Novel Singkat: Cinta dan Pintu Masa
Bab 1: Kehidupan yang Retak
Pagi yang suram itu seperti biasa menemani Renggo.
Cahaya matahari yang menyelinap melalui celah-celah jendela kamar kontrakan
mungilnya tak cukup untuk mengusir rasa lelah yang membungkus tubuhnya. Di
sudut ruangan, Bima, anak lelakinya yang berusia lima tahun, masih tertidur
lelap dengan selimut tipis yang sudah usang.
Renggo duduk di kursi reyot di samping ranjang, memandangi
wajah polos anaknya. Wajah yang selalu menjadi alasan baginya untuk bertahan,
meskipun hidup terasa seperti beban yang tak kunjung ringan. Sejak istrinya
pergi meninggalkan mereka setahun lalu, Renggo harus menjalani hidup sendirian
sebagai ayah sekaligus ibu bagi Bima.
"Ayah lapar," suara kecil Bima memecah
lamunannya. Renggo menoleh dan mendapati anaknya sudah bangun, mengusap matanya
dengan punggung tangan.
"Sebentar, Nak. Ayah buatkan sarapan."
Dengan langkah berat, Renggo menuju dapur yang hanya
berjarak beberapa langkah dari ranjang. Isi lemari dapur sangat menyedihkan:
sepotong roti tawar yang hampir berjamur dan sedikit mentega. Dengan hati-hati,
ia memanggang roti itu di atas wajan tua, berharap Bima tidak mengeluhkan rasa
atau porsinya.
Hari yang sama, perjuangan yang sama. Setelah
menyuapi Bima, Renggo bersiap pergi bekerja. Ia bekerja serabutan, menerima apa
saja yang bisa memberinya uang. Pagi itu, ia harus membantu mengangkut barang
di sebuah gudang tua di pinggir kota. Kontrakan mereka memang dekat, tetapi
setiap langkah menuju tempat kerja selalu terasa berat bagi Renggo.
Di Gudang Tua
Renggo tiba di gudang tepat waktu, meskipun wajahnya
menunjukkan kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. Teman kerjanya, Pak Karman,
seorang pria tua yang lebih banyak diam, menyapanya singkat sebelum kembali
sibuk dengan pekerjaannya. Gudang itu penuh dengan barang-barang tua, sebagian
besar seperti tidak berguna lagi. Tumpukan kardus, mesin-mesin rusak, dan
furnitur yang ditinggalkan pemiliknya menciptakan suasana yang suram.
Saat tengah mengangkat sebuah kotak besar, pandangan Renggo
tertuju pada sesuatu yang berkilau di sudut gelap gudang. Ia mendekat dan
menemukan sebuah jam antik dengan bingkai logam berukir. Jam itu terlihat
berkarat, tetapi masih memiliki pesona tersendiri.
"Apa ini masih berfungsi?" gumam Renggo
sambil mengusap permukaan kaca jam itu. Ia tak tahu kenapa, tapi ia merasa
tertarik membawa benda itu pulang. Setelah memastikan tidak ada yang
memperhatikannya, ia menyelipkan jam tersebut ke dalam tas tuanya.
Pertemuan Tak Terduga
Sore itu, setelah bekerja, Renggo berhenti di sebuah taman
kecil di dekat pusat kota. Ia membawa Bima untuk bermain sebentar, membiarkan
anak itu menikmati waktu di luar meskipun dirinya lelah. Saat ia duduk di
bangku taman sambil mengawasi Bima bermain ayunan, pandangannya tanpa sengaja
bertemu dengan seorang wanita.
Wanita itu mengenakan blazer biru tua yang elegan, rambutnya
disanggul rapi, dan wajahnya tampak bersinar meskipun matahari mulai tenggelam.
Mata mereka bertemu sejenak, dan jantung Renggo berdegup lebih cepat.
"Kemuning?" bisiknya tak percaya. Wanita
itu mendekat, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menyapanya.
"Renggo?" suara itu, suara yang dulu sangat
ia kenal, kini terdengar lebih dewasa, lebih tegas.
Kemuning berdiri di hadapannya, menatapnya dengan campuran
keterkejutan dan kehangatan. Namun, di balik senyuman itu, Renggo merasakan
beban baru yang menyesakkan dadanya. Ia sadar, hidup mereka kini berada di
dunia yang sangat berbeda.
"Sudah lama sekali," kata Kemuning, memecah
keheningan.
Renggo hanya bisa mengangguk. Kata-kata seakan tak mampu
keluar dari mulutnya. Ia ingin bertanya banyak hal, ingin menjelaskan
segalanya, tapi rasa malu dan rendah diri menahannya.
"Ini anakmu?" tanya Kemuning sambil melirik
ke arah Bima yang sedang tertawa di ayunan. Renggo hanya mengangguk lagi.
"Aku harus pergi," kata Kemuning tiba-tiba,
melihat jam tangan mewahnya. Sebelum pergi, ia tersenyum kecil dan berkata, "Senang
bertemu lagi, Renggo."
Kemuning melangkah pergi, meninggalkan Renggo yang masih
terpaku. Rasa bersalah, harapan, dan kenangan lama bercampur menjadi satu dalam
pikirannya. Ia tahu pertemuan ini hanya awal dari perjalanan panjang yang
mungkin akan mengubah hidupnya.
Bab 2: Bayangan Masa Lalu
Malam itu, Renggo tak bisa tidur. Pikirannya terus
melayang-layang, membawa ingatannya ke masa SMA. Pertemuan dengan Kemuning di
taman telah membangkitkan sesuatu yang lama terkubur—penyesalan yang tak pernah
benar-benar hilang. Sambil memandangi jam antik yang ia temukan di gudang, ia teringat
kembali saat-saat di mana ia dan Kemuning pernah bahagia bersama.
Kenangan SMA
Renggo dan Kemuning adalah pasangan yang dikenal banyak
orang di SMA mereka. Kemuning adalah gadis ceria dengan segudang impian,
sedangkan Renggo adalah siswa yang cerdas namun sederhana. Mereka sering
menghabiskan waktu bersama di bawah pohon mangga di halaman sekolah, berbicara
tentang masa depan.
"Nanti, aku mau jadi pengusaha besar," kata
Kemuning dengan mata berbinar.
"Kalau aku?" Renggo bertanya sambil
tersenyum.
"Kamu bakal jadi apa aja yang kamu mau. Aku percaya
kamu."
Namun, hubungan mereka tidak berlangsung lama. Di tahun
terakhir SMA, Renggo tiba-tiba menjauh tanpa alasan. Ia berhenti menemui
Kemuning, mengabaikan pesan-pesan darinya, dan akhirnya benar-benar menghilang
dari kehidupannya. Hingga kini, alasan mengapa ia melakukannya masih menjadi
luka yang ia sembunyikan, bahkan dari dirinya sendiri.
Kenyataan Pahit
Renggo menghela napas panjang, memandangi langit-langit
kontrakan yang penuh bercak air hujan. Ia tahu alasan ia meninggalkan Kemuning.
Saat itu, keluarga Renggo jatuh miskin setelah ayahnya meninggal dunia dan
ibunya terpaksa menjual semua yang mereka miliki. Ia merasa tidak pantas untuk
tetap berada di sisi Kemuning, seseorang yang penuh harapan dan masa depan
cerah.
Namun sekarang, melihat Kemuning yang sudah sukses, ia
merasa lebih kecil lagi. Hidupnya berantakan, dan satu-satunya hal yang ia
miliki hanyalah Bima. Ia ingin mendekati Kemuning, meminta maaf, mungkin
memulai kembali. Tapi apa yang bisa ia tawarkan selain kisah hidup yang penuh
kegagalan?
"Ayah kenapa?" Suara kecil Bima membuat
Renggo tersentak. Anak itu berdiri di samping tempat tidurnya, mengucek-ucek
mata.
"Nggak apa-apa, Nak. Kamu tidur lagi, ya."
Bima memeluk ayahnya sebelum kembali tidur. Sentuhan kecil
itu membuat Renggo sadar bahwa anaknya adalah alasan ia tetap bertahan,
meskipun ia merasa kosong. Tapi perasaan itu tak cukup untuk menghapus rasa
bersalahnya pada Kemuning.
Pertemuan yang Tak Sengaja Lagi
Keesokan harinya, tanpa sengaja Renggo bertemu Kemuning
lagi, kali ini di sebuah kafe kecil tempat ia biasa membeli kopi murah.
Kemuning sedang duduk di meja dekat jendela, terlihat sibuk membaca dokumen. Ia
tampak anggun dengan kemeja putih dan rambut yang digerai.
Renggo ingin melangkah pergi, tetapi Kemuning sudah
melihatnya.
"Renggo!" panggilnya, membuat orang-orang
di kafe menoleh.
Dengan enggan, Renggo mendekat. Ia merasa canggung, tapi
Kemuning tersenyum seperti tidak ada yang berubah. Mereka berbincang sejenak,
membicarakan hal-hal ringan. Kemuning tetap ramah, tetapi setiap kata yang ia
ucapkan seperti menampar Renggo, mengingatkannya pada jarak yang kini
membentang di antara mereka.
"Bagaimana hidupmu sekarang?" tanya
Kemuning akhirnya.
Renggo ingin menjawab bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi
ia tak bisa berbohong. "Tidak terlalu baik," jawabnya singkat.
