunianya, Renggo merasa bahwa waktu telah memberinya pelajaran yang tak ternilai—bahwa hidup bukan tentang mengubah masa lalu, tetapi tentang menerima dan membangun masa depan dengan orang-orang yang paling berarti.

Ia tersenyum kecil dan berbisik kepada dirinya sendiri, "Terima kasih, waktu."

 

Bab 12: Jejak yang Baru

Pagi itu terasa berbeda. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kontrakan kecil Renggo membawa kehangatan yang tidak biasa. Hidupnya perlahan berubah setelah pertemuannya kembali dengan Kemuning. Meski mereka tidak bisa kembali seperti dulu, hubungan mereka yang baru mulai memberi Renggo sebuah semangat untuk melangkah maju.

Di meja kecil di sudut ruangan, jam antik tergeletak, tidak lagi bersinar atau memberikan tanda-tanda kehidupan. Seolah-olah perannya telah selesai, dan kini semua keputusan ada di tangan Renggo.

Hari-Hari Bersama Bima

Renggo mulai fokus membangun hidup baru bersama Bima. Pekerjaannya sebagai supervisor di gudang memberikan kestabilan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap pagi, ia mengantar Bima ke sekolah, memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang layak.

"Ayah, nanti kalau aku besar, aku mau bikin ayah bangga," kata Bima suatu pagi saat mereka berjalan menuju sekolah.

Renggo tersenyum, menepuk kepala anaknya dengan lembut. "Ayah sudah bangga sama kamu, Nak. Kamu alasan ayah bertahan."

Bima adalah pengingat nyata dari pilihan yang telah Renggo buat. Meski berat, ia tahu bahwa memilih masa depan bersama anaknya adalah keputusan yang benar.

Kemuning yang Kembali Hadir

Kemuning kini menjadi bagian kecil namun penting dalam hidup Renggo. Mereka sering bertemu untuk berbincang ringan atau makan bersama dengan Bima. Hubungan mereka berubah menjadi persahabatan yang sehat, tanpa beban masa lalu.

Kemuning tampaknya juga menerima kenyataan bahwa hidup mereka berjalan di jalur yang berbeda. Ia sering memberikan dukungan kepada Renggo, baik secara emosional maupun praktis.

"Aku kagum sama kamu, Renggo. Kamu bertahan, meskipun hidup nggak selalu adil," kata Kemuning suatu hari saat mereka berbicara di sebuah kafe.

Renggo hanya tersenyum kecil. "Aku belajar banyak dari masa lalu, Mun. Yang penting sekarang adalah bagaimana aku menjalani hari ini."

Jam Antik yang Diam

Namun, meskipun hidupnya perlahan membaik, Renggo masih sering memandangi jam antik di mejanya. Benda itu menjadi simbol dari perjalanan waktu yang ia lalui—pengingat akan keputusan yang harus ia buat dan konsekuensi yang harus ia tanggung.

Suatu malam, saat Bima sudah tertidur, Renggo memegang jam itu dengan hati-hati. Ia bertanya-tanya apakah ia masih memiliki kesempatan untuk kembali ke masa lalu. Tapi, semakin lama ia merenung, semakin ia menyadari bahwa waktu tidak lagi perlu diubah.

"Masa lalu sudah selesai. Aku harus menjalani masa depanku sekarang," katanya kepada dirinya sendiri sebelum meletakkan jam itu kembali.

Membangun Masa Depan

Renggo mulai merancang langkah-langkah kecil untuk meningkatkan hidupnya. Ia mendaftar kursus manajemen untuk memperbaiki kemampuannya di tempat kerja. Ia juga mulai menyisihkan uang untuk pendidikan Bima, memastikan anaknya tidak akan mengalami kesulitan seperti dirinya.

Di sisi lain, ia tetap menjaga hubungan baik dengan Kemuning. Mereka sering berbagi cerita tentang tantangan masing-masing, saling mendukung tanpa mengharapkan lebih.

"Kamu tahu, Mun? Aku nggak akan sampai di titik ini kalau bukan karena kamu," kata Renggo suatu kali.

Kemuning tersenyum hangat. "Aku juga belajar banyak dari kamu, Renggo. Mungkin kita nggak bisa mengulang yang dulu, tapi aku bersyukur kita bisa tetap saling mendukung."

Pesan dari Waktu

Pada suatu malam, Renggo mendapati Bima sedang memegang jam antik di meja. Anak itu memandang benda itu dengan penuh rasa ingin tahu.

"Ayah, ini jam aneh ya? Kok nggak jalan?" tanya Bima.

Renggo mengambil jam itu dari tangan Bima, lalu tersenyum. "Ini bukan jam biasa, Nak. Tapi sekarang jam ini sudah selesai tugasnya."

Bima mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya mengerti. "Jadi ini seperti teman Ayah ya?"

"Bisa dibilang begitu," jawab Renggo. "Tapi teman ini sudah membantu Ayah membuat keputusan besar. Sekarang tugas Ayah adalah menjaga kamu."

Akhir yang Baru

Bab ini diakhiri dengan Renggo yang berdiri di jendela kamarnya, memandangi bintang-bintang di langit malam. Ia merasa damai, meskipun hidupnya tidak sempurna. Bima tidur nyenyak di kamar sebelah, dan jam antik tetap tergeletak di meja, menjadi saksi bisu perjalanan waktu yang penuh pelajaran.

Renggo menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Waktu memang tidak bisa diubah, tapi kita bisa belajar darinya. Aku akan terus maju, demi diriku dan demi anakku."

Hidup Renggo mungkin tidak seperti yang ia bayangkan, tetapi ia telah menemukan kebahagiaan dalam bentuk yang sederhana—cinta seorang ayah kepada anaknya, dan kenangan akan seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Dengan tekad baru, Renggo menutup lembaran lama dan melangkah ke depan, membangun hidupnya di atas fondasi yang lebih kokoh. Waktu, meskipun kejam, telah mengajarinya arti cinta, kehilangan, dan harapan.

Tamat.