Kemuning tampak ingin bertanya lebih jauh, tetapi ia menahan diri.
Sebelum berpisah, Kemuning memberikan kartu namanya. "Kalau
kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk menghubungi aku," katanya.
Renggo menerima kartu itu dengan tangan gemetar, merasa malu tetapi juga
bersyukur.
Kembali ke Kenangan
Malamnya, Renggo duduk di lantai kontrakan, memegang kartu
nama Kemuning. Nama itu tertulis dengan huruf tegas, bersama logo perusahaan
yang tidak ia kenali. Ia tahu Kemuning tulus ingin membantunya, tetapi
bagaimana ia bisa menerima bantuan dari seseorang yang pernah ia kecewakan?
Ia memandangi jam antik yang ia temukan di gudang. Bentuknya
memang unik, tetapi jarum jam itu tidak pernah bergerak. Ada sesuatu yang aneh
pada jam itu, sesuatu yang membuatnya tidak bisa berhenti memikirkannya.
Saat sedang memeriksa jam itu, tiba-tiba lampu kontrakan
berkedip-kedip. Suara mendengung pelan terdengar dari jam, membuat Renggo
terkejut. Ia mencoba memutar tombol kecil di sisi jam, dan mendadak cahaya
terang keluar dari benda itu.
Sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, dunia di
sekitarnya mulai berputar. Renggo merasa tubuhnya seperti ditarik ke dalam
pusaran yang tak terlihat.
"Apa yang terjadi?" teriaknya, tetapi tidak
ada jawaban.
Akhir Bab
Bab ini berakhir dengan Renggo mendapati dirinya berdiri di
halaman SMA-nya. Di depan matanya, ia melihat dirinya yang lebih muda, bersama
Kemuning yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, tertawa di bawah pohon
mangga.
Waktu telah mundur. Renggo menyadari bahwa jam antik itu
bukan benda biasa, melainkan kunci untuk kembali ke masa lalu. Dan kini, ia
dihadapkan pada kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya—tetapi tanpa
mengetahui harga yang harus ia bayar.
Bab 3: Penemuan yang Aneh
Renggo berdiri terpaku di bawah pohon mangga besar itu.
Angin sepoi-sepoi yang membawa aroma khas halaman sekolah membuat tubuhnya
merinding. Di depannya, ia melihat dirinya sendiri dalam balutan seragam putih
abu-abu. Usia 17 tahun, dengan wajah yang penuh semangat dan impian. Di
sebelahnya, Kemuning muda tersenyum ceria, menyandarkan kepala di bahu Renggo
muda sambil memegang buku pelajaran.
"Apa ini mimpi?" Renggo membatin. Ia
mencubit lengannya, merasakan sakit yang nyata. Tidak, ini bukan mimpi. Ia
benar-benar kembali ke masa lalu.
Mencoba Memahami Situasi
Renggo menjauh dari pohon itu, menyusuri halaman sekolah
dengan hati-hati. Ia mengenali setiap sudutnya, mulai dari kantin hingga
lapangan basket yang selalu dipenuhi siswa. Namun, suasana ini terasa aneh,
seolah ia adalah penonton di dunia yang dulu sangat ia kenal.
Ia mencoba berbicara dengan beberapa siswa yang lewat,
tetapi tidak ada yang mengenalinya. Mereka semua melihatnya seperti orang
asing. Di sebuah cermin kecil di koridor, ia mendapati bahwa ia tetap terlihat
seperti dirinya yang berusia 27 tahun—bukan remaja SMA.
Panik mulai merayapi pikirannya. "Bagaimana aku bisa
kembali? Dan yang lebih penting, bagaimana aku bisa keluar dari sini?"
pikirnya sambil memegangi jam antik yang kini ada di kantong celananya.
Pertemuan dengan Kemuning Muda
Ketika ia sedang berusaha memahami situasinya, suara lembut
yang sangat dikenalnya terdengar dari belakang.
"Kakak siapa? Kenapa ada di sekolah ini?"
Renggo menoleh, dan matanya bertemu dengan Kemuning muda.
Gadis itu mengenakan seragam SMA yang rapi, dengan rambut hitam panjang yang
diikat kuncir kuda. Wajahnya terlihat sama seperti yang ia ingat, penuh dengan
keceriaan dan rasa ingin tahu.
"Ah, aku..." Renggo terdiam sejenak,
bingung harus mengatakan apa. Ia merasa lidahnya kelu, tapi ia tahu ini adalah
kesempatan pertama untuk berbicara dengan Kemuning tanpa membawa beban masa
depan.
"Aku hanya... jalan-jalan. Ini sekolah lamaku,"
katanya akhirnya.
Kemuning memandangnya curiga, tetapi senyum kecil muncul di
wajahnya. "Oh, alumnus ya? Tahun berapa lulusnya? Aku nggak pernah
lihat Kakak sebelumnya."
Renggo ingin menjawab, tetapi ia tahu terlalu banyak detail
bisa membuat Kemuning curiga. "Ya, sudah lama sekali. Mungkin kamu
belum lahir waktu itu," katanya, mencoba bercanda. Kemuning tertawa
kecil dan mengangguk sebelum pergi meninggalkannya.
Melihat Kemuning berjalan pergi, Renggo merasa hatinya
dipenuhi campuran perasaan bahagia dan sedih. Ini adalah kesempatan yang ia
idamkan selama bertahun-tahun—kesempatan untuk bertemu Kemuning dan memperbaiki
kesalahannya.
Bertemu Dirinya yang Lebih Muda
Beberapa saat kemudian, Renggo menyaksikan sesuatu yang
membuatnya terdiam: dirinya sendiri di masa muda sedang bermain basket bersama
teman-temannya. Melihat versi muda dirinya dari kejauhan membuat Renggo sadar
betapa berbeda hidupnya kini.
"Dia nggak tahu apa yang akan terjadi,"
gumamnya. Ia merasa ingin mendekati dirinya yang lebih muda, memperingatkan
bahwa keputusan-keputusan yang akan ia buat nanti akan membawa penyesalan.
Namun, ia sadar bahwa berbicara dengan dirinya sendiri bisa menciptakan
konsekuensi yang tak terduga.
"Aku harus hati-hati," pikirnya.
Penemuan tentang Jam Antik
Saat malam tiba, Renggo duduk di bangku panjang dekat
lapangan sekolah. Ia memegang jam antik itu, mencoba mencari tahu bagaimana
benda itu bekerja. Jam itu terlihat tua dan berkarat, tetapi permukaan kaca dan
jarumnya mulai menyala samar-samar setiap kali ia menggenggamnya dengan erat.
Ia memutar tombol kecil di sisi jam, tetapi tidak ada yang
terjadi. Frustrasi, ia menatap benda itu. "Apa aku terjebak di sini
selamanya?" pikirnya. Ia tahu bahwa ini bukan hanya perjalanan waktu
biasa—ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi.
Mengintip Masa Depan Kemuning
Keesokan harinya, Renggo mulai mengikuti Kemuning di
sekolah, berusaha mempelajari lebih banyak tentang gadis yang dulu ia
tinggalkan. Ia melihat bagaimana Kemuning selalu dikelilingi teman-temannya,
dengan tawa riangnya yang memancar. Ia juga menyaksikan Kemuning yang rajin
belajar, sering berada di perpustakaan sendirian.
Di perpustakaan, ia tanpa sengaja mendengar Kemuning
berbicara dengan salah satu temannya.
"Renggo kok akhir-akhir ini menjauh ya?"
tanya Kemuning kepada temannya.
Mendengar pertanyaan itu, Renggo merasa dadanya sesak. Ia
tahu, ini adalah masa-masa ketika dirinya mulai menghindari Kemuning. Masa-masa
ketika ia merasa tidak layak untuk tetap berada di sisinya.
"Dia mungkin sibuk. Atau mungkin ada masalah yang
dia nggak mau cerita," jawab temannya.
Kemuning menghela napas. "Aku harap dia tahu aku
selalu ada untuk dia, apa pun yang terjadi."
Kata-kata itu membuat Renggo merasa bersalah lebih dari
sebelumnya. Ia tahu bahwa di masa depan, ia akan meninggalkan gadis itu tanpa
memberikan alasan apa pun.
Akhir Bab
Bab ini berakhir dengan Renggo berjanji pada dirinya sendiri
bahwa ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Ia akan menggunakan
kesempatan ini untuk memperbaiki hubungannya dengan Kemuning, bahkan jika itu
berarti mengubah jalan hidupnya sepenuhnya.
Namun, di balik tekad itu, Renggo mulai merasakan bayangan
konsekuensi besar yang mungkin harus ia tanggung. Ia belum menyadari bahwa
setiap perubahan kecil yang ia buat di masa lalu akan memengaruhi masa
depan—dan kehidupan anaknya, Bima.
Bab 4: Lompatan ke Masa Lalu
Pagi itu terasa seperti mimpi yang belum selesai.
Renggo masih terjebak di masa lalu, di SMA tempat ia dan Kemuning pernah
membangun kenangan bersama. Ia menyadari bahwa jam antik di tangannya bukan
sekadar benda biasa, melainkan alat yang telah membawanya ke titik di mana
segalanya dimulai.
Namun, ia tak tahu bagaimana cara kembali ke masa depan.
Lebih dari itu, ia tak yakin apakah ia benar-benar ingin kembali. Di sini, ia
memiliki kesempatan kedua—kesempatan yang tidak semua orang dapatkan.
Melihat Versi Dirinya yang Muda
Di lapangan sekolah, Renggo melihat versi mudanya lagi.
Renggo muda sedang berbincang santai dengan teman-temannya, terlihat tanpa
beban. Ia tersenyum pahit. "Kamu nggak tahu apa yang menunggu di masa
depan, Nak," pikirnya.
Ketika Renggo muda melangkah pergi, Renggo dewasa memutuskan
untuk mengikutinya. Ia ingin mengingat apa yang sebenarnya terjadi di masa
itu—apa alasan spesifik yang membuat dirinya meninggalkan Kemuning.
Renggo muda berjalan menuju ruang kelas, dan di sana ia
melihat Kemuning yang sedang menulis sesuatu di buku catatannya. Ia mendekati
meja Kemuning dan berbicara sebentar dengannya, lalu tiba-tiba pergi. Renggo
dewasa merasa ada sesuatu yang salah.
Mencoba Memulai Percakapan
Sore harinya, Renggo dewasa memutuskan untuk mendekati
Kemuning muda lagi. Ia menemuinya di taman kecil sekolah, tempat Kemuning
sering duduk sendirian membaca buku.
"Kamu suka tempat ini ya?" tanya Renggo,
mencoba memulai percakapan. Kemuning menoleh dan menatapnya dengan bingung.
"Iya. Tapi... siapa sih, Kak? Kok kayaknya aku
sering lihat Kakak akhir-akhir ini," jawab Kemuning dengan nada
curiga.
Renggo terdiam sejenak, berusaha mencari alasan yang masuk
akal. "Aku cuma suka melihat orang-orang yang rajin belajar. Kamu
kelihatan cerdas," katanya akhirnya.
Kemuning tersenyum kecil. "Ah, nggak juga. Aku cuma
berusaha mengejar impian aja."
Mendengar itu, Renggo merasa hatinya perih. Impian yang
dikejar Kemuning akan membawanya ke kesuksesan, tetapi di masa depan, impian
itu harus ia jalani sendirian karena dirinya memilih untuk pergi.
Memori yang Terlupakan
Saat berbicara dengan Kemuning, ingatan Renggo mulai
kembali. Ia teringat bagaimana dirinya perlahan-lahan mulai menjauh dari
Kemuning saat keluarganya mengalami masalah ekonomi. Ia merasa malu dan tak
pantas untuk tetap bersama gadis itu, tetapi ia tak pernah punya keberanian
untuk mengatakannya langsung.
"Apa yang bisa aku lakukan sekarang?" pikir
Renggo. Ia ingin memperbaiki semuanya, tetapi ia tahu ada risiko besar: jika ia
mengubah masa lalu, masa depan tidak akan pernah sama lagi. Dan masa depan itu
termasuk keberadaan Bima, anaknya yang sangat ia cintai.
Pengaruh Jam Antik
Malam itu, Renggo kembali ke kamar kecil yang ia sewa di
dekat sekolah. Ia mengeluarkan jam antik dari kantongnya dan memperhatikannya
dengan seksama. Jam itu kini tampak lebih terang, dengan jarum-jarum yang
bergerak perlahan.
Ketika ia memutar tombol kecil di sisi jam, ia merasakan
dorongan energi aneh yang mengalir melalui tubuhnya. Cahaya biru terang
memancar dari jam itu, dan untuk beberapa detik, ia merasa dunia di sekitarnya
menjadi kabur.
Namun, ketika cahaya itu menghilang, ia masih berada di masa
lalu. Jam itu tidak membawanya kembali ke masa depan, tetapi memberinya
petunjuk: waktu di jam menunjukkan sebuah angka, dan angka itu terasa familiar
bagi Renggo. Ia menduga itu adalah momen penting dalam hidupnya yang perlu ia
perbaiki.
"Mungkin aku harus melakukan sesuatu dulu sebelum
jam ini membawaku kembali," gumamnya.
Tanda-tanda Konsekuensi
Saat Renggo berusaha memperbaiki hubungannya dengan
Kemuning, ia mulai merasakan perubahan aneh. Kenangan tentang Bima, anaknya,
mulai terasa kabur. Ia tak lagi bisa mengingat dengan jelas momen-momen kecil
bersama anaknya—tawa Bima, suaranya, bahkan wajahnya perlahan memudar dari
ingatannya.
"Apa ini harga yang harus aku bayar?" pikir
Renggo panik. Ia menyadari bahwa dengan memperbaiki masa lalu, ia mungkin
mengorbankan masa depannya. Namun, ia juga tahu bahwa ia tak bisa berhenti di
tengah jalan. Ia harus memilih—antara cinta lamanya atau anak yang menjadi
alasan ia bertahan hidup.
Kemuning Mulai Percaya
Beberapa hari kemudian, hubungan Renggo dengan Kemuning muda
mulai membaik. Kemuning merasa nyaman berbicara dengannya, meskipun ia masih
menganggap Renggo sebagai "kakak alumnus" yang aneh. Renggo
menggunakan pengetahuannya tentang masa depan untuk membuat Kemuning terkesan,
seperti menebak hal-hal kecil tentang kepribadiannya.
Namun, semakin dekat ia dengan Kemuning, semakin jauh ia
merasa dari ingatan tentang Bima. Renggo mulai bertanya-tanya apakah ia
benar-benar ingin melanjutkan perjalanan ini.
Akhir Bab
Bab ini diakhiri dengan Renggo yang berdiri di depan
Kemuning muda, mencoba mengatakan sesuatu yang penting. Namun, sebelum ia
sempat berbicara, jam antik di sakunya mulai bersinar terang lagi, menandakan
bahwa waktu tidak akan membiarkannya tinggal lebih lama tanpa membuat pilihan.
Renggo harus segera memutuskan: memperbaiki hubungan dengan
Kemuning di masa lalu atau menerima kenyataan di masa depan bersama Bima. Ia
tahu, apa pun pilihannya, akan ada konsekuensi yang tidak bisa ia hindari.
Bab 5: Awal yang Baru
Hari-hari di masa lalu terus bergulir, dan Renggo merasa
seperti terjebak di dalam permainan takdir. Jam antik di sakunya tetap
menyala setiap malam, namun ia tidak tahu bagaimana cara mengendalikannya untuk
kembali ke masa depan. Di sisi lain, hubungannya dengan Kemuning muda semakin
erat. Ia memanfaatkan setiap momen untuk mengenal Kemuning lebih dalam,
seolah-olah ia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya.
Namun, semakin ia mencoba membangun kembali hubungan ini,
bayangan anaknya, Bima, semakin memudar dari pikirannya. Kenangan tentang Bima
menjadi semakin sulit untuk ia genggam, seperti butiran pasir yang
perlahan-lahan menghilang di antara jari-jarinya.
Mencoba Menjadi Teman Kemuning
Renggo memutuskan untuk mendekati Kemuning dengan perlahan.
Ia ingin membangun kepercayaan, bukan langsung mengungkapkan semuanya. Suatu
sore, ia mendapati Kemuning sedang duduk sendiri di taman sekolah, menulis
sesuatu di buku catatannya.
"Lagi nulis apa?" tanya Renggo sambil duduk
di sampingnya.
Kemuning tersenyum, meskipun tampak terkejut dengan
kehadirannya. "Cuma catatan biasa. Aku suka nulis rencana-rencana masa
depanku di sini."
Renggo mengangguk sambil melirik tulisan di buku itu.
Kemuning menuliskan mimpinya: menjadi seorang pengusaha sukses yang bisa
membantu orang-orang di sekitarnya. Renggo tertegun. Ia ingat, semua impian ini
benar-benar menjadi kenyataan di masa depan.
"Hebat sekali. Kamu memang punya tekad yang luar
biasa," kata Renggo.
Kemuning tertawa kecil. "Semua orang punya mimpi.
Tinggal bagaimana kita berusaha mencapainya."
Kata-kata itu membuat Renggo tersentak. Ia teringat
bagaimana dirinya di masa depan kehilangan mimpi-mimpinya setelah kehidupan
menghancurkan segalanya. Kini ia merasa malu di depan Kemuning muda, yang
begitu yakin pada masa depannya.
Mendekati Renggo Muda
Selain mendekati Kemuning, Renggo juga mencoba mencari cara
untuk berkomunikasi dengan dirinya yang lebih muda. Ia tahu bahwa versi muda
dirinya adalah kunci dari semua ini—jika ia bisa meyakinkan Renggo muda untuk
tidak meninggalkan Kemuning, mungkin ia bisa memperbaiki segalanya.
Namun, setiap kali ia mencoba mendekati dirinya yang lebih
muda, ada perasaan aneh yang menghalanginya. Seolah-olah dunia menolak
pertemuan itu. Ketika ia mencoba berbicara dengan Renggo muda, suasana di
sekitarnya menjadi kabur, dan Renggo muda tampak tidak mendengar atau
melihatnya.
"Mungkin aku memang nggak boleh langsung mengubah
takdir dengan cara ini," gumam Renggo. Ia menyadari bahwa intervensi
langsung dengan dirinya yang lebih muda mungkin berisiko menghancurkan
keseimbangan waktu.
Kemuning Mulai Curiga
Kemuning mulai menyadari kehadiran Renggo yang terlalu
sering di sekitarnya. Suatu hari, ia bertanya langsung, "Kakak ini
sebenarnya siapa, sih? Kenapa selalu muncul di mana-mana?"
Renggo terdiam sejenak, mencoba mencari alasan yang masuk
akal. "Aku cuma seseorang yang ingin melihat kamu berhasil. Aku tahu
kamu punya masa depan yang cerah."
Kemuning tertawa kecil, meskipun wajahnya masih menunjukkan
rasa penasaran. "Masa depan? Kakak ngomongnya aneh banget. Tapi terima
kasih kalau Kakak percaya aku bisa sukses."
Meskipun Kemuning mencoba terlihat santai, Renggo tahu bahwa
ia mulai curiga. Ia harus lebih berhati-hati jika ingin melanjutkan rencananya
untuk memperbaiki hubungan mereka.
Rasa Bersalah yang Semakin Dalam
Setiap kali Renggo berbicara dengan Kemuning, ia merasakan
campuran kebahagiaan dan rasa bersalah. Kebahagiaan karena ia bisa kembali
berada di sisi Kemuning, tetapi rasa bersalah karena ia tahu bahwa setiap
perubahan kecil yang ia lakukan di masa lalu bisa memengaruhi masa depan.
Malam itu, Renggo duduk di bawah pohon mangga di halaman
sekolah, memegang jam antik di tangannya. Ia memikirkan Bima—wajah anak itu
kini semakin kabur di ingatannya. Ia hampir tidak bisa mengingat suara Bima,
senyumnya, atau bahkan momen-momen kecil yang mereka lalui bersama.
"Apa aku benar-benar rela kehilangan anakku demi
ini?" pikirnya.
Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa meninggalkan
Kemuning lagi. Gadis itu percaya padanya, dan ia merasa bertanggung jawab untuk
membangun kembali hubungan mereka.
Momen yang Mengubah Segalanya
Di akhir bab, Renggo memutuskan untuk mengambil langkah
besar. Ia mendekati Kemuning di perpustakaan, tempat gadis itu sering
menghabiskan waktunya.
"Kemuning, aku harus bilang sesuatu," kata
Renggo dengan suara serius.
Kemuning menatapnya dengan alis terangkat. "Apa itu,
Kak?"
Sebelum Renggo sempat menjawab, jam antik di kantongnya
tiba-tiba bersinar terang. Dunia di sekitarnya mulai bergetar, dan suara
mendengung terdengar semakin kencang.
"Tidak sekarang!" teriak Renggo, mencoba
mengendalikan jam itu. Tetapi cahaya dari jam semakin terang, dan sebelum ia
sempat melakukan apa pun, segalanya menjadi gelap.
Ketika Renggo membuka matanya, ia berada di tempat yang
berbeda. Ia masih berada di masa lalu, tetapi suasananya terasa berubah. Ia
menyadari bahwa waktu telah melompat lagi, tetapi kali ini, ia tidak tahu di
mana atau kapan ia berada.
Bab 6: Tanda-Tanda Konsekuensi
Dunia terasa melayang. Renggo membuka matanya
perlahan, berusaha memahami di mana ia berada. Cahaya terang dari jam antik
sudah memudar, tetapi dadanya masih berdebar keras. Ia melihat sekeliling dan
menyadari bahwa ia masih berada di SMA, tetapi suasananya berbeda. Pohon mangga
yang biasa ia kenali tampak lebih kecil, dan suasana sekolah tampak lebih
ramai.
Ia menyadari bahwa waktu telah melompat lagi, tetapi kali
ini ia berada di masa yang lebih awal. Ia melihat dirinya yang lebih muda,
bahkan lebih muda daripada sebelumnya—seorang siswa baru SMA dengan wajah polos
dan penuh rasa ingin tahu.
Memahami Lompatan Waktu
Renggo duduk di bangku taman, mencoba mengumpulkan
pikirannya. Jam antik di sakunya terasa berat, seolah-olah membawa beban yang
tidak kasatmata. Ia memutar-mutar tombol kecil di jam itu, tetapi tidak ada
respons. Ia mulai merasa bahwa jam itu memiliki kehendaknya sendiri, membawa
Renggo ke momen-momen tertentu tanpa peringatan.
"Kenapa aku dibawa ke sini? Apa yang harus aku
perbaiki kali ini?" pikirnya sambil menghela napas panjang.
Sambil merenung, ia melihat dirinya yang lebih muda berjalan
melewati taman. Renggo muda tampak ceria, berbincang dengan beberapa teman
baru. Ia melihat versi muda Kemuning dari kejauhan, tersenyum manis sambil
membawa tumpukan buku.
"Ini saat-saat sebelum aku dan Kemuning benar-benar
dekat," gumam Renggo. Ia menyadari bahwa ia telah kembali ke masa-masa
awal persahabatannya dengan Kemuning.
Kenangan yang Mulai Memudar
Sementara itu, Renggo mulai merasakan sesuatu yang aneh
dalam dirinya. Ia semakin sulit mengingat masa depan—wajah Bima, suaranya,
bahkan momen-momen kecil bersama anaknya perlahan memudar. Ketika ia mencoba
memikirkan Bima, yang muncul hanyalah bayangan samar, seperti foto yang mulai
pudar.
Renggo panik. "Aku nggak boleh lupa. Aku nggak boleh
kehilangan Bima," gumamnya sambil menggenggam erat jam antik. Ia sadar
bahwa semakin lama ia tinggal di masa lalu, semakin besar risiko ia kehilangan
kenangan tentang anaknya.
Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa kembali begitu saja.
Ada sesuatu yang belum selesai di masa ini, dan ia harus menemukannya.
Pertemuan dengan Kemuning yang Lebih Muda
Suatu hari, saat berada di perpustakaan, Renggo tanpa
sengaja bertemu dengan Kemuning muda. Gadis itu sedang membaca buku pelajaran
matematika, terlihat serius namun cantik. Renggo menghampirinya, mencoba
memulai percakapan.
"Matematika ya? Susah nggak?" tanya Renggo
dengan nada santai.
Kemuning mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihat orang
asing berbicara padanya. "Nggak juga sih, cuma butuh fokus,"
jawabnya sambil tersenyum.
Percakapan mereka berlangsung singkat, tetapi Renggo
merasakan sesuatu yang berbeda. Kemuning muda tampak lebih polos, lebih
terbuka, dan penuh dengan harapan. Melihat itu, Renggo merasa berat hati. Ia
tahu bahwa di masa depan, ia akan meninggalkan gadis ini tanpa alasan yang
jelas.
"Aku nggak boleh mengulangi kesalahan itu,"
pikirnya.
Kesempatan untuk Memperbaiki
Renggo mulai berpikir bahwa ini adalah kesempatan baginya
untuk memulai segalanya dari awal. Ia mendekati Kemuning dengan cara yang lebih
lembut, mencoba membangun kepercayaan secara perlahan. Ia tidak ingin mengubah
segalanya terlalu drastis, tetapi ia juga tidak ingin membiarkan sejarah
terulang.
Di sisi lain, Renggo mulai menghindari interaksi langsung
dengan dirinya yang lebih muda. Ia khawatir bahwa bertemu langsung dengan
Renggo muda akan menciptakan paradoks atau konsekuensi besar yang tidak ia
inginkan.
Tanda-Tanda Perubahan
Namun, perubahan kecil yang ia lakukan mulai memberikan
dampak. Suatu hari, ia menyadari bahwa percakapannya dengan Kemuning muda
membuat gadis itu menjadi lebih percaya diri. Kemuning mulai menunjukkan minat
untuk berorganisasi di sekolah, sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa lalu.
Perubahan ini membuat Renggo cemas. "Apa yang akan
terjadi di masa depan kalau aku terus mengubah hal-hal kecil seperti ini?"
pikirnya. Ia mulai menyadari bahwa setiap tindakan yang ia lakukan di masa lalu
dapat menciptakan efek riak yang tidak ia duga.
Konsekuensi yang Mulai Tampak
Malam itu, Renggo duduk di bangku taman sekolah, memegang
jam antik di tangannya. Ia mencoba memikirkan cara untuk kembali ke masa depan,
tetapi tidak ada petunjuk. Saat ia memejamkan mata, wajah Bima muncul di
pikirannya—tetapi kali ini, wajah itu tidak jelas.
Air mata mengalir di pipi Renggo. "Aku nggak boleh
lupa. Aku harus kembali," gumamnya. Namun, ia juga tahu bahwa ada
sesuatu di masa ini yang harus ia selesaikan terlebih dahulu.
Akhir Bab
Bab ini berakhir dengan Renggo yang menyadari bahwa semakin
lama ia tinggal di masa lalu, semakin besar risikonya kehilangan Bima
sepenuhnya. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa meninggalkan Kemuning
begitu saja. Ia terjebak dalam dilema besar, di mana setiap pilihan yang ia
buat membawa konsekuensi yang tak terhindarkan.
Sementara itu, jam antik di tangannya mulai menunjukkan
tanda-tanda baru—jarum jam bergerak perlahan, menunjukkan waktu yang berbeda,
seolah-olah mengisyaratkan bahwa perjalanan berikutnya akan segera dimulai.
Renggo tahu, apa pun yang terjadi, ia harus bersiap menghadapi konsekuensi
besar yang akan datang.
Bab 7: Dilema Hati
Malam terasa lebih sunyi daripada biasanya. Renggo
duduk di bangku taman sekolah, memegang jam antik yang kini terasa semakin
berat di tangannya. Ia memikirkan dua hal yang terus menghantuinya: Kemuning,
cinta lamanya yang kini ia dekati kembali, dan Bima, anaknya yang perlahan
memudar dari ingatannya. Dilema ini seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa
ia pilih keduanya.
"Apa aku egois kalau terus mencoba memperbaiki masa
lalu?" gumamnya dalam hati. Ia tahu, setiap langkah yang ia ambil di
sini membawa konsekuensi besar pada masa depan.
Hubungan yang Mulai Berubah
Di hari-hari berikutnya, hubungan Renggo dengan Kemuning
muda semakin dekat. Gadis itu mulai mempercayai kehadirannya, meskipun ia masih
bingung siapa sebenarnya Renggo. Mereka sering berbicara di taman sekolah,
membahas impian dan masa depan.
"Kakak sering bilang aku punya masa depan cerah.
Tapi gimana Kakak tahu itu?" tanya Kemuning suatu sore, saat mereka
duduk di bawah pohon mangga.
Renggo terdiam. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. "Aku
hanya bisa melihat dari cara kamu berpikir, cara kamu bekerja keras. Itu tanda
orang yang akan sukses," jawabnya, mencoba terdengar bijak.
Kemuning tersenyum kecil. "Aku berharap Kakak
benar."
Namun, setiap senyuman Kemuning membawa rasa bersalah yang
semakin dalam bagi Renggo. Ia tahu, semakin ia dekat dengan Kemuning, semakin
besar perubahan yang ia ciptakan di masa depan. Dan perubahan itu mungkin akan
menghapus Bima dari hidupnya.
Kenangan Bima yang Semakin Memudar
Pada suatu malam, Renggo mencoba mengingat wajah Bima lagi.
Ia menutup matanya, mencoba mengingat tawa anak itu, momen-momen kecil ketika
mereka bermain bersama. Namun, ingatan itu semakin sulit untuk digapai. Wajah
Bima menjadi kabur, seolah-olah ia adalah tokoh dari mimpi yang perlahan
memudar.
"Aku nggak boleh lupa," kata Renggo sambil
menggenggam jam antik itu erat-erat. "Aku harus kembali ke Bima. Tapi
bagaimana?"
Jam itu tetap diam, jarumnya bergerak lambat seolah menunggu
sesuatu. Renggo merasa putus asa, terjebak di antara masa lalu dan masa depan.
Konflik dalam Diri
Renggo mulai dihadapkan pada dua pilihan besar. Di satu
sisi, ia ingin memperbaiki kesalahannya terhadap Kemuning, memberikan
penjelasan yang tidak pernah ia berikan sebelumnya. Di sisi lain, ia tahu bahwa
Bima adalah alasan hidupnya yang sebenarnya, dan kehilangan anak itu akan
menghancurkan dirinya.
Ia mulai bertanya-tanya: apakah cinta kepada Kemuning lebih
penting daripada cinta seorang ayah kepada anaknya? Ataukah ia hanya mencari
pelarian dari rasa bersalah yang telah ia simpan selama bertahun-tahun?
"Aku nggak bisa terus seperti ini,"
gumamnya. Ia tahu, ia harus segera membuat keputusan.
Pertemuan dengan Renggo Muda
Suatu hari, saat berjalan di sekitar sekolah, Renggo tanpa
sengaja bertemu dengan dirinya yang lebih muda. Renggo muda sedang duduk
sendirian di lapangan basket, tampak murung. Ini adalah momen yang tidak pernah
ia ingat dengan jelas sebelumnya.
Renggo dewasa memutuskan untuk mendekat. "Hei, kamu
baik-baik saja?" tanyanya, mencoba berbicara dengan hati-hati.
Renggo muda mengangkat wajahnya, menatapnya dengan bingung. "Kakak
siapa?"
"Aku cuma... seseorang yang pernah seperti
kamu," jawab Renggo. "Kamu kelihatan sedih. Kenapa?"
Renggo muda terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kadang
aku merasa nggak cukup baik untuk orang-orang di sekitarku. Rasanya semua
impian itu terlalu jauh."
Mendengar itu, Renggo dewasa merasa hatinya perih. Ia tahu
bahwa ini adalah awal dari rasa tidak percaya diri yang membuatnya menjauh dari
Kemuning di masa lalu.
"Percayalah, kamu lebih kuat dari yang kamu
pikirkan," kata Renggo akhirnya. "Jangan biarkan rasa takut
menghentikanmu. Dan kalau kamu mencintai seseorang, jangan pernah ragu untuk
mengatakan yang sebenarnya."
Kata-kata itu membuat Renggo muda terdiam, tetapi ia tampak
mulai berpikir. Renggo dewasa berharap bahwa pesan ini bisa mengubah cara
berpikir dirinya yang lebih muda.
Kemuning Mulai Merasakan Perubahan
Di sisi lain, Kemuning muda mulai menunjukkan perubahan
dalam sikapnya. Ia menjadi lebih percaya diri, lebih berani mengambil langkah
untuk mencapai impiannya. Ia bahkan mulai berbicara tentang rencana-rencana
besar yang tidak pernah ia ungkapkan sebelumnya.
"Aku merasa Kakak benar," kata Kemuning
suatu hari kepada Renggo. "Aku harus percaya pada diriku sendiri. Kalau
nggak mulai sekarang, kapan lagi?"
Mendengar itu, Renggo merasa bahagia sekaligus cemas. Ia
tahu bahwa ia telah berhasil membantu Kemuning, tetapi ia juga tahu bahwa
perubahan ini akan membawa efek besar pada masa depan.
Akhir Bab
Bab ini berakhir dengan Renggo yang duduk di bawah pohon
mangga, memegang jam antik yang mulai bersinar terang lagi. Ia tahu, waktunya
untuk membuat keputusan semakin dekat.
Ia harus memilih antara memperbaiki masa lalunya bersama
Kemuning atau kembali ke masa depan untuk bersama Bima. Apa pun yang ia pilih,
ia sadar bahwa akan ada sesuatu yang harus ia korbankan. Dan waktu terus
berjalan, tanpa memberinya ruang untuk ragu.
Bab 8: Pengungkapan Rahasia
Cahaya bulan menyinari wajah Renggo yang tenggelam dalam
renungan. Jam antik di tangannya mulai menunjukkan tanda-tanda yang lebih
intens—nyala samar berwarna biru yang terus berdenyut seolah memanggilnya untuk
bertindak. Namun, Renggo masih terjebak dalam dilema yang tak kunjung usai.
Satu hal yang kini ia yakini adalah bahwa jam ini tidak
sepenuhnya acak. Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, dan jawaban dari
teka-teki ini mungkin terletak pada asal usul jam tersebut.
Mencari Petunjuk
Renggo memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang
jam antik itu. Ia mulai mengingat lokasi di kota tempat ia menemukannya di masa
depan. Ia tahu bahwa jam ini berasal dari gudang tua tempat ia bekerja. Tetapi
di masa ini, gudang itu belum digunakan untuk penyimpanan barang-barang antik.
Ia menyelinap keluar dari sekolah dan pergi ke lokasi di
mana gudang itu berada. Yang ia temukan adalah sebuah rumah tua yang tampak
seperti laboratorium kecil. Di depan pintunya tergantung papan bertuliskan
nama: Dr. Bagaskara - Peneliti Waktu.
"Apa ini kebetulan?" gumam Renggo,
merasakan darahnya berdesir. Ia memberanikan diri mengetuk pintu, tetapi tidak
ada jawaban. Dengan hati-hati, ia membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.
Bertemu dengan Sang Ilmuwan
Di dalam ruangan itu, Renggo menemukan seorang pria tua
dengan rambut yang hampir seluruhnya putih sedang sibuk di meja kerjanya. Pria
itu menoleh ketika melihat Renggo masuk.
"Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?"
tanya pria itu dengan nada tajam.
Renggo terdiam sejenak, tetapi kemudian ia mengeluarkan jam
antik dari sakunya. "Saya butuh bantuan. Jam ini... membawa saya ke
masa lalu, dan saya tidak tahu bagaimana cara kembali."
Mata Dr. Bagaskara melebar. Ia berjalan mendekati Renggo dan
mengambil jam itu dari tangannya dengan hati-hati, seolah-olah itu adalah benda
yang sangat berharga.
"Ini... tidak mungkin," gumamnya. "Jam
ini adalah prototipe. Seharusnya belum ada yang menggunakannya. Bagaimana kamu
bisa mendapatkannya?"
Renggo menjelaskan dengan singkat bagaimana ia menemukannya
di masa depan, di gudang tempat barang-barang tua disimpan. Mendengar cerita
itu, Dr. Bagaskara menghela napas panjang. "Sepertinya eksperimenku di
masa depan akhirnya berhasil. Tapi kau... kau tidak seharusnya berada di
sini."
Rahasia Jam Antik
Dr. Bagaskara menjelaskan bahwa jam itu adalah alat
percobaan yang dirancang untuk memungkinkan perjalanan waktu. Namun, alat itu
masih belum sempurna, dan ia memperingatkan Renggo bahwa setiap perubahan kecil
di masa lalu dapat menciptakan efek domino yang merusak masa depan.
"Setiap keputusan yang kamu buat di sini akan
membentuk jalannya waktu. Dan jika kamu terlalu lama tinggal di masa lalu, kau
bisa kehilangan tempatmu di masa depan," kata Dr. Bagaskara dengan
serius.
Renggo merasakan dada yang semakin sesak. "Tapi aku
tidak punya pilihan. Aku ingin memperbaiki kesalahan di masa lalu, tapi aku
juga tidak mau kehilangan anakku."
Dr. Bagaskara menatapnya dalam-dalam. "Anakmu? Jadi
itu konsekuensi yang mulai terjadi. Semakin banyak kamu mengubah masa lalu,
semakin besar kemungkinan masa depan yang kamu kenal tidak akan pernah
ada."
Dilema yang Semakin Berat
Penjelasan ini membuat Renggo semakin bingung. Ia menyadari
bahwa dengan mendekati Kemuning dan mengubah arah hidupnya, ia telah
menciptakan perubahan besar yang akan memengaruhi jalannya waktu. Bima, anak
yang sangat ia cintai, mungkin tidak akan pernah lahir jika ia terus mencoba
memperbaiki hubungan dengan Kemuning.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Renggo
putus asa.
Dr. Bagaskara memandangnya dengan simpati. "Itu
tergantung pada apa yang paling kamu hargai. Kamu tidak bisa memiliki keduanya.
Waktu adalah garis yang rapuh, dan setiap perubahan akan selalu membawa
konsekuensi."
Kemuning Menemukan Kebenaran
Sementara itu, Kemuning mulai merasa ada sesuatu yang aneh
dengan kehadiran Renggo di hidupnya. Gadis itu merasa bahwa Renggo tahu terlalu
banyak tentang dirinya, bahkan hal-hal yang belum pernah ia ceritakan pada
siapa pun.
Suatu sore, saat mereka berbicara di taman sekolah, Kemuning
mengungkapkan kecurigaannya. "Kak, aku nggak ngerti kenapa aku merasa
Kakak seperti sudah kenal aku jauh sebelum kita bertemu. Siapa sebenarnya
Kakak?"
Renggo terdiam, tidak tahu bagaimana menjawab. Namun,
melihat wajah Kemuning yang dipenuhi rasa ingin tahu, ia merasa bahwa ini
adalah saatnya untuk jujur.
"Aku... berasal dari masa depan," kata
Renggo akhirnya. "Aku di sini karena aku ingin memperbaiki kesalahan
yang aku buat. Kesalahan yang aku lakukan padamu."
Kemuning menatapnya dengan kaget, tetapi ada sesuatu dalam
tatapan itu yang menunjukkan bahwa ia percaya pada Renggo. "Kenapa kamu
bilang begitu? Kesalahan apa yang kamu buat?"
Renggo menarik napas panjang. "Aku meninggalkanmu
tanpa alasan. Aku pergi karena aku merasa tidak pantas untukmu. Dan sekarang
aku di sini, mencoba memperbaiki itu. Tapi... ini bukan tanpa
konsekuensi."
Kemuning terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi ia
bisa merasakan kejujuran dalam kata-kata Renggo.
Akhir Bab
Bab ini berakhir dengan Renggo yang harus menghadapi
kenyataan bahwa ia tidak bisa terus berada di masa lalu tanpa menghancurkan
masa depannya. Jam antik mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa waktunya di masa
lalu semakin menipis. Ia tahu, keputusan besar harus segera diambil—tetap
bersama Kemuning di masa lalu, atau kembali ke masa depan untuk bersama Bima.
Namun, apa pun keputusannya, ia harus siap menghadapi
konsekuensi yang tidak dapat dihindari.
Bab 9: Perpisahan yang Berat
Renggo duduk di meja kayu di rumah Dr. Bagaskara,
memandang jam antik yang kini terasa seperti beban tak kasatmata. Kata-kata
sang ilmuwan terus terngiang di telinganya: “Kamu tidak bisa memiliki
keduanya. Waktu selalu meminta pengorbanan.”
Di luar jendela, langit mulai gelap. Kemuning menunggu
jawaban dari pengakuan Renggo sore itu. Ia telah membuka hatinya, tetapi kini
Renggo harus menghadapi kenyataan bahwa waktunya di masa lalu tidak akan lama
lagi.
Percakapan dengan Dr. Bagaskara
Dr. Bagaskara duduk di seberang meja, memandangi Renggo
dengan tatapan iba. “Jadi, apa yang akan kau lakukan? Kau tahu kau harus
membuat pilihan.”
“Tapi kenapa harus ada pilihan? Kenapa aku tidak bisa
memperbaiki segalanya tanpa kehilangan apa pun?” tanya Renggo, frustrasi.
Dr. Bagaskara menggelengkan kepala. “Waktu itu rumit.
Setiap perubahan kecil menciptakan efek besar. Kau sudah melihatnya sendiri,
bukan? Anakmu mulai memudar dari ingatanmu. Itu karena garis waktu yang
membentuk keberadaannya perlahan-lahan terhapus.”
“Tapi aku ingin memperbaiki masa laluku. Aku tidak mau
meninggalkan Kemuning seperti dulu,” kata Renggo dengan nada lirih.
Dr. Bagaskara menatapnya tajam. “Kemuning akan baik-baik
saja, Renggo. Dia punya kekuatan untuk bertahan. Tapi Bima? Anakmu itu
bergantung padamu, pada keputusanmu. Dia tidak punya siapa-siapa lagi kecuali
dirimu.”
Kata-kata itu menghantam hati Renggo seperti batu. Ia tahu
Dr. Bagaskara benar. Tetapi bagaimana ia bisa meninggalkan Kemuning lagi
setelah diberi kesempatan kedua?
Pertemuan Terakhir dengan Kemuning
Keesokan harinya, Renggo memutuskan untuk menemui Kemuning
di taman sekolah. Gadis itu sedang duduk sendirian, menatap langit dengan wajah
penuh pikiran. Ketika ia melihat Renggo mendekat, senyumnya mengembang, tetapi
ada keraguan dalam tatapannya.
“Kamu datang juga,” kata Kemuning pelan.
Renggo duduk di sampingnya. Ia tidak tahu harus mulai dari
mana. Waktu yang mereka habiskan bersama selama beberapa minggu terakhir telah
membangkitkan kenangan lama, tetapi juga menciptakan luka baru. Renggo tahu ia
tidak bisa terus berlama-lama di masa ini tanpa merusak segalanya.
“Kemuning, aku harus pergi,” kata Renggo akhirnya.
Kemuning menoleh, tatapannya penuh keterkejutan. “Pergi?
Maksudmu apa? Kenapa?”
Renggo menggenggam kedua tangan Kemuning, mencoba
menenangkan gadis itu. “Aku tidak bisa menjelaskannya lebih jauh, tapi aku
tidak bisa terus berada di sini. Aku ingin kau tahu satu hal: aku menyesal
meninggalkanmu dulu. Aku menyesal dengan semua yang kulakukan.”
Air mata mengalir di pipi Kemuning. “Tapi aku baru mulai
percaya padamu lagi. Kamu nggak bisa pergi begitu saja. Tidak lagi.”
Renggo merasakan hatinya hancur. Ia ingin tinggal, ingin
memperbaiki segalanya, tetapi bayangan Bima terus menghantui pikirannya. “Aku
harus pergi, karena ada seseorang di masa depan yang membutuhkan aku. Tapi aku
janji, kamu akan bahagia. Kamu akan sukses seperti yang selalu kamu impikan.”
Kemuning menggeleng, menahan air matanya. “Tapi aku nggak
peduli soal itu. Aku cuma mau tahu kenapa kamu pergi waktu itu. Aku cuma mau
tahu apa kamu benar-benar mencintaiku.”
Renggo terdiam. Ia ingin mengatakan semuanya, tetapi waktu
tidak mengizinkannya. Jam antik di sakunya mulai bersinar terang, memberikan
tanda bahwa waktunya semakin habis.
“Aku mencintaimu, Kemuning,” kata Renggo akhirnya,
dengan suara yang hampir bergetar. “Aku selalu mencintaimu. Tapi sekarang
aku harus pergi.”
Kembali ke Dr. Bagaskara
Setelah meninggalkan Kemuning dengan hati yang berat, Renggo
kembali ke rumah Dr. Bagaskara. Sang ilmuwan telah menyiapkan jam antik untuk
perjalanan terakhirnya.
“Kau sudah siap?” tanya Dr. Bagaskara.
Renggo mengangguk, meskipun hatinya masih penuh keraguan. “Aku
tidak tahu apa yang menungguku di masa depan, tapi aku tidak bisa membiarkan
anakku hilang.”
Dr. Bagaskara mengaktifkan jam antik. Cahaya biru yang
terang memancar dari benda itu, menyelimuti tubuh Renggo. Sebelum ia
menghilang, Dr. Bagaskara berkata, “Ingatlah, apa yang kau lakukan di masa
depan adalah kesempatan terakhir untuk memperbaiki segalanya.”
Kembali ke Masa Depan
Renggo membuka matanya, dan dunia di sekitarnya sudah
berubah. Ia kembali ke kamar kontrakan kecilnya. Tidak ada lagi langit biru
cerah atau taman sekolah yang penuh kenangan. Yang ada hanyalah ruangan sempit
dengan suara kipas angin tua yang berputar pelan.
Namun, di sudut kamar, ia melihat sesuatu yang membuatnya
menangis lega. Bima, anak kecilnya, sedang tertidur lelap di atas ranjang.
Wajahnya yang polos mengingatkan Renggo bahwa ia telah membuat pilihan yang
benar.
Renggo mendekati anaknya, membelai rambutnya dengan lembut. “Ayah
pulang, Nak,” bisiknya.
Akhir Bab
Bab ini berakhir dengan Renggo yang kembali ke masa
depannya, tetapi dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa perpisahannya dengan
Kemuning akan meninggalkan luka, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa
mengorbankan Bima. Di sudut ruangan, jam antik tergeletak di atas meja, kini
redup dan tidak lagi bersinar—seolah-olah perjalanannya telah selesai. Namun,
Renggo tahu, perjalanan sebenarnya baru saja dimulai.
Bab 10: Kembali ke Masa Depan
Hari pertama setelah kembali ke masa depan terasa seperti
mimpi yang berat dan nyata. Renggo terbangun di kamar kontrakannya yang
sempit. Suara kipas angin tua dan aroma lembap dari dinding-dinding usang
membangunkannya. Di sudut ruangan, Bima duduk di lantai, bermain dengan mainan
kecil yang ia buat dari barang-barang bekas.
Melihat Bima membuat hati Renggo hangat sekaligus pedih. Ia
berhasil kembali ke masa depan dan memastikan anaknya tetap ada, tetapi ia tahu
ada sesuatu yang hilang—Kemuning. Gadis yang pernah ia tinggalkan di masa lalu
kini benar-benar tak bisa ia temui lagi. Perjalanan waktu telah membuatnya
memilih, dan pilihannya telah membawa konsekuensi yang tak bisa dihindari.
Efek Perubahan Masa Lalu
Seiring hari-hari berlalu, Renggo mulai menyadari perubahan
kecil di hidupnya. Meskipun ia masih hidup sederhana, ada beberapa hal yang
terasa berbeda. Di tempat kerja, bosnya, Pak Karman, tiba-tiba memanggilnya
untuk memberikan pekerjaan yang lebih stabil.
"Renggo, aku tahu kamu pekerja keras. Mulai minggu
depan, kamu jadi supervisor pengangkutan di gudang," kata Pak Karman.
Renggo terkejut. Tawaran ini tidak pernah terjadi
sebelumnya. Ia mulai bertanya-tanya apakah perubahannya di masa lalu berdampak
pada kehidupannya di masa depan. Mungkin, keberhasilannya membuat Kemuning
lebih percaya diri dan berani mengambil langkah besar juga menciptakan
peluang-peluang kecil yang berimbas pada hidupnya.
Namun, meskipun hidupnya sedikit membaik, rasa kehilangan
terhadap Kemuning tetap menghantui. Ia sering memandangi jam antik yang kini
tergeletak di meja, diam tak bersinar. Ia bertanya-tanya apakah ia pernah bisa
melihat Kemuning lagi.
Melihat Kehidupan Kemuning
Suatu hari, saat Renggo sedang berjalan pulang setelah
bekerja, ia tanpa sengaja melewati sebuah papan reklame besar di pusat kota. Di
papan itu terpampang wajah Kemuning, dengan tulisan besar: "Kemuning
Rahadian - Pengusaha Muda Inspiratif."
Melihat wajah itu membuat langkah Renggo terhenti. Kemuning
benar-benar telah menjadi orang sukses, persis seperti yang ia ingat. Ia tidak
tahu apakah peran kecilnya di masa lalu membantu Kemuning mencapai kesuksesan
ini, tetapi ia merasa lega melihat gadis itu tetap bahagia dan berhasil.
Namun, di saat yang sama, ia merasakan kehampaan yang
mendalam. Ia tahu bahwa dunia Kemuning kini adalah dunia yang tidak lagi
terhubung dengannya.
Kenangan yang Kembali
Malam itu, saat Bima tertidur, Renggo membuka buku catatan
kecilnya. Ia mulai menuliskan ingatan-ingatan kecil tentang Kemuning, mencoba
mengabadikan perasaan yang kini hanya menjadi kenangan. Ia menulis tentang
senyuman Kemuning, tentang pohon mangga di sekolah, dan tentang pengorbanannya
untuk kembali kepada Bima.
Namun, semakin ia menulis, ingatannya tentang Kemuning
semakin kabur. Seolah-olah waktu perlahan menghapus jejak-jejak masa lalu yang
ia ubah. Ia menyadari bahwa waktu memang tidak memberikan kesempatan kedua
tanpa harga yang harus dibayar.
Sebuah Surat dari Masa Lalu
Beberapa minggu kemudian, saat sedang membereskan kamar
kontrakannya, Renggo menemukan sebuah amplop tua di dalam tasnya. Amplop itu
terlihat berdebu, tetapi tertulis jelas namanya di bagian depan. Dengan
hati-hati, ia membuka amplop itu dan menemukan surat dengan tulisan tangan yang
ia kenali—Kemuning.
"Renggo," tulis surat itu. "Aku
tidak tahu kenapa kamu tiba-tiba pergi lagi, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku
memaafkanmu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku percaya bahwa
kamu melakukan semua ini dengan alasan yang baik. Jika suatu hari nanti kita
bertemu lagi, aku berharap kita bisa tersenyum tanpa beban masa lalu."
Surat itu membuat air mata Renggo jatuh. Ia tidak tahu
bagaimana surat itu sampai di tasnya, tetapi ia tahu bahwa Kemuning telah
menerima kepergiannya. Surat itu menjadi pengingat bahwa meskipun mereka tidak
bisa bersama, cinta dan kenangan mereka akan selalu ada.
Membangun Hidup Baru
Setelah membaca surat itu, Renggo merasa beban di hatinya
sedikit berkurang. Ia mulai fokus pada Bima dan kehidupannya yang perlahan
membaik. Ia menggunakan pelajaran dari masa lalu untuk menjadi ayah yang lebih
baik, memberikan perhatian dan cinta yang tidak pernah ia berikan sebelumnya.
Bima, meskipun masih kecil, sering memberikan semangat
kepada Renggo. "Ayah, kalau aku besar nanti, aku mau bantu Ayah supaya
kita nggak miskin lagi," kata Bima suatu hari.
Renggo tersenyum, memeluk anaknya. "Kamu sudah
membantu Ayah lebih dari yang kamu tahu, Nak," jawabnya dengan suara
lirih.
Akhir Bab
Bab ini berakhir dengan Renggo yang menatap langit malam
dari jendela kontrakannya. Di atas meja, jam antik tetap terdiam, seolah
perjalanan waktu telah berakhir. Namun, di dalam hati Renggo, ia tahu bahwa
waktu bukanlah musuh, melainkan pelajaran. Ia telah belajar bahwa hidup adalah
tentang menerima masa lalu, merangkul masa kini, dan membangun masa depan
dengan orang-orang yang paling berarti.
Renggo menutup mata, memikirkan Bima yang tertidur di kamar
sebelah dan Kemuning yang kini menjalani hidupnya sendiri. Meski berat, ia
merasa bahwa inilah hidup yang harus ia jalani—dengan cinta, kehilangan, dan
harapan.
Bab 11: Perubahan Tak Terduga
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah Renggo memutuskan
untuk fokus pada hidupnya bersama Bima. Ia mulai menerima kenyataan bahwa
apa yang telah ia ubah di masa lalu akan tetap menjadi bagian dari perjalanan
hidupnya. Namun, sesuatu yang tidak ia duga terjadi—sebuah kejadian yang
mengguncang keseimbangan hidupnya.
Sebuah Pertemuan yang Mengejutkan
Suatu pagi, ketika Renggo sedang mengantarkan Bima ke
sekolah, ia melihat sebuah mobil hitam elegan berhenti di depan sekolah itu.
Dari dalam mobil keluar seorang wanita yang sangat ia kenal—Kemuning.
Renggo tertegun, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Kemuning terlihat lebih dewasa, mengenakan setelan bisnis yang rapi, tetapi
wajahnya masih sama seperti yang ia ingat. Bima, yang memegang tangan Renggo,
bertanya dengan polos, "Ayah, kenapa Ayah diam?"
Sebelum Renggo sempat menjawab, Kemuning menoleh dan mata
mereka bertemu. Wajah Kemuning berubah menjadi campuran keterkejutan dan
kehangatan. "Renggo?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Renggo hanya bisa mengangguk, hatinya berdebar kencang.
Kemuning yang Berbeda
Kemuning mendekat, senyumnya masih seperti yang ia ingat,
meskipun kini terasa lebih bijaksana. "Aku nggak percaya kita bertemu
lagi," katanya. "Apa kabar?"
Renggo mencoba menjawab dengan tenang, meskipun pikirannya
penuh dengan pertanyaan. "Aku baik. Kamu... kamu kelihatan sukses
sekarang."
Kemuning tersenyum. "Aku sudah lama ingin mencari
kamu. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa ada sesuatu yang belum selesai di
antara kita."
Mendengar itu, Renggo teringat pada surat yang pernah ia
temukan. Ia bertanya-tanya apakah Kemuning benar-benar mengingatnya, atau
apakah ini hanya kebetulan yang diciptakan oleh perubahan di masa lalu.
Percakapan yang Mengungkap Segalanya
Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe setelah
mengantar Bima ke sekolah. Saat duduk berhadapan, Kemuning mulai menceritakan
kehidupannya. Ia menjadi pengusaha yang sukses, tetapi ada sesuatu yang selalu
mengganjal di hatinya—kenangan tentang Renggo.
"Aku nggak tahu kenapa, tapi aku selalu merasa kamu
adalah bagian penting dari hidupku," kata Kemuning. "Aku
pernah mencoba melupakan, tapi rasanya seperti ada lubang yang tidak bisa aku
isi."
Renggo terdiam, mendengarkan setiap kata dengan hati yang
berat. Ia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana ia telah melompati waktu dan
mengubah masa lalu mereka.
"Aku juga merasa seperti itu," jawab Renggo
akhirnya. "Tapi aku... aku punya kehidupan yang harus aku jalani
sekarang. Ada anakku, Bima."
Kemuning tersenyum hangat. "Aku melihat dia tadi.
Anak yang manis. Kamu pasti ayah yang hebat."
Konsekuensi dari Perubahan
Percakapan mereka berlangsung lama, tetapi ada batas yang
tidak bisa mereka lewati. Renggo tahu bahwa meskipun mereka bertemu kembali,
hubungan mereka tidak bisa kembali seperti dulu. Kemuning memiliki dunianya
sendiri, dan Renggo memiliki tanggung jawab sebagai ayah bagi Bima.
Namun, pertemuan ini membawa perubahan dalam hidup Renggo.
Ia mulai merasa bahwa apa yang ia lakukan di masa lalu tidak sia-sia. Kemuning
menjadi seseorang yang lebih kuat dan lebih percaya diri, dan ia sendiri
belajar menerima kenyataan hidup.
Kemuning menutup percakapan itu dengan sebuah kalimat yang
menggetarkan hati Renggo. "Aku nggak tahu apa yang terjadi di antara
kita, tapi aku bersyukur kita bertemu lagi. Aku harap kita bisa tetap saling
mendukung, meskipun jalan kita berbeda."
Renggo hanya bisa mengangguk, menyadari bahwa inilah cara
waktu mengajarkan mereka tentang kehilangan dan harapan.
Pertemuan Bima dan Kemuning
Beberapa hari kemudian, Kemuning meminta untuk bertemu
dengan Bima. Mereka bertiga pergi makan bersama, dan Renggo merasa aneh melihat
bagaimana Bima dengan cepat akrab dengan Kemuning. Anak itu tampak nyaman,
bahkan memanggil Kemuning dengan sebutan "Tante Kemu".
Melihat mereka bersama, Renggo merasa ada kedamaian yang
perlahan mengisi hatinya. Ia tidak lagi merasa terjebak dalam masa lalu, tetapi
mulai menerima bahwa hidupnya sekarang memiliki arti yang berbeda.
Akhir Bab
Bab ini berakhir dengan Renggo yang berdiri di depan jendela
kamarnya, memandangi bintang-bintang di langit malam. Jam antik tergeletak di
meja, diam dan tak bersinar, seolah perjalanan waktunya telah selesai.
Namun, ia tahu bahwa hidupnya baru saja dimulai. Dengan Bima
di sisinya dan Kemuning yang kini menjadi bagian kecil dari dunianya, Renggo
merasa bahwa waktu telah memberinya pelajaran yang tak ternilai—bahwa hidup
bukan tentang mengubah masa lalu, tetapi tentang menerima dan membangun masa
depan dengan orang-orang yang paling berarti.
Ia tersenyum kecil dan berbisik kepada dirinya sendiri, "Terima
kasih, waktu."
Bab 12: Jejak yang Baru
Pagi itu terasa berbeda. Cahaya matahari yang masuk
melalui jendela kontrakan kecil Renggo membawa kehangatan yang tidak biasa.
Hidupnya perlahan berubah setelah pertemuannya kembali dengan Kemuning. Meski
mereka tidak bisa kembali seperti dulu, hubungan mereka yang baru mulai memberi
Renggo sebuah semangat untuk melangkah maju.
Di meja kecil di sudut ruangan, jam antik tergeletak, tidak
lagi bersinar atau memberikan tanda-tanda kehidupan. Seolah-olah perannya telah
selesai, dan kini semua keputusan ada di tangan Renggo.
Hari-Hari Bersama Bima
Renggo mulai fokus membangun hidup baru bersama Bima.
Pekerjaannya sebagai supervisor di gudang memberikan kestabilan yang belum
pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap pagi, ia mengantar Bima ke sekolah,
memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang layak.
"Ayah, nanti kalau aku besar, aku mau bikin ayah
bangga," kata Bima suatu pagi saat mereka berjalan menuju sekolah.
Renggo tersenyum, menepuk kepala anaknya dengan lembut. "Ayah
sudah bangga sama kamu, Nak. Kamu alasan ayah bertahan."
Bima adalah pengingat nyata dari pilihan yang telah Renggo
buat. Meski berat, ia tahu bahwa memilih masa depan bersama anaknya adalah
keputusan yang benar.
Kemuning yang Kembali Hadir
Kemuning kini menjadi bagian kecil namun penting dalam hidup
Renggo. Mereka sering bertemu untuk berbincang ringan atau makan bersama dengan
Bima. Hubungan mereka berubah menjadi persahabatan yang sehat, tanpa beban masa
lalu.
Kemuning tampaknya juga menerima kenyataan bahwa hidup
mereka berjalan di jalur yang berbeda. Ia sering memberikan dukungan kepada
Renggo, baik secara emosional maupun praktis.
"Aku kagum sama kamu, Renggo. Kamu bertahan,
meskipun hidup nggak selalu adil," kata Kemuning suatu hari saat
mereka berbicara di sebuah kafe.
Renggo hanya tersenyum kecil. "Aku belajar banyak
dari masa lalu, Mun. Yang penting sekarang adalah bagaimana aku menjalani hari
ini."
Jam Antik yang Diam
Namun, meskipun hidupnya perlahan membaik, Renggo masih
sering memandangi jam antik di mejanya. Benda itu menjadi simbol dari
perjalanan waktu yang ia lalui—pengingat akan keputusan yang harus ia buat dan
konsekuensi yang harus ia tanggung.
Suatu malam, saat Bima sudah tertidur, Renggo memegang jam
itu dengan hati-hati. Ia bertanya-tanya apakah ia masih memiliki kesempatan
untuk kembali ke masa lalu. Tapi, semakin lama ia merenung, semakin ia
menyadari bahwa waktu tidak lagi perlu diubah.
"Masa lalu sudah selesai. Aku harus menjalani masa
depanku sekarang," katanya kepada dirinya sendiri sebelum meletakkan
jam itu kembali.
Membangun Masa Depan
Renggo mulai merancang langkah-langkah kecil untuk
meningkatkan hidupnya. Ia mendaftar kursus manajemen untuk memperbaiki
kemampuannya di tempat kerja. Ia juga mulai menyisihkan uang untuk pendidikan
Bima, memastikan anaknya tidak akan mengalami kesulitan seperti dirinya.
Di sisi lain, ia tetap menjaga hubungan baik dengan
Kemuning. Mereka sering berbagi cerita tentang tantangan masing-masing, saling
mendukung tanpa mengharapkan lebih.
"Kamu tahu, Mun? Aku nggak akan sampai di titik ini
kalau bukan karena kamu," kata Renggo suatu kali.
Kemuning tersenyum hangat. "Aku juga belajar banyak
dari kamu, Renggo. Mungkin kita nggak bisa mengulang yang dulu, tapi aku
bersyukur kita bisa tetap saling mendukung."
Pesan dari Waktu
Pada suatu malam, Renggo mendapati Bima sedang memegang jam
antik di meja. Anak itu memandang benda itu dengan penuh rasa ingin tahu.
"Ayah, ini jam aneh ya? Kok nggak jalan?"
tanya Bima.
Renggo mengambil jam itu dari tangan Bima, lalu tersenyum. "Ini
bukan jam biasa, Nak. Tapi sekarang jam ini sudah selesai tugasnya."
Bima mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya mengerti. "Jadi
ini seperti teman Ayah ya?"
"Bisa dibilang begitu," jawab Renggo. "Tapi
teman ini sudah membantu Ayah membuat keputusan besar. Sekarang tugas Ayah
adalah menjaga kamu."
Akhir yang Baru
Bab ini diakhiri dengan Renggo yang berdiri di jendela
kamarnya, memandangi bintang-bintang di langit malam. Ia merasa damai, meskipun
hidupnya tidak sempurna. Bima tidur nyenyak di kamar sebelah, dan jam antik
tetap tergeletak di meja, menjadi saksi bisu perjalanan waktu yang penuh
pelajaran.
Renggo menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Waktu
memang tidak bisa diubah, tapi kita bisa belajar darinya. Aku akan terus maju,
demi diriku dan demi anakku."
Hidup Renggo mungkin tidak seperti yang ia bayangkan, tetapi
ia telah menemukan kebahagiaan dalam bentuk yang sederhana—cinta seorang ayah
kepada anaknya, dan kenangan akan seseorang yang pernah menjadi bagian penting
dalam hidupnya.
Dengan tekad baru, Renggo menutup lembaran lama dan
melangkah ke depan, membangun hidupnya di atas fondasi yang lebih kokoh. Waktu,
meskipun kejam, telah mengajarinya arti cinta, kehilangan, dan harapan.
Tamat.